SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Blog Pribadi Atma Winata Nawawi

Minggu, 29 November 2009

HARI MENANAM JANGAN HANYA MENJADI SLOGAN







Sebagai sebuah Negara, Indonesia adalah Negara yang subur, dengan berbagai potensi dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, ini menjadikan Indonesia sebagai Negara yang diperhitungkan di dunia. Kekayaan yang membentang antara ujung Pulau Sumatera dengan ujung Pulau Papua menyimpan banyak harapan dari masyarakat akan kehidupan yang makmur dan sejahtera. Namun, hal itu berbanding terbalik dengan kondisi yang ada di tengah masyarakat, begitu banyak masyarakat usia produktif kesulitan menemukan pekerjaan yang layak bagi kehidupannya. Sementara usia harapan hidup masih jauh tertinggal dengan Negara-negara tetangga seperti Brunei Darussalam dan Singapura. Akan tetapi, semua ini tidak menghilangkan fakta bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang amat kaya.

            Tanggal 28 November 2008 menjadi hari penting bagi bangsa Indonesia dalam upaya menciptakan lingkungan hijau. Untuk pertama kali, tanggal ini ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Hari Menanam Pohon Indonesia. Dan, bulan Desember juga ditetapkan sebagai Bulan Menanam Nasional. Mengawali pencanangan Hari Menanam Pohon Indonesia, secara serentak di seluruh tanah air ditanam (100.000.000) Seratus juta bibit pohon, sebuah angka yang fantastis yang ditandai dengan pencanangan oleh orang nomor satu di Republik ini di lokasi lingkungan Pusat Penelitian Limologi LIPI, Cibinong, Jawa Barat.

            Kita pantas mengelus dada, karena tepat setahun kemudian, masyarakat dapat melihat bahwa hari yang telah dicanangkan dengan menghabiskan anggaran Negara itu hanya menjadi seremoni bagi segelintir kelompok masyarakat, tidak ada tindakan yang lebih nyata dalam menciptakan lingkungan yang hijau dan asri terutama untuk mengawasi dan melindungi pohon-pohon yang telah ditanam tersebut.

            Pohon-pohon yang ditanam tersebut hanyalah menjadi simbol dalam suatu rangkaian acara, yang pada tahun berikutnya lahan yang sama akan dipakai untuk acara seremonial yang serupa, dengan bentuk dan konsep yang sedikit dimodifikasi. Yang penting program kerja terealisasi, dan penggunaan anggarannya dapat dipertanggungjawabkan. Media cetak dan elektronik akan beramai-ramai menayangkan seremonial yang menunjukkan seolah-olah sang Pemimpin tersebut dan pembantu-pembantunya adalah orang yang sangat peduli dengan keberlangsungan daerah hijau di Indonesia. Tidaklah menjadi terlalu penting apakah program tersebut dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.

            Program-program tersebut dalam sepanjang tahun akan dilanjutkan dengan pemasangan iklan baliho raksasa di sepanjang jalan-jalan protocol ibukota, diberikan gambar sang pemimpin sedang menyiram pohon bersama dengan istri atau menterinya atau kepala daerahnya. Gambar yang seolah menuntun masyarakat untuk mau menanam dan merawat tanaman dengan baik, sebuah tuntunan yang baik tentunya apabila masyarakat kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

            Namun ternyata pertanyaan yang paling mendasar pun muncul dari berbagai kalangan masyarakat luas, apakah anggaran untuk beriklan yang dikeluarkan dari kas Negara itu sebanding dengan anggaran yang dikeluarkan untuk memastikan bahwa jutaan tanaman atau pohon yang ditanam tersebut telah tumbuh dengan baik. Sebelum kita mendapatkan jawabannya, kita hanya akan melihat seremonial tersebut akan berulang kembali yang diadakan dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Dapat diasumsikan bahwa penokohan dalam beriklan dirasa lebih penting dari sekedar merawat pohon untuk dapat tumbuh besar hingga bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Ironi memang.

            Sudah saatnya kita tidak lagi menjadikan hari menanam hanya sebagai slogan semata, akan tetapi yang jauh lebih penting dari hal ini adalah penanaman nilai-nilai kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kualitas lingkungan  demi masa depan yang lebih baik. Pemerintah sebagai regulator sangat berkepentingan dalam menentukan kebijakan serta menyusun program-program yang dapat dirasakan secara langsung ataupun tidak langsung oleh masyarakat.


Selasa, 17 November 2009

DOKTER DARI DESA



Dokter masuk desa, itu biasa. Kalau dokter dari desa ??? Ini yang luar biasa.


Mohon maaf sebelumnya kepada para kakanda dan rekan yang berprofesi dokter, tulisan ini semata – mata demi kepentingan rakyat pedesaan yang jauh dari pelayanan kesehatan yang mencukupi.


Siapakah seorang dokter sekarang ??? Dilihat dari pembiayaannya untuk menempuh pendidikan kedokteran maka tidak menungkinkan bagi orang tidak mampu untuk menempuh pendidikan kedokteran, hampir bisa dipastikan merupakan merupakan dari kalangan yang berkecukupan. Dan biasanya kalangan yang berkecukupan pasti berasal dari daerah perkotaan, minimal dari ibukota kabupaten. Nah, dengan asal muasal yang demikian, apakah mungkin seorang dokter secara sukarela mengabdi di daerah pedesaan apalagi desa terpencil seperti pedalaman Papua ???


Memang ada program dokter PTT (pegawai tidak tetap) yang gajinya perbulan melebihi gaji seorang Kepala Dinas Kesehatan. Dan mereka ditugaskan di puskesmas pedesaan. Tapi apakah akan seterusnya rakyat pedesaan hanya bisa menikmati pengobatan dari dokter PTT perkecamatan ??? Atau hanya menikmati pengobatan dari seorang bidan desa ???


Program dokter masuk desa hanya akan sampai pada kondisi keterpaksaan saja. Harus ada terobosan agar masyarakat pedesaan bisa menikmati pengobatan yang layak dari seorang dokter yang bisa menetap lama dan betah dalam menjalankan tugas medisnya. Dan ini hanya akan bisa dicapai bila dokternya adalah berasal dari masyarakat setempat, atau dengan kata lain : Dokter Dari Desa.


Ya, dokter dari desa, maksudnya, harus diciptakan sistem yang memberi peluang bagi seorang siswa terbaik dari desa dan dari kalangan yang hidupnya pas-pasan bisa menempuh pendidikan kedokteran dengan biaya negara dengan konsekuensi setelah lulus jadi dokter harus bertugas jadi PNS dan menjadi dokter di desanya berasal secara ikatan dinas minimal 10 tahun dengan gaji standar PNS disertai bonus tunjangan fungsional. Setelah selesai ikatan dinas 10 tahun maka diberi kesempatan lagi untuk menempuh pendidikan spesialis atas biaya negara dan setelah lulus harus mengabdi di rumah sakit umum daerahnya berasal dengan masa ikatan dinas 10 tahun lagi. Setelah selesai ikatan dinasnya terserah mau pindah kemana bukan masalah lagi.


Saya rasa masalah anggaran bukan masalah karena kalau ditimbang-timbang anggaran negara banyak tersedot untuk menggaji dokter PTT dengan gaji di atas rata-rata. Juga untuk menarik seorang dokter spesialis ke rumah sakit umum daerah juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit, malah gajinya melebihi gaji seortang Direktur Rumah Sakit Umum Daerah.

KEMANDIRIAN


Pada hakekatnya makhluk hidup di muka bumi ini tidak terlepas dari adanya ketergantungan dan keterkaitan antara satu dengan yang lainnya dan juga dengan lingkungannya. Namun, diatas ketergantungan dan keterkaitan itu, Allah menciptkan keteraturan, dimana pada posisi ini akan tercapai suatu keseimbangan, sehingga setiap unsur atau makhluk hidup dalam kondisi hidup yang seimbang dengan lingkungan yang dihuninya. Proses keteraturan itu analog dengan proses terciptanya kemandirian bagi manusia, dan biasanya kemandirian ini diperoleh setelah dewasa. Pada usia dewasa inilah manusia bisa mandiri dalam banyak hal termasuk dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Sudah barang tentu proses menuju kemandirian cepat atau lambat, sangat ditentukan oleh cepat atau lambat  berkurangnya tingkat ketergantungan dan keterkaitan, sehingga pada gilirannya terwujudlah kemandirian.

Membangun kemandirian bangsa berarti memahami poses kemandirian sebagai suatu usaha membangun bangsa yang mampu menyelesaikan setiap masalah dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berkeadilan, sejahtera dan bermartabat. Dengan umur bangsa yang sebentar lagi berulang tahun ke 63, sudahkan bangsa ini mandiri? Sudahkah Bangsa ini mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera? Dan sudahkan bangsa ini memiliki martabat yang sehingga tidak lagi ada bangsa lain yang melecehkan? Maka sangat penting kiranya membangun bangsa yang mandiri ditengah pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di berbagai belahan dunia dan di era globalisasi yang sangat berpengaruh ini. Dari sisi usia sejak negeri ini merdeka, seharusnya sudah mampu menjadi negara yang tidak terlalu tergantung pada belas kasihan negara lain, tidak terlalu terpengaruh kondisi gejolak financial di negara lain dalam roda perekonomian dan seharusnya juga memiliki kebanggaan atas produk yang dihasilkan sendiri sebagai pembuktian atas kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sabtu, 07 November 2009

SELAMATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT

 
VS

Oleh : Shinta Ardjahrie

Pemberantasan korupsi erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat yang berefek pada tingkat kejahatan/kriminaltas di tengah masyarakat. Bahwa ketika korupsi meningkat, angka kejahatan yang terjadi meningkat pula ( Global Corruption Report, 2005). Sebaliknya ketika korupsi berhasil dikurangi, kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum bertambah. Kepercataan yang membaik dan dukungan masyarakat membuat penegakan hukum menjadi efektif. Penegakan hukum yang efektif dapat mengurangi jumlah kejahatan yang terjadi.
Apa yang sedang terjadi sekarang, adalah kepercayaan masyarakat kini sedang terombang-ambing.Dalam proses perjalanan KPK sebagai salah satu institusi hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, berbenturan dengan sesama penegak hukum, yaitu kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Adegan ini seolah menjadi fragmen sensasional di hadapan ratusan juta masyarakat Indonesia. Saling berargumen, mempertahankan kebenaran posisi lembaga masing-masing.
Lepas dari masalah kontroversi penahanan dua pimpinan KPK, kemelut yang sedang terjadi sebenarnya merupakan perwujudan dari semangat setiap unsur penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dan tekad untuk memberantas korupsi. Polisi sebagai aparat mencoba melakukan tanggung jawabnya dengan optimal dan KPK pun sebagai komisi khusus juga bersikeras memertahankan sebuah idealisme dalam menjalankan tugas-tugas mulianya.
Sebenarnya semangat ini adalah sebuah aset positif dalam misi bersama kita untuk memberantas korupsi. Penanganan korupsi butuh semangat yang besar seperti ini karena memang korupsi adalah kasus kriminal yang luar biasa. Penanganan korupsi tidak cukup hanya melalui mekanisme hukum konvensional. Korupsi adalah kejahatan dengan kategori yang tidak biasa. Seperti diputuskan dalam kongres PBB tahun 1980 mengenai The Prevertion of crime and The Treatment of Offenders, dunia mengecam dan memasukan korupsi dalam kategori extraordibnary crims (kejahatan luar biasa) yang menyangkut kejahatan terhadap kesejahteraan sosial (crime againts social welfare) , kejahatan terhadap pembangunan crime againts development), dan kejahatan terhadap kualitas lingkungan hidup (crime againts the quality of life). Di dalamnya korupsi diakui dan diidentifikasi sebagai tindak pidana yang sulit dijangkau hukum offences beyond the reach the law) .
Tingkat stadium penyakit korupsi yang tinggi ini menuntut sebuah konsekuensi adanya keseriusan dan strategi pemberantasan korupsi yang tepat. Hal ini juga menjadi reminder bahwa dalam melakukan pemberantasan tipikor, perlu ada kerjasama dan pengorganisasian gerakan yang baik. Seperti dikatakan oleh Sayyidina Ali ra bahwa “Kejahatan yang terorganisir dapat megalahkan kebenaran yang tidak terorganisir.” Terjadinya kemelut ini merupakan akibat kurang terorganisirnya misi dalam pemberantasan korupsi di negara ini. Hal yang menjadi kekhawatiran adalah perlu diingat bahwa kemelut yang terjadi diantara penegak hukum memiliki efek yang sangat luas, Selain berakibat terganggunya sistematika pemberantasan korupsi, kemelut ini telah berpengaruh pada kepercayaan masyarakat. Hal ini diperkuat lagi oleh aktor media yang dalam fungsinya untuk menyuguhkan realita kepada masyarakat.
Apapun yang menjadi akar masalah kemelut ini, baik itu politik, hukum, ekonomi, atau yang lainnya, harapannya masyarakat jangan sampai hancur kepercayaannya pada aparat. Sungguh miris melihat masyarakat terbentuk kelompok-kelompok, ada yang membenci POLRI atau sebaliknya. Masyarakat jangan menjadi korban untuk diarahkan dalam membentuk koloni-koloni yang hanya akan menimbulkan perpecahan. Penyelesaian kemelut KPK-POLRI secara bijak harus segera diwujudkan untuk menyelematkan kepercayaan masyarakat.

Rabu, 04 November 2009

OSTEOPOROSIS POHON KOTA KU....!!!




Oleh : John F. Papilaya


Crap.Crap.Crap…….BruK….!!!!ngeng…ngn…ng….ng……ng..brak….!!!!!
Satu daun yang terpotong adalah 10 rupiah begitulah kira-kira yang menjadi pikiran penebang pohon di Jakarta.
Keberadaan jasa penebangan pohon ini di tandai dengan keberadaan iklan jasa penebang pohon sering terlihat di setiap sudut-sudut kota, iklan yang berisikan kalimat penebang pohon dengan di sertai nomor telpon yang dapat di hubungi ini tertempel pada tiang listrik, pada dinding-dinding bangunan pasar dan kadang sungguh ironisnya iklan jasa penebang pohon ini terpaku pada pohon-pohon pelindung di jalanan.
Keberadaan iklan-iklan jasa penebang pohon seakan ikut menantang keberadaan iklan program pemerintah ‘ One Man One Tree’ yang terpancang megah di setiap sudut kota dan sering muncul di Media TV-TV swasta.Iklan jasa penebang pohon seakan tidak mau kalah populer dengan para artis selibritis yang mau berpanas ria membagikan bibit pohon kepada setiap pengendara mobil yang lewat di sekitar bundaran HI.
Keberadaan jasa penebang pohon akan dapat di maklumi jika melihat sangat kristisnya kesehatan pohon-pohon besar pelindung di Jakarta, memang sebagian besar pohon pelindung di jalanan Jakarta bisa dikatakan menderita penyakit osteoporis yaitu suatu penyakit tulang pada manusia yang ditandai dengan massa tulang yang rendah dan kerusakan pada mikro arsitektur tulang,sehingga meningkatkan risiko fraktur atau patah tulang.oleh sebab itu maka tidak salah jika Pohon-pohon besar pelindung tersebut dikatakan Pohon berpenyakit osteoporosis dan siap untuk di amputasi atau di tebang.
Ini merupakan hal yang lucu,kenapa? Karena seharusnya semakin besar pohon pelindung tersebut maka semakin optimalah fungsi dari pohon tersebut sebagai peneduh jalan dan juga sebagai pabrik oksigen atau istilah kerennya ’paru-paru kota’ akan tetapi semakin besar pohon pelindung tersebut maka semakin besar pulah bahaya yang mengancam yang siap menimpa siapa saja yang berada atau melintas di bawah pohon tersebut.
Bukan berita baru jika sudah terjadi puluhan kali pohon besar pelindung tersebut memakan korban jika tumbang pada saat hujan dan kadang pada saat cuaca cerahpun pohon di jakarta seakan siap menerkam siapa saja yang melintas .

Jumat, 30 Oktober 2009

MUSYAWARAH BESAR ARSITEKTUR LANSEKAP PERIODE 2009-2010



Jakarta, 30 Oktober 2009
Indah Ciptaning atau yang biasa dipanggil Ade terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Arsitektur Lansekap (HMJ AL) Periode 2009-2010 dalam Musyawarah Besar HMJ Arsitektur Lansekap yang berlangsung di AK503 Universitas Trisakti Jakarta.

Dalam Mubes yang dipimpin oleh Presidium Sidang yang terdiri dari Yoga Utama, Muhamad Islam Al-Mahdi, dan Muhamad Ramlan juga telah menyatakan HMJ AL periode 2008-2009 yang dipimpin  oleh saudara Geoditya H.W telah demisioner.

Diharapkan kepengurusan yang baru dapat mempertahankan prestasi yang telah ditorehkan HMJ Periode sebelumnya dan meningkatkan kualitas pengkaderan dalam tubuh HMJ AL.

Kamis, 29 Oktober 2009

DRAFT GARIS BESAR HALUAN PROGRAM – IKATAN ILMUWAN INDONESIA INTERNASIONAL




DRAFT GARIS BESAR HALUAN PROGRAM – IKATAN ILMUWAN INDONESIA INTERNASIONAL

I. PENDAHULUAN

1.1 Pengantar

Berkaryanya dan menetapnya ilmuwan-ilmuwan asal Indonesia di luar negeri adalah sebuah kenyataan. Dengan berkarya dan menetap di luar negeri memungkinkan meningkatnya ilmu pengetahuan, jejaring, pengalaman, dan informasi yang dimiliki oleh para ilmuwan. Fenomena globaliasi dan persaingan bebas dimana semakin mudah berpindahnya barang/manusia/ informasi dari satu tempat ke tempat lainnya harus dapat dimanfaatkan menjadi pendukung brain circulation. Brain circulation mengasumsikan bahwa terjadi sirkulasi manusia, informasi dan Iptek dari negara mereka beraktivitas menuju negara mereka berasal, demikian juga sebaliknya. Ilmuwan asal Indonesia di luar negeri memegang peranan penting sebagai duta bangsa dan memainkan peranan sebagai 2nd track of diplomacy. Sehingga ilmuwan Indonesia di luar negeri melalui Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4) diharapkan mampu memanfaatkan fenomena brain circulation untuk berpartisipasi dan berkontribusi secara lintas sektoral untuk pembangunan fisik dan insani untuk mencapai Indonesia yang madani.

1.2 Pengertian
 Garis Besar Haluan Program (GBHP) I4 merupakan suatu garis besar kebijaksanaan yang menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan sebagai sarana untuk mewujudkan visi dan misi I4 yang tercantum dalam Anggaran Dasar I4 dan ditetapkan dalam Rapat Anggota I4.

1.3 Tujuan
 Tujuan ditetapkannya GBHP I4 2009-2010 adalah sebagai arah dan panduan pembuatan agenda dan rencana kerja bagi Dewan Eksekutif I4 untuk melaksanakan kegiatan secara sistematis dan terarah sesuai dengan analisa situasi dan kondisi yang dihadapi I4 sebagai sebuah organisasi yang baru berdiri dan memerlukan berbagai tahapan awal untuk mengumpulkan seluruh sumber daya yang dibutuhkan.

1.4 Landasan
 GBHP I4 disusun berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga I4.

1.5 Sistematika Penyusunan
 Sistematika GBHP I4 adalah sebagai berikut :

I. Pendahuluan
 1.1 Pengantar
 1.2 Pengertian
 1.3 Tujuan
 1.4 Landasan
 1.5 Sistematika Penyusunan

II. Konsep dan Pola Umum Program I4
 2.1 Bidang Pengembangan Organisasi
 2.2 Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemitraan
 2.3 Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia
 2.4 Bidang Kajian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

III. Konsep Struktur Organisasi I4

IV. Penutup

II. KONSEP DAN POLA UMUM PROGRAM I4

2.1 Bidang Pengembangan Organisasi
 Kerangka Strategis
 Memperkuat kapasitas dan kapabilitas I4 dengan berbagai sumber daya yang tersedia sehingga mampu menanggapi perkembangan dan permasalahan secara optimal.

Rancangan Kerja
 *Prioritas Primer
 1. Pendataan dan klasifikasi ilmuwan Indonesia di luar negeri secara komprehensif dan holistik.
2. Pembuatan situs internet sebagai pusat data yang berisi informasi umum dan spesifik yang dapat diakses publik.
3. Pembuatan media komunikasi internal I4 sehingga setiap anggota I4 dapat bertukar informasi dengan berbagai topik.

* Prioritas Sekunder
 1. Pembuatan media online dan jurnal internal I4 dalam berbagai disiplin keilmuan yang berskala internasional sebagai strategi implementasi ilmuwan Indonesia di luar negeri.
 

2.2 Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemitraan

Kerangka Strategis
 Meningkatkan koordinasi dan kerjasama antar ilmuwan di luar negeri dengan ilmuwan di dalam negeri, elemen pemerintahan, institusi pendidikan tinggi dan institusi riset.
 Rancangan Kerja
 * Prioritas Primer
o Prioritas Sekunder

1. Membentuk perwakilan berupa kesekretariatan di berbagai negara ataupun regional kewilayahan dan Indonesia untuk mendukung proses koordinasi I4.
2. Merancang skema kemitraan antara I4 dengan elemen pemerintahan, institusi riset, dan institusi pendidikan tinggi di Indonesia.
 

1. Mendukung skema ikatan dinas untuk sumber daya manusia di Indonesia dengan pengiriman tugas belajar formal ataupun pelatihan ke luar negeri, sehingga dapat memperkuat daya saing dan memperluas wawasan global.
2. Menginisiasi adanya insentif multi sumber daya (finansial, penempatan kerja dan jejaring) oleh pemerintah untuk ilmuwan Indonesia di luar negeri, sehingga ilmuwan-ilmuwan tersebut dapat kembali ke Indonesia dalam jangka waktu tertentu.
3. Mengumpulkan informasi terkait peluang kerjasama antara instansi di Indonesia (pemerintahan, pendidikan tinggi, pusat riset) dan instansi serupa di negara-negara dimana ilmuwan Indonesia beraktivitas.
4. Meningkatkan kerjasama antara I4 dengan institusi riset, industri, pendidikan tinggi dan institusi lainnya di luar negeri yang kemudian dapat diberdayagunakan.

2.3 Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia

Kerangka Strategis
 Meningkatkan kompetensi ilmuwan Indonesia di luar negeri dengan kegiatan-kegiatan keilmiahan dan implementatif yang dapat diterapkan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Rancangan Kerja
 * Prioritas Primer
 1. Membuat kegiatan keilmiahan dan profesional dalam berbagai skala yang melibatkan peran aktif ilmuwan Indonesia di luar negeri dalam bidang keilmuan tertentu dan elemen-elemen pendukungnya, yang diadakan di dalam negeri ataupun luar negeri secara berkala.
 Contoh: Konferensi Kebumian, Energi dan Lingkungan di Berlin pada bulan Agustus 2010, sebagai usulan Ir. Agusman Effendi (DEN-RI).

2.4 Bidang Kajian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
 Kerangka Strategis
 Memperkuat kualitas sumber daya manusia di Indonesia melalui proses alih dan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi yang disesuaikan dengan identitas dan kearifan nasional.

Rancangan Kerja
 * Prioritas Primer
 1. Mengadakan kegiatan berupa pelatihan, seminar, workshop ataupun kegiatan serupa lainnya di Indonesia yang melibatkan sumber daya manusia di dalam negeri dan difasilitasi oleh I4 dan didukung pemerintah Indonesia dengan topik yang berkaitan dengan tahapan alih dan transfer Iptek.

III. KONSEP STRUKTUR ORGANISASI I4
 Dewan Pembina
 Dewan Pakar
 Dewan Eksekutif
 Ketua
 Wakil Ketua
 Sekretaris I Bidang Administrasi dan Kesekretariatan
 Sekretaris II Bidang Sumber Daya Informasi
 Bendahara I Bidang Internal
 Bendahara II Bidang Eksternal
 Ketua Bidang Kemitraan
 * Kepala Biro Kerjasama Institusi
* Kepala Biro Hubungan Masyarakat
 Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan
 * Kepala Biro Pemberdayaan Organisasi
* Kepala Biro Perencanaan Strategis
* Kepala Biro Pendidikan dan Pelatihan
* Kepala Biro Pengawasan Umum
 Ketua Komisi Sains Dasar
 Ketua Komisi Sains Terapan
 Ketua Komisi Sains Rekayasa
 Ketua Komisi Humaniora
 Ketua Komisi Ilmu Ekonomi
 Ketua Komisi Ilmu Politik
 Ketua Komisi Ilmu Hukum
 Ketua Komisi Iptek Interdisipliner
 Pengurus Wilayah
 Koordinator Kesekretariatan Indonesia
 Koordinator Wilayah Asia Timur
 Koordinator Wilayah Asia Selatan
 Koordinator Wilayah Asia Tenggara
 Koordinator Wilayah Australia, Pasifik dan Oseania
 Koordinator Wilayah Afrika Utara, Sub-Sahara dan Timur Tengah
 Koordinator Wilayah Skandinavia
 Koordinator Wilayah Eropa Barat
 Koordinator Wilayah Eropa Timur
 Koordinator Wilayah Mediterania
 Koordinator Wilayah Amerika Utara, Tengah dan Selatan

IV. PENUTUP

I4 terbangun dari tekad, kerja keras, sikap mental, dan semangat para ilmuwan Indonesia di luar negeri demi perubahan yang lebih baik di Indonesia. Hasil program kerja harus dapat bermanfaat secara nyata bagi masyarakat, bangsa, dan negara tidak hanya untuk saat ini saja tetapi untuk masa-masa selanjutnya. Diharapkan program yang disusun oleh Dewan Eksekutif I4 harus dapat mengembangkan I4 menjadi sebuah organisasi yang memiliki kredibilitas tinggi dan kompeten. Sehubungan dengan itu, Dewan Eksekutif I4 perlu menyusun dan melaksanakan program kerja sesuai dengan bidang dan kemampuannya masing-masing dengan tetap mengacu kepada GBHP I4 untuk mencapai tujuan bersama I4. Kesabaran dan keikhlasan berkarya membawa kita menuju kejayaan bangsa dan negara. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhai rencana, sikap, dan tindakan kita.
 —————–
 Kontributor:
 1. Teuku Reiza Yuanda (Jerman)
2. Dedy Sushandoyo (Swedia)
3. Fadil Fauzulhaq (Rusia)
4. Willy Sakareza (Indonesia)

Selasa, 27 Oktober 2009

PERAN UKM BAGI PEREKONOMIAN NASIONAL DI TENGAH ANCAMAN KRISIS GLOBAL


Oleh : Atma Winata Nawawi


Usaha kecil dan menengah atau yang biasa kita kenal UKM adalah salah satu elemen penting dari perekonomian suatu negara ataupun daerah ataupun kawasan, tidak terkecuali di Indonesia.  Sebagai gambaran, kendati  sumbangannya dalam output nasional (PDRB) hanya 56,7 persen dan  dalam  ekspor nonmigas hanya 15 persen, namun UKM memberi kontribusi sekitar 99 persen dalam jumlah badan usaha di Indonesia serta mempunyai andil 99,6 persen  dalam penyerapan tenaga kerja. Namun, dalam kenyataannya selama ini UKM  kurang mendapatkan perhatian. Dapat dikatakan bahwa kesadaran akan pentingnya UKM dapat dikatakan barulah muncul belakangan ini saja.


Setidaknya terdapat tiga alasan yang mendasari negara berkembang belakangan ini memandang penting  keberadaan UKM  menurut beberapa ahli.  Alasan pertama adalah karena kinerja UKM cenderung lebih baik dalam hal menghasilkan tenaga kerja yang produktif. Kedua, sebagai salah satu elemen yang dinamis, UKM sering mencapai peningkatan produktivitasnya melalui investasi dan alih teknologi. Ketiga adalah karena sering diyakini bahwa UKM memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas ketimbang usaha besar.  Juga disebutkan bahwa usaha kecil dan usaha rumah tangga di Indonesia telah memainkan peran penting dalam menyerap tenaga kerja, meningkatkan jumlah unit usaha, mendukung pendapatan rumah tangga, dan menggerakkan roda perekonomian.


Ketiga alasan yang dikemukakan di atas  sangat  relevan dalam konteks Indonesia yang juga terkena imbas krisis global. Aspek fleksibilitas  tersebut menarik pula dihubungkan dengan hasil  studi yang menyatakan berdasarkan survei di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Sulawesi Utara dan Sumatra Utara. Temuan   yang didapat adalah  bahwa  usaha kecil di Jawa lebih menderita akibat krisis daripada luar Jawa, begitu pula  yang di perkotaan bila dibandingkan dengan yang di pedesaan.


Sementara itu, berdasarkan data PDRB,  krisis ekonomi telah menyebabkan propinsi-propinsi di Jawa  mengalami kontraksi ekonomi yang lebih besar ketimbang daerah-daerah lain di Indonesia.  Lima propinsi di Jawa seluruhnya adalah lima besar propinsi di Indonesia yang mengalami kemorosotan ekonomi terparah. Pada tahun 1998, saat ekonomi Indonesia mengalami kontraksi terparah,  hanya  Papua saja yang pertumbuhan ekonominya masih positif sedangkan propinsi-propinsi lainnya mengalami kontraksi.  Pada tahun tersebut,  seluruh propinsi di pulau Jawa mengalami kontraksi ekonomi yang jauh lebih parah daripada propinsi-propinsi lainnya.


Krisis ekonomi yang sangat parah, telah menyulitkan masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Tidaklah mengherankan apabila pengangguran, hilangnya  penghasilan serta kesulitan memenuhi kebutuhan pokok merupakan persoalan-persoalan sosial yang sangat dirasakan masyarakat sebagai akibat dari krisis ekonomi.  Hasil survei  yang dilakukan Bank Dunia bekerjasama dengan Ford Foundation dan Badan Pusat Statistik (September-Oktober 2008) menegaskan bahwa  ketiga persoalan itu  oleh  masyarakat ditempatkan sebagai persoalan prioritas atau  harus segera mendapatkan penyelesaian.  Dengan kata lain, ketiga hal itu merupakan persoalan sangat pelik yang dihadapi masyarakat pada umumnya.


Kondisi ketenagakerjaan  pada masa krisis kiranya dapat memberikan gambaran dampak sosial dari krisis ekonomi. Tingkat pengangguran mengalami kenaikan dari 4,9 persen pada tahun 1996 menjadi 6,1 persen pada tahun 2000. Krisis ekonomi juga telah membalikkan tren formalisasi ekonomi sebagaimana tampak dari berkurangnya pangsa pekerja sektor formal menjadi 35,1.  Dengan kata lain, peran sektor informal menjadi terasa penting dalam periode krisis ekonomi. Sektor informal sendiri merupakan sektor dimana sebagian besar tenaga kerja Indonesia berada.


Sementara itu, belakangan ini banyak diungkapkan bahwa UKM memiliki peran penting bagi masyarakat di tengah krisis ekonomi global. Dengan didukungnya pengembangan UKM diyakini pula akan dapat dicapai pemulihan ekonomi global. Hal serupa juga berlaku bagi sektor informal. Usaha kecil sendiri pada dasarnya  sebagian besar  bersifat informal dan karena itu relatif mudah untuk dimasuki oleh pelaku-pelaku usaha yang baru. Pendapat mengenai peran UKM atau sektor informal tersebut ada benarnya setidaknya bila dikaitkan dengan perannya  dalam meminimalkan  dampak sosial dari krisis global khususnya  persoalan pengangguran dan hilangnya penghasilan masyarakat.


UKM boleh dikatakan merupakan salah satu solusi masyarakat untuk tetap bertahan dalam menghadapi krisis global yakni dengan melibatkan diri dalam aktivitas usaha kecil terutama yang berkarakteristik informal.  Dengan hal ini maka persoalan pengangguran sedikit banyak dapat tertolong dan implikasinya adalah juga dalam hal pendapatan. Bagaimana dengan anjloknya pendapatan masyarakat yang tentu saja mengurangi daya beli masyarakat terhadap produk-produk yang sebelumnya banyak disuplai oleh usaha berskala besar.


Bukan tidak  mungkin produk-produk  UKM justru menjadi substitusi bagi produk-produk usaha besar yang mengalami kebangkrutan atau setidaknya masa-masa sulit akibat krisis ekonomi. Jika memang demikian halnya maka kecenderungan tersebut  sekaligus juga merupakan respon terhadap merosotnya daya beli masyarakat.


Sudah saatnya dunia Perguruan Tinggi memperkenalkan UKM secara lebih nyata kepada mahasiswa yang merupakan calon tenaga kerja bagi perekonomian nasional. Tidak hanya menjadikan pengetahuan tentang UKM melalui kewirausahaan sebagai mata kuliah wajib, tapi juga merangsang akademisi untuk mengembangkan dirinya dalam membuka usaha informal seperti UKM. Semua ikhtiar ini, tidak akan dapat sempurna tanpa dukungan dari Pemerintah maupun Pemerintah Daerah melalui kebijakan-kebijakan yang melindungi segenap komponen lokal untuk menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.




Universitas atau Perguruan Tinggi (PT) haruslah berperan menjadi Intellectual Capital (penyedia kaum intelektual). Intelektual Kapital merupakan sumber dan aliran ilmu pengetahuan yang merupakan suatu identitas yang harus dimiliki oleh suatu lembaga ilmiah (Universitas) sebagai sebuah organisasi.


Intelektual capital merupakan sumber daya yang tidak dapat disentuh (Intangible Resources) yang sangat berperan sebagai motor penggerak untuk mendapatkan out-come yang dapat dilihat secara kasat mata, atau berupa sumber daya yang dapat disentuh (Tangible Resources), seperti uang dan asset-asset berupa fisik.


Intelektual capital pada dasarnya terdiri dari tuga komponen utama, antara lain :

1.     Modal manusia (Human Capital) yang merupakan kumpulan manusia yang mempunyai ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan untuk mengembangkan inovasi dan kreativitas dari setiap manusia didalam sebuah organisasi;
2.      Modal social (Sosial Capital) yang merupakan struktur, jejaring kerja, dan prosedur agar setiap modal manusia yang terlibat dapat saling memberikan kontribusi dalam mengembangkan sebuah organisasi;
Modal organisasi (Organizational Capital) yang merupakan suatu wadah untuk menghimpun, dan mendayagunakan human capital dalam sebuah organisasi yang berupa database, informasi, pedoman-pedoman lainnya.



Universitas Trisakti sebagai kampus pelopor kewirausahaan haruslah menjadi motor terdepan dalam pengembangan UKM bagi perekonomian nasional, dengan mencetak lulusan yang tidak hanya menguasai keilmuannya, namun juga sanggup menyediakan lapangan pekerjaan bagi orang lain.



*Penulis adalah mahasiswa Jurusan Arsitektur Lansekap, FALTL, Universitas Trisakti. Aktif di berbagai kegiatan kemahasiswaan di Universitas Trisakti, merupakan Presiden Mahasiswa Masyarakat Mahasiswa Universitas Trisakti Periode 2008-2009.

Senin, 26 Oktober 2009

Seminar Internasional "Peran Ilmuwan Indonesia Internasional Dalam Membangun Kemandirian Bangsa"





Jakarta, 26 Oktober 2009
Kepresidenan Mahasiswa Masyarakat Mahasiswa Universitas Trisakti mengadakan Seminar Internasional yang mengambil tema "Peran Ilmuwan Indonesia Internasional Dalam Membangun Kemandirian Bangsa".
Kegiatan yang menghadirkan pembicara berupa ilmuwan-ilmuwan Indonesia Internasional ini dilaksanakan di Auditorium Kampus B Universitas Trisakti pada 26 Oktober 2009 Pukul 13.00 s/d 16.00 WIB.
Adapun pembicara yang hadir dalam kegiatan ini, antara lain :
Dr.Taruna Ikrar, SP.KJ,MD,PhD
DR.Henry Tandjung
DR.Johnny Setiawan
DR.Fadlolan Musyaffa Mu'thi,MA
Prof.DR.Sofyan Safri Harahap,MSAc

Kegiatan ini dibuka oleh H.I.Komang Sukaarsana,SH,MH selaku Wakil Rektor III Universitas Trisakti, dalam sambutannya H.I.Komang Sukaarsana,SH,MH sangat menyambut baik lahirnya Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) yang akan mewarnai dunia akademis Indonesia kedepannya. Senada dengan hal tersebut Presiden Mahasiswa Masyarakat Mahasiswa Universitas Trisakti Periode 2008-2009 saudara Atma Winata Nawawi juga memberikan pandangan bahwa kebangkitan bangsa Indonesia akan ditandai dengan bangkitnya dunia Ilmu Pengetahuan Modern yang akan menjadi motor penggerak bagi lahirnya generasi baru bangsa Indonesia yang mandiri, berdaulat, adil, dan makmur.


Kegiatan ini diikuti oleh 250 peserta seminar yang terdiri dari mahasiswa Universitas Trisakti sebagai tuan rumah, dan perwakilan dari 15 BEM se-Jabodetabek, serta 7 BEM yang tergabung dalam aliansi mahasiswa Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Antusiasme peserta seminar dalam kegiatan ini sangat tinggi, hal ini terlihat dari banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh peserta seminar kepada pembicara.


Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional yang merupakan suatu wadah komunikasi para ilmuwan Indonesia di luar dan dalam negeri, diinisiasikan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia se Dunia dan telah dideklarasikan oleh perwakilan PPI, perwakilan ilmuwan Indonesia, dan perwakilan organisasi kemahasiswaan dan pemuda Indonesia. Deklarasi tersebut dilakukan pada hari terakhir kegiatan Simposium Internasional PPI Dunia 2009 di Den Haag, Belanda pada tanggal 3-5 Juli 2009.

Semoga keberadaan Organisasi baru ini, dapat memberi arti dan peran yang besar bagi kehidupan bangsa Indonesia.

Selasa, 29 September 2009

Rule of Neoliberalism Law dan Politik Pendisiplinan Pembaruan Hukum di Indonesia: Suatu Perspektif Hak Asasi Manusia

R. Herlambang Perdana Wiratraman Pengantar Ketika diskursus neoliberalisme mencuat belakangan ini, nampak perdebatan-perdebatan yang seringkali dimunculkan adalah perdebatan politik ekonomi yang memang dominan terjadi untuk memasukkan agenda tersebut dalam kebijakan pemerintahan. Di tengah-tengah perdebatan itu, terkesan ada yang kurang proporsional dihadirkan, utamanya dikaitkan dengan tudingan-tudingan politis atas pribadi atau pendukung politisi tertentu. Tulisan berikut tidak dimaksudkan untuk menjelaskan atau mengikuti arus tudingan tersebut, apalagi sebaliknya untuk membantahnya. Pemikiran dalam tulisan ini lebih menitikberatkan sudut pandang hukum dan hak asasi manusia, yang kemudian pada penjelasan tersebut akan memperlihatkan betapa mudahnya simplifikasi itu [tudingan] terjadi. Ini karena memperbincangkan neoliberalisme dari sudut pandang hukum dan hak asasi manusia menggambarkan betapa proses ‘penjajahan hukum’ yang demikian rapi melalui sejumlah teknologi yang diproduksi oleh mesin kekuasaan negara yang ditopang oleh digdaya kapitalisme global. Konfigurasi hukum neoliberal yang demikian, unik dan tidak banyak publik menyangka bahwa ia lebih kuat nan rapi terjadi dalam situasi reformasi, yang begitu didambakan rakyat banyak. Marilah kita simak, sejak reformasi bergulir, jumlah kelembagaan negara yang dibentuk baru mencapai lebih dari tujuh puluh (70) lembaga, baik di bawah pilar kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan yudisial. Demokrasi sendiri berjalan menempuh rute prosedural yang sarat dengan politik representasi liberal pemilu, tanpa bisa lagi mengidentifikasi keperluan mendasar bagi pemenuhan kesejahteraan sosial. Hak asasi manusia pun telah melengkapi suasana konstitusionalisme UUD RI 1945, meskipun dalam prakteknya hak-hak asasi manusia pun diseleksi untuk menuruti kebutuhan liberalisasi pasar. Dan yang paling atraktif dan ofensif dalam diskursus ketatanegaraan adalah good governance (berikut turunannya), sebagai pilihan strategi peredaman di tengah euforia publik menutut perubahan, dengan memberikan pemangku kepentingan yang lebih dominan untuk menafsirkan dan mengendalikan agenda-agenda perubahan-perubahannya. Ia hadir seperti mitos, yang begitu gampang dipercaya baik oleh pengambil dan pelaksana kebijakan, kaum intelektual dan celakanya, sebagian besar rakyat. Makalah ini hendak mengupas problematika pembaruan hukum, termasuk di dalamnya ketatanegaraan Indonesia, dari sudut pandang diskursus dan bagaimana ia bekerja untuk menfasilitasi kepentingan politik dominan dalam strategi pembaruan undang-undang. Secara lebih khusus, membongkar apa yang nampak dan yang tersembunyi di balik diskursus ‘baik’ dari good governance, utamanya dikaitkan dengan upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM). Apakah dalam konteks tersebut, HAM diakomodasi, disubordinasi, ataukah dinegasikan? Good Governance sebagai Pintu Masuk Neoliberalisme Dengan mudah kita menyaksikan atau mendengar dari dekat bahasa santun nan elok ‘good governance’, tetapi dengan sangat gampang pula di sekitar kita terlihat centang perenang terjadi korupsi sistematik, legalisasi suap antar lembaga kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia dan kebijakan imperial lainnya. Sepertinya, beda tipis antara apa yang disebut dengan ’good’ (baik) dengan ’bad’ (buruk) atau ‘poor’ (miskin) dalam tata kelola pemerintahan, karena keduanya berjalan seiring bak lintasan rel kereta yang didisain kuat menancap dengan ‘bantalan’ teori dan mistifikasi kekuasaan, yang keluar masuk stasiun mengangkut (baca: memperdagangkan) penumpang sebanyak-banyaknya. Persis seperti ‘good governance’ yang diinjeksikan dari negara satu ke negara lain yang menebarkan pengaruh tentang kebenaran absolut pengelolaan urusan negara (ketatanegaraan). Uniknya, tak lama berselang, mitos ini kian beranak-pinak dalam sejumlah mitos lainnya yang membuat teori-teori yang menopang di bawahnya sangatlah absurd, latah dan menggelikan karena telah jauh meninggalkan substansi serta paradigma ketatanegaraan. Lihat saja, ‘good sustainable development governance’ (Partnership Initiatives 2002), ‘good financial governance’ (Soekarwo 2005), ‘good environmental governance’ (Wijoyo 2005: 44), ‘good coastal governance’, dan lain sebagainya. Kritik terhadap good governance bukanlah hal yang baru, karena banyak studi atau riset yang telah dilakukan untuk membongkar diskursus ini dalam berbagai pendekatan, baik itu pendekatan politik, ekonomi, sejarah, hukum, sosiologi internasional, hubungan internasional dan pendekatan disiplin ilmu lainnya (Abrahamsen 2000; Bello 2002, 2005; Bendana 2004; George 1995; Parasuraman, et. al. 2004; Pieterse 2004; Quadir et al. 2001; Robinson 2004; Selznick 1969; Gathii 1998; Hosen 2003; Wiratraman 2006, 2007). Bank Dunia merupakan pencetus gagasan yang memperkenalkannya sebagai ‘program pengelolaan sektor publik’ (public sector management program), dalam rangka penciptaan ketatapemerintahan yang baik dalam kerangka persyaratan bantuan pembangunan (World Bank 1983: 46). Good governance dalam konteks ini merupakan suara pembangunan. Sebagai suara pembangunan, sesungguhnya ia lebih menampakkan pendisiplinan demokrasi atau model ketatapemerintahan tertentu. Krisis di Afrika telah membawa pesan demikian jelas dalam mencetuskan suatu konsep baru mengenai ‘governance’ untuk menentang apa yang disebut Bank Dunia sebagai suatu ‘crisis of governance’ atau ‘bad governance’ (World Bank 1992). Pengalaman Afrika pasca krisis utang dan perang dingin telah menggambarkan latar dari suatu iklim umum dalam menyokong pasar bebas dan demokrasi liberal, dan hal ini telah secara dahsyat menunjukkan betapa good governance sebagai pemaksaan politik hukum oleh negara industrialisasi maju dan agen internasional (termasuk lembaga maupun negara donor) dalam membentuk ketatapemerintahan pasar (Abrahamsen 2000; Stokke 1995; Gathii 1998). Dalam konteks Asia, proyek-proyek good governance sesungguhnya telah lama diperkenalkan ke sejumlah negara, utamanya ke negara-negara yang memiliki ketergantungan atas bantuan hutang luar negeri. Proyek tersebut sama sekali tidak mempedulikan rezim yang berkuasa, yakni rezim yang koruptif dan diktatorial. Di Indonesia, pada awal tahun 1990an sudah mulai diperkenalkan model ketatapemerintahan yang ramah terhadap kepentingan pasar, melalui skenario program penyesuaian struktural. Meskipun demikian, saat Soeharto masih berkuasa, proyek-proyek yang dikembangkan di Indonesia praktis gagal dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan korupsi yang dilakukan atas bantuan hutang luar negeri tersebut diketahui Bank Dunia, namun Bank Dunia melakukan pembiaran atas hutang-hutang yang dikorupsi tersebut. Inilah yang disebut ‘criminal debt’ (hutang kriminal), yang ironisnya harus dibayar oleh rakyat dan dibebankan pada generasi bangsa pasca Soeharto (Winters 1999; 2002). Jadi apa yang disebut sebagai ‘bantuan’ oleh Bank Dunia, sebenarnya merupakan proses sistematik penghancuran yang tidak hanya ditujukan pada rakyat saat rezim Soeharto berkuasa, melainkan pula ongkos ‘pelanggengan kekuasaan diktator’ yang memiliki konsekuensi panjang terhadap jutaan rakyat Indonesia di masa-masa berikutnya. Dalam situasi demikian, terlihatlah dengan jelas bahwa ‘good governance’ bersahabat dengan mekanisme-mekanisme siluman yang tidak berkepentingan atas demokratisasi dan hak asasi manusia. Tekanan Bank Dunia dalam urusan pembaruan ketatapemerintahan kian menguat disuntikkan setelah terjadinya krisis finansial di Asia di paruh akhir 1990an. Praktek dan justifikasi Bank Dunia melalui diagnosa antara ketatapemerintahan yang ‘buruk dan baik’ menjadi diskursus utama dalam mempengaruhi faktor-faktor kegagalan dalam konteks krisis tersebut, dan ini persis seperti apa yang telah dilakukan sebelumnya di Afrika pada 1980an. Seiring bersama dengan gerakan reformasi yang dilakukan oleh mahasiswa tahun 1998, seolah proponen neoliberal diberi ‘pintu masuk’ untuk kembali menanamkan proyek-proyeknya (juga melalui utang) kepada pemerintah. Ratusan juta dolar dikucurkan untuk pemerintah dalam membiayai pembaruan kebijakan dan institusi politik, hukum dan ekonomi, sehingga tak terelakkan bahwa good governance menjadi arus utama pembaruan birokrasi dan hukum sebagai penopang proyek ketatapemerintahan tersebut. Desentralisasi yang terjadi di awal reformasi telah memuluskan dan menyuburkan diskursus good governance, karena ia menjadi sesuatu yang seksi, segar, populer, dan diucapkan secara berulangkali baik oleh pejabat tinggi hingga level yang paling rendah di daerah. Tak terkecuali, agenda-agenda gerakan menjadi ikut pula termoderasi dan mempercayai good governance sebagai obat mujarab bagi tatanan birokrasi politik-ekonomi Indonesia. Akademisi dan organisasi non-pemerintah pun latah mengucapkan diskursus tersebut sebagai ikon baru yang menemani demokratisasi. Sejak reformasi bergulir, telah lahir banyak pusat studi maupun proyek-proyek good governance yang dipesan melalui perguruan tinggi, dari mulai isu yang lekat dengan pembaruan hukum, pembaruan peradilan, desentralisasi, penganggaran, hingga soal legal drafting. Begitu juga organisasi non-pemerintah yang secara kuat pula mentransmisikan gagasan good governance melalui isu yang tidak jauh berbeda. Mengapa transmisi diskursus good governance tersebut demikian kuat diusung oleh Bank Dunia dan kemudian ditransplantasikan dengan rapi oleh agen-agen negara maupun non-negara? Kita bisa mulai membedahnya dari sisi konseptual, dan lalu dilanjutkan dengan memetakan bagaimana kerangka konseptual tersebut menjadi sangat dominan dipaksakan ke negara-negara selatan, termasuk di Indonesia. Dalam laporannya tahun 1989, Bank Dunia telah mengekspresikan gagasan “Upaya untuk menciptakan suatu kemampuan lingkungan dan untuk membangun kapasitas-kapasitas akan dibuang bila konteks politik tidak mendukung. Pada akhirnya, pemerintahan yang baik memerlukan pembaharuan politik. Ini berarti suatu tindakan bersama melawan korupsi dari tingkat paling tinggi hingga paling rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan menata suatu contoh baik, dengan memperkuat pertanggungjawaban, dengan mendukung debat publik, dengan memelihara suatu pers bebas. Ini juga berartimembantu perkembangan akar rumput dan organisasi non-pemerintah seperti serikat petani, perkumpulan-perkumpulan, dan kelompok-kelompok perempuan” (World Bank 1989). Dengan langgam bahasa yang hampir sama, Bank Dunia telah menyatakan pula, “Good governance dilambangkan dengan dapat diperkirakan (predictable), terbuka (open) dan pembuatan kebijakan yang tercerahkan (enlightened policy-making), suatu birokrasi diilhami dengan bertindak etos professional dalam pemajuan fasilitas publik, rule of law, proses-proses transparan, dan masyarakat sipil yang kuat berpartisipaso dalam kepentingan publik. Ketatapemerintahan yang miskin (poor governance) di sisi lain dikarakteristikan dengan pembuatan kebijakan yang sewenang-wenang, birokrasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sistem perundangan yang tidak adil dan tidak bisa ditegakkan, penyalahgunaan kekuasaan eksekutif, suatu masyarakat sipil yang tidak bisa menikmatik kehidupan publiknya dan korupsi yang meluas.” (World Bank 1994: vii). Dalam mengkampayekan good governance, Bank Dunia telah memprogramkan suatu program pembelajaran dan telah memperkenalkan konsep ketatapemerintahan, Good governance merupakan suatu manual yang didefinisikan sebagai implementasi efektif kebijakan dan provisi pelayanan yang yang responsive terhadap kebutuhan-kebutuhan warganya. Good governance melekat pada kualitas, seperti akuntabilitas, responsif, transparan, dan efisiensi. Ia mengasumsikan kemampuan pemerintah untuk mengelola sosial, perdamaian, jaminan hukum dan tatanan, mempromosikan dan menciptakan kondisi-kondisi yang perlu untuk pertumbuhan ekonomi dan mamastikan suatu level minimum jaminan sosial (World Bank 2002). Definisi yang demikian sesuangguhnya telah tetap dan secara kuat dipertahankan untuk menyokong aturan main bahwa membuat pasar bekerja secara efisien dan lebih problematiknya, Bank Dunia mengoreksi kegagalan pasar (Bank Dunia 1992). Sejumlah dokumen tersebut memperlihatkan bahwa pendekatan yang digunakan oleh Bank Dunia, khususnya dalam menegaskan isu-isu penting akuntabilitas, sesungguhnya ditujukan dalam rangka mengupayakan pembaharuan untuk stabilitas politik dan pembangunan ekonomi yang diperlukan dalam proses liberalisasi pasar. Konsep politik ekonomi yang demikian sesungguhnya berfokus pada model demokrasi liberal dan liberalisasi ekonomi, dan good governance-nya pun merupakan model neoliberal, yakni ‘good governance free market assistance’ (Wiratraman 2006). Watak neoliberalisme good governance dapat dilihat dari sasaran-sasarannya yang senantiasa berpusat pada efisiensi pengelolaan sumberdaya dan menopang pasar bebas. Elemen-elemen kuncinya adalah akuntabilitas, rule of law, transparan, dan partisipasi. Sungguh, elemen-elemen ini juga menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia di tengah eforia reformasi, namun elemen kunci tersebut sebenarnya menyimpan rencana besar untuk melucuti peran-peran negara di sektor publik dan menggantikannya dengan peran dominan swasta atau privat. Urusan perlindungan hak-hak asasi manusia bukanlah urusan yang penting dalam skema good governance ini, meskipun mandat tanggung jawab hak asasi manusia bertumpu pada peran utama negara (vide: Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Amandemen). A contrario, berarti, good governance yang demikian hanya akan menempatkan posisi pasar secara dominan, dan urusan-urusan publik yang dimaksudkan pun telah diseleksi (baca: dipangkas) berbasis pada iklim liberalisasi pasar. Pendisiplinan Pembaruan Hukum Diakui memang, bahwa telah terjadi banyak perubahan yang cukup banyak termasuk lompatan-lompatan pembentukan dan kerja kelembagaan negara yang kian melengkapi percaturan politik kenegaraan Indonesia. Proyek-proyek hukum dilakukan secara serentak, mulai dari upaya pembaruan hukum, pembaruan peradilan, dan pembaruan lembaga-lembaga negara lainnya. Bagi Bank Dunia, hukum dan implementasinya dilihat sebagai faktor-faktor penting untuk memperkuat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan sistem pasar bebas, salah satu elemen prinsip good governance adalah ‘legal framework for development’ (kerangka perundang-undangan untuk pembangunan) (World Bank 1992). Dalam kerangka perundangan yang demikian, rule of law adalah konsep utama yang secara instrumental dan substansial penting, karena ia mengkonsentrasikan pada keadilan (justice), kejujuran (fairness) dan kebebasan (liberty). Bank Dunia menegaskan suatu sistem hukum yang ‘fair’, yang kondusif untuk menyeimbangkan pembangunan (World Bank 1992: 29-30). Ini sebabnya, tidak terlampau mengejutkan, perspektif Bank Dunia dalam good governance terkait utamanya dengan kebutuhan-kebutuhan perundangan bagi aktor-aktor komersial dalam pasar (LCHR 1993: 53). Pendapat cukup kritis dilontarkan dalam menganalisis hubungan antara rule of law dan kerangka perundangan untuk pembangunan di bawah agenda agenda good governance telah ditulis oleh Tsuma (1999). Menurutnya, Bank Dunia memulai mengarahkan proyek pembaruan hukum dalam 1990an ketika good governance menjadi bagian dari agenda pembangunan (World Bank 1992; 1995a). Kerangka perundangan untuk pembangunan ini sesungguhnya merupakan evolusi proyek-proyek Bank Dunia, ketika Bank Dunia telah mempromosikan good governance sebagai sinonim dengan suara pengelolaan pembangunan (World Bank 1992: 1; Tshuma 1999: 79). Ini disebabkan Bank Dunia meletakkan doktrin rule of law sebagai suatu prasyarat untuk pembangunan ekonomi. Bila kita lihat lebih jauh, perspektif rule of law dengan memperkuat prosedural dan institusional semata, dalam rangka menjamin stabilitas dan predikbilitas yang menjadi elemen mendasar suatu iklim usaha, adalah suatu perspektif yang lebih dipengaruhi oleh model Weberian dalam hukum. Weber (1978: 24-26) mengidentifikasi 4 jalan dalam orientasi aksi sosial: rasional secara instrumen, rasional nilai, memiliki daya pengaruh, dan tradisional. Ia telah mengargumentasikan bahwa prediktabilitas dan perhitungan dalam sistem perundangan adalah penting bagi pembangunan kapitalis. Rule of law sebagai prasyarat untuk liberalisme kapital adalah konversi segala bentuk produksi – buruh, tanah dan modal – ke dalam komoditas-komoditas yang memiliki nilai daya tukar mereka dalam pasar (Tshuma 1999: 85). Dalam hal ini, konversi kapitalistik berarti proses transformasi ke dalam komoditas-komoditas yang menggunakan kekuatan paksa negara untuk merampas hak-hak rakyat dalam jumlah besar. Serupa dengan hal tersebut, Polanyi (1944) telah lama menekankan bahwa transformasi memiliki konsekuensi traumatik bagi mereka yang dirampas alat-alat produksinya serta mereka yang secara konsekuensi dipaksa untuk menjual tenaganya sebagai buruh hanya untuk bertahan hidup (Polanyi, dalam Tshuma 1999: 85). Dalam konteks Indonesia, pendisiplinan pembaruan hukum melalui disain ketatanegaraan neoliberal sangat jelas terlihat ketika upaya pembaruan tersebut tidak meletakkan arah perubahannya pada sistem yang lebih berkeadilan bagi rakyat banyak, melainkan lebih menuruti kepentingan atau selera pasar dalam penciptaan iklim usaha. Dalam soal pembaruan kelembagaan negara, hal ini bisa dicontohkan pada pembentukan institusi peradilan khusus bagi buruh melalui Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Pembentukan mekanisme peradilan baru ini merupakan bagian dari proyek pembaruan peradilan (judicial reform) yang disponsori Bank Dunia dan bertujuan untuk sekadar meningkatkan ‘wajah’ perekonomian suatu bangsa. Sedangkan dalam soal pembaruan peraturan perundang-undangan, banyak kasus yang bisa dicontohkan, seperti lahirnya Undang-Undang Sumberdaya Air (UU No. 7 Tahun 2004), Undang-Undang Penanaman Modal (UU No. 25 Tahun 2007), Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003). Bagi Bank Dunia, proyek pembaruan peradilan adalah relevan bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa, dan ini merupakan kunci sukses strategi peminjaman uang Bank pada suatu negara (Shihata 1995: 170; Armstrong 1998). Singkatnya, proyek pembaruan peradilan dilihat sebagai bagian penting upaya membuat sistem perundangan di negara berkembang dan selatan serta negara dengan ekonomi transisi lebih ramah pasar. Dalam implementasinya, upaya pembaruan ini dilakukan dengan segala bentuk cara mulai dari proses perencanaan dan perancangan kebijakan, merevisinya, mengajarkannya kepada menteri yang terkait dengan hukum dan perundang-undangan dan mengajaknya untuk berfikir lebih strategis dalam mendorong liberalisasi pasar. Sebagai suatu mesin perundangan, ia meyakinkan adanya kompetensi, etika, dan jaminan digaji secara profesional bagi mereka yang membentuk perundangan yang secara baik mendisain promosi aktifitas komersial (Posner 1998: 1; Severino 1999). Sejak 1994, Bank Dunia, Bank Pembangunan Inter-Amerika (Inter-American Development Bank) dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) telah menyetujui dan mengucurkan pinjaman bagi proyek pembaruan peradilan sebesar US$ 500 juta di 26 negara (Armstrong 1998). Good governance dalam konsepnya yang demikian, memperlihatkan hubungan sangat erat antara upaya-upaya pembaruan hukum (termasuk pembaruan peradilan) dengan bagaimana menciptakan sistem keuangan yang ‘sehat’ bagi parsyarat liberalisasi pasar. Ia diupayakan untuk menjamin, bukan pada hak-hak masyarakat banyak, melainkan jaminan bagi pemodal yang melakukan investasi dan menggerakkan sumber dayanya dalam suatu mekanisme yang benar-benar efisien. Dalam konteks ini, kerangka hukum ditujukan untuk meyakinkan adanya jaminan hak-hak para kreditor dan bekerjanya fungsi peradilan untuk menegakkannya, arus informasi yang lebih bertanggung jawab, peraturan yang lebih kuat dan independen, khususnya bagi supervisi lembaga-lembaga keuangan (World Bank 2005: 8). Terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia, sungguh bukan hal yang susah untuk diamati sebagai kepentingan neoliberal yang dimainkan Bank Dunia, karena sejak awal Bank Dunia telah mendorong negara-negara yang berhutang untuk membuat aturan-aturan dan mekanisme hukum baru. Tidak saja pada hukum perburuhan saja, banyak kebijakan peraturan baru yang terkait semacam peraturan investasi dan perdagangan, peraturan anti-korupsi, dan pembentukan peradilan usaha (niaga) yang kesemuanya ditempatkan dalam rangka menjalankan mesin legislasi bagi efektifitas pengucuran utang sekaligus meminimalisir resiko atau ketiadaan jaminan hak-hak atas kekayaan. Sekali lagi, good governance lebih bertumpu pada disain substantif kerangka hukum untuk (sekadar) liberalisasi pasar. Subversi terhadap HAM dan Peluruhan Kedaulatan Rakyat Dalam tulisan singkat ini, berupaya mendekonstruksi bahwa selain bentuknya yang imperatif dan penuh dengan mitos ‘kebaikan’ (good), good governance juga menggunakan teknologi yang dalam prakteknya justru mengsubordinasi atau bahkan bertentangan dengan upaya pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Ia seperti mantra dalam sirkuit pembangunan yang membentuk ketatapemerintahan politik dalam abad globalisasi. Bagaimana teknologi ini bekerja dan berpengaruh dalam mensubordinasi hak-hak asasi manusia? Pertama, munculnya good governance tidak terpisahkan dengan pendisplinan [hukum] untuk liberalisasi pasar dalam bentuknya yang lebih santun dan formal. Oleh sebabnya, good governance sekarang lebih tampil dalam diskursus hak asasi manusia, namun terseleksi dan mengharuskan ramah terhadap pasar (market friendly human rights paradigm). Meskipun banyak yang berpendapat bahwa good governance sangat terkait dengan upaya maju hak asasi manusia, namun dalam sejumlah penelitian dan kajian membuktikan sebaliknya. Mulai dari konstruksi diskursus, paradigma, dan rancangan good governance yang ditampilkan dengan dominan neoliberalisme yang memaksakan negara-negara selatan mengikutinya, sungguh dinamika antara teks dan konteksnya memperlihatkan penyingkiran hak-hak rakyat banyak. Apa yang kita saksikan sekarang ini, good governance merupakan teknologi mendisiplinkan demokrasi melalui kerangka hukum untuk pembangunan. Uniknya, teknologi dipergunakan secara latah baik bagi kalangan pemerintahan itu sendiri maupun di luar pemerintahan, seperti organisasi non-pemerintah, pusat studi kampus, jurnalis dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Teknologi transplantasi gagasan good governance kian mulus disebabkan persinggungan keinginan perubahan dalam konteks reformasi tidak bisa dijelaskan dengan gampang, mana yang terbilang ’baik’ dan mana yang terbilang ’buruk’, karena teknologi diskursus ini memberikan perangkap di segala lini untuk mengerucut pada proses-proses liberalisasi pasar. Di kalangan intelektual kampus, barangkali memang good governance telah banyak diajarkan melalui diktat(or)-diktat(or) perkuliahan (utamanya kajian ketatapemerintahan dan ketatanegaraan), karena tidak sedikit akademisi dan pusat-pusat studi di perguruan tinggi yang penuh dengan kesadaran mentransmisikan gagasan neoliberalisme ketatanegaraan melalui good governance. Dengan perspektif Derrida tentang ’difference’, good governance yang dilanggamkan oleh sejumlah pihak nampak seragam, tetapi agenda-agenda secara substansi dibaliknya sungguh berbeda, baik secara historis, konseptual, prinsip, dan narasi-narasinya. Tentunya, ketika memperbincangkan konsepsi dominan, diskursus Bank Dunia lah yang paling kuat dan berpengaruh untuk lebih bisa menancap pada disain kebijakan pemerintahan, termasuk pembaruan hukum dalam konteks ketatanegaraan. Kedua, teknologi yang digunakan untuk mentransmisikan good governance juga mendasarkan pada strategi mistifikasi kekuatan-kekuatan yang sebenarnya tidak berimbang. Bank Dunia tidak bekerja sendiri di Indonesia, ia melibatkan pekerja-pekerja diskursus yang memuluskan proyek-proyek pembaruan. Bantuan hukum dalam rangka pengurangan kemiskinan yang digencarkan Bank Dunia (melalui Justice for the Poor), juga digerojok dengan jumlah dana besar agar mesin promosi hak asasi manusia, anti korupsi, demokrasi, rule of law, partisipasi, dan lain sebagainya, kelihatan sungguh-sungguh ada dan bekerja, telah melengkapi diskursus paradigma hak asasi manusia ramah pasar. Situasi pemiskinan struktural yang diakibatkan proyek Bank Dunia, seperti kebijakan fleksibilitas buruh dengan - salah satunya - hadirnya PHI yang menyakitkan bagi buruh untuk beracara di peradilan, proyek privatisasi, dan komersialisasi, tidaklah menjadi agenda bagi proponen neoliberal. Dalam konteks inilah, mistifikasi diskursus dan mesin institusional merupakan teknologi rasional yang secara sistematik memproduksi konsep ‘kebenaran dan pengetahuan’ good governance, merupakan cara menghaluskan penindasan neoliberal. Ketiga, teknologi perundangan yang dibingkai dalam diskursus good governance, dengan menggunakan doktrin rule of law sebagai prasyarat pembangunan ekonomi, dipergunakan untuk membenarkan imperialisme pasar. Good governance merupakan alat canggih menstipulasi mekanisme perubahan hukum dan institusi melalui kerangka hukum untuk pembangunan sebagai bentuk penjaminan kepentingan korporasi dan pemodal. Secara ideologi, promosi prinsip-prinsip liberalisasi pasar jauh lebih kuat dibandingkan perlindungan bagi rakyat miskin, dan hal ini sangat jelas terlihat dari upaya sistematik menarik peran-peran negara agar ’sumberdaya dan pengelolaannya lebih efisien’. Teknologi ini memperlihatkan dua hal: (i) good governance absen dalam upaya pemajuan hak asasi manusia, dan tidak segan-segan menggerogotinya dan mensubversinya dalam bentuk-bentuk kebijakan payung (semacam ’kerangka hukum untuk pembangunan’). (ii) good governance secara paradigmatik memindahkan peran-peran negara ke swasta atau privat, sehingga ia memperlihatkan jalur yang berbeda dengan aspirasi hak asasi manusia, dan sekaligus membajak jalur yang ada untuk kian melemahkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak. Inilah apa yang publik percayai tentang kebaikan-kebaikan dalam good governance, yang sesungguhnya menawarkan aturan main yang demikian menjebak secara paradigmatik, yakni rule of neoliberalism law sebagai suatu sistem yang demikian susah untuk dihindari bagi siapapun pemangku kekuasaan di negeri ini, bila ia tidak berani memindahkan paradigma tersebut dalam kebijakan-kebijakannya (derailing). Bila secara sistematik dilakukan dengan teknologi pembenaran melalui pembaruan peraturan perundang-undangan, maka telah terang bahwa good governance yang sangat menekankan proseduralisme melahirkan proses-proses pelanggaran hak asasi manusia yang difasilitasi oleh hukum yang ada atau dibentuknya (legalized violations of human rights). Dengan mitos ketatanegaraan (dan mantra-mantranya) good governance yang mengusung agenda-agenda pembaruan, menjelaskan pada kita bahwa hukum ditempatkan sekadar alat kekerasan dan sekaligus pelumas menuju mekanisme pasar bebas. Sebagai kesimpulan, sekaligus peringatan, bahwa good governance sebagai teknologi hukum neoliberal telah benar-benar rapi disiapkan untuk mendisplinkan pembaruan hukum, yang sebenarnya jelas berfungsi meluruhkan kedaulatan rakyat melalui pintu perundang-undangan dan pembentukan institusi ketatanegaraan Indonesia.

Sabtu, 08 Agustus 2009

" Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan .....karya" Kata pepatah yang sudah tak asing bagi kita dari dulu. Kematian dan kehidupan adalah sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan, ketika memang sudah saatnya, maka tinggal dibalik saja kepingan kehidupan itu. Kematian sebenarnya begitu dekat saat kita memaknai kehidupan. Satu kabar yang cukup menyentakan malam tadi, salah satu penyair besar , WS Rendra, atau biasa dipanggil bang willy telah terbang menghadapnya. Pengabdiannya di muka bumi kiranya dirasa cukup. Kini sayap burung meraknya telah kuat untuk menerbangkannya ke nirwana. WS Rendra dijuluki sebagai penyair burung merak. Sang Burung Merak ini melejit karena puisi-puisi yang ditulisnya. Ia juga menulis naskah drama yang dilakoninya sendiri. Penyair yang sempat heboh karena pernikahannya dan masuk Islam, karena sebelumnya ia adalah pemeluk Katolik. Beberapa karyanya antara lain, drama orang-orang di tikungan jalan (1954), Mastodon dan Burung Kondor, Sajak / puisi Jangan Takut Ibu, Balada Orang-Orang Tercinta, dll. Tayangan di TV One tadi pagi, cukup menarik juga ketika cerita tentang perjalanan haji bang willy. Sebuah kejujuran, itu yang berulang kali disampaikan sebaga sebuah testimoni untuk sang burung merak. Bagi saya pribadi, WS Rendra adalah salah satu inspirator dalam berpuisi. Mungkin kalau melihat beliau secara langsung baru satu kali di TIM dan itu hanya melihat dari jarak agak jauh. Tapi Rendra sebagai inspirator itu cukup terkadang bagi saya. Kira-kira empat tahun yang lalu, saat itu perlombaan baca puisi tngkat pelajar se-Jateng di UNNES, saya menjadi salah satu peserta. Modal nekat dan pengen jalan-jalan. Satu hari sebelum lomba, kepanikan melanda, karena memang tanpa persiapan apapun. "Pripun iki??? Aq bukan anak sanggar, aq cuma ketua tetater yang nggak jelas". Salah satu seniorku tiba-tiba bilang " Cari gaya-mu, coba tonton Rendra". Yeah...tanpa latihan sedikitpun, hanya mencoba melihat gaya-gaya berpuisi Rendra. Walaupun sebenarnya masih banyak referensi lain selain rendra, dan mungkin karena waktunya sempit jadi hanya sempat melihat2 gaya Rendra. Waktu hari H memang akhirnya saya mencoba membaca puisi dengan "mencoba meniru" gaya santai Rendra membawakan puisi. Ketika Rendra baca puisi, bagi saya seperti bercerita, bukan deklamasi. Gaya santai, tenang, tapi tetap semangat! Ah, pokonya pas lomba waktu itu yang ada dalam benak saya adalah "gaya rendra". Ternyata kenekatan itu membuahkan hasil, jadi runner up. Sejak saat itulah saya benar-benar "ngefans" sama Rendra. Sangat sedih sekali ketika event "Piala Rendra" di UPI Bandung dua tahun lalu saya sakit dan tak bisa hadir. Mungkin cerita ini self centered, tapi inilah kemudian Rendra dimata saya... Rendra Orang besar yang bersahaja, menjadi salah satu inspirator dalam berkarya. Karya-karya WS Rendra adalah bagian penting dari INDONESIA. Sekalipun beliau pergi..kita tak pernah merasa dia hilang...karena sajak-sajaknya tetap hidup menjadi sebuah riak semangat bagi kita semua. Selamat jalan WS Rendra..terbanglah engkau dengan kepakan sayap Merak dan Nyanyian Angsa-mu... Terimakasih atas balada-balada yang kau tinggalkan.. .semua akan menjadi pemantik untuk para WS Rendra muda...... Berikut Sebuah sajak dari WS Rendra yang cukup menyentuh mengenai "arti kehilangan" dan kepemilikan. ..mengajarkan tentang arti ikhlas : MAKNA SEBUAH TITIPAN Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku, bahwa: sesungguhnya ini hanya titipan, bahwa mobilku hanya titipan Allah bahwa rumahku hanya titipanNya, bahwa hartaku hanya titipanNya, bahwa putraku hanya titipanNya, Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku? Untuk apa Dia menitipkan ini padaku? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milikNya ini? Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku? Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali olehNya? Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah, kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka, kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita. Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan, seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku. Seolah keadilan dan kasihNya harus berjalan seperti matematika: aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku. Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih. Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku". dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku. Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah... "Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja" WS Rendra Grogol, 7 Agustus 2009, 17:00 Sebuah Postingan dari sahabat di Purwokerto