SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Blog Pribadi Atma Winata Nawawi

Sabtu, 08 Agustus 2009

" Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan .....karya" Kata pepatah yang sudah tak asing bagi kita dari dulu. Kematian dan kehidupan adalah sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan, ketika memang sudah saatnya, maka tinggal dibalik saja kepingan kehidupan itu. Kematian sebenarnya begitu dekat saat kita memaknai kehidupan. Satu kabar yang cukup menyentakan malam tadi, salah satu penyair besar , WS Rendra, atau biasa dipanggil bang willy telah terbang menghadapnya. Pengabdiannya di muka bumi kiranya dirasa cukup. Kini sayap burung meraknya telah kuat untuk menerbangkannya ke nirwana. WS Rendra dijuluki sebagai penyair burung merak. Sang Burung Merak ini melejit karena puisi-puisi yang ditulisnya. Ia juga menulis naskah drama yang dilakoninya sendiri. Penyair yang sempat heboh karena pernikahannya dan masuk Islam, karena sebelumnya ia adalah pemeluk Katolik. Beberapa karyanya antara lain, drama orang-orang di tikungan jalan (1954), Mastodon dan Burung Kondor, Sajak / puisi Jangan Takut Ibu, Balada Orang-Orang Tercinta, dll. Tayangan di TV One tadi pagi, cukup menarik juga ketika cerita tentang perjalanan haji bang willy. Sebuah kejujuran, itu yang berulang kali disampaikan sebaga sebuah testimoni untuk sang burung merak. Bagi saya pribadi, WS Rendra adalah salah satu inspirator dalam berpuisi. Mungkin kalau melihat beliau secara langsung baru satu kali di TIM dan itu hanya melihat dari jarak agak jauh. Tapi Rendra sebagai inspirator itu cukup terkadang bagi saya. Kira-kira empat tahun yang lalu, saat itu perlombaan baca puisi tngkat pelajar se-Jateng di UNNES, saya menjadi salah satu peserta. Modal nekat dan pengen jalan-jalan. Satu hari sebelum lomba, kepanikan melanda, karena memang tanpa persiapan apapun. "Pripun iki??? Aq bukan anak sanggar, aq cuma ketua tetater yang nggak jelas". Salah satu seniorku tiba-tiba bilang " Cari gaya-mu, coba tonton Rendra". Yeah...tanpa latihan sedikitpun, hanya mencoba melihat gaya-gaya berpuisi Rendra. Walaupun sebenarnya masih banyak referensi lain selain rendra, dan mungkin karena waktunya sempit jadi hanya sempat melihat2 gaya Rendra. Waktu hari H memang akhirnya saya mencoba membaca puisi dengan "mencoba meniru" gaya santai Rendra membawakan puisi. Ketika Rendra baca puisi, bagi saya seperti bercerita, bukan deklamasi. Gaya santai, tenang, tapi tetap semangat! Ah, pokonya pas lomba waktu itu yang ada dalam benak saya adalah "gaya rendra". Ternyata kenekatan itu membuahkan hasil, jadi runner up. Sejak saat itulah saya benar-benar "ngefans" sama Rendra. Sangat sedih sekali ketika event "Piala Rendra" di UPI Bandung dua tahun lalu saya sakit dan tak bisa hadir. Mungkin cerita ini self centered, tapi inilah kemudian Rendra dimata saya... Rendra Orang besar yang bersahaja, menjadi salah satu inspirator dalam berkarya. Karya-karya WS Rendra adalah bagian penting dari INDONESIA. Sekalipun beliau pergi..kita tak pernah merasa dia hilang...karena sajak-sajaknya tetap hidup menjadi sebuah riak semangat bagi kita semua. Selamat jalan WS Rendra..terbanglah engkau dengan kepakan sayap Merak dan Nyanyian Angsa-mu... Terimakasih atas balada-balada yang kau tinggalkan.. .semua akan menjadi pemantik untuk para WS Rendra muda...... Berikut Sebuah sajak dari WS Rendra yang cukup menyentuh mengenai "arti kehilangan" dan kepemilikan. ..mengajarkan tentang arti ikhlas : MAKNA SEBUAH TITIPAN Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku, bahwa: sesungguhnya ini hanya titipan, bahwa mobilku hanya titipan Allah bahwa rumahku hanya titipanNya, bahwa hartaku hanya titipanNya, bahwa putraku hanya titipanNya, Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku? Untuk apa Dia menitipkan ini padaku? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milikNya ini? Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku? Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali olehNya? Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah, kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka, kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita. Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan, seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku. Seolah keadilan dan kasihNya harus berjalan seperti matematika: aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku. Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih. Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku". dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku. Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah... "Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja" WS Rendra Grogol, 7 Agustus 2009, 17:00 Sebuah Postingan dari sahabat di Purwokerto