SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Blog Pribadi Atma Winata Nawawi

Selasa, 12 Januari 2010

Pola Pengelolaan Hubungan Partai Politik dengan Konstituen

Pada dasarnya mekanisme hubungan partai politik dengan masyarakat sederhana: partai politik membutuhkan suara pemilih dalam pemilu umum. Maka dari itu, partai politik terpaksa harus memperhatikan keinginan para pemilih sebelum mengambil keputusan mengenai program dan kebijakan partai. Artinya, politisi harus mencari informasi tentang kesulitan dan masalah yang sedang dihadapi masyarakat serta kepentingan dan preferensi pemilih. Kemudian partai dapat menawarkan suatu program politik yang membicarakan persoalan-persoalan yang aktual. Dalam kompetisi multi-partai, yang dibutuhkan partai politik adalah responsiveness; kemampuan untuk mendengar dan menjawab. Tanpa mekanisme pengelolaan hubungan dengan masyarakat yang responsif partai politik tidak dapat memaksimalkan hasil di dalam pemilu.

Pengelolaan hubungan dengan masyarakat juga penting bagi keberlangsungan dan survival partai politik sebagai organisasi sosial. Seluruh organisasi berusaha untuk menstabilkan dan mengontrol lingkungannya. Lingkungan yang sangat sentral bagi partai politik adalah konstituennya. Hubungan dan komunikasi dengan masyarakat yang konsisten dan dua arah dapat merupakan stabilisator bagi partai, sebab pemilih merasa lebih akrab dan terikat pada partai dan akan memberikan kontribusi kepadanya. Maka dari itu, partai politik harus berusaha membangun hubungan dengan konstituen yang stabil dan berjangka panjang. Agar hubungan dengan konstituen dapat didirikan dan dikelola dengan baik partai harus mengembangkan pemahaman ideologi dan nilai-nilai dasar partai dan membangun (infra-) struktur partai dulu.




Ideologi dan nilai-nilai merupakan pondasi hubungan partai politik dengan konstituen. Lebih lanjut ada tiga pilar, yaitu sumber daya manusia, prosedur dan mekanisme internal partai, dan sumber daya finansial. Partai harus membangun ideologi sebagai landasan pemikiran dan program partai. Kalau ada ideologi dan nilai-nilai yang jelas, partai dapat mengidentifikasi kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kurang lebih satu kesamaan dengan ideologi yang mau dikembangkan partai tersebut: Baru setelah itu dilakukan pengorganisasian. Kemudian pengembangan program dapat dijalankan. Ideologi dan nilai-nilai dihadapkan pada semua masalah untuk mengembangkan tawaran solusi atas masalah-masalah, baik masalah ekonomi, sosial, antar agama, dll. Ini yang akan membuat ideologi secara terus menerus applied atau hidup. Ini menjadi siklus, sehingga ini menjadi gerak spiral ke atas.




·         Lemahnya pemahaman ideologi dan sistem nilai partai, sehingga  ketika timbul suatu persoalan, tidak terlihat adanya perbedaan yang substansial antara partai satu dengan yang lainnya dalam menyelesaikan masalah tsb. Padahal ketika  ideologi menjadi suatu sistem nilai, ini seharusnya berdampak pada cara berpikir dan menyelesaikan persoalan. Efek dari lemahnya ideologi ini membuat partai menjadi pragmatis. Tidak mengherankan bahwa akhirnya konstituen menjadi lebih pragmatis juga dan punya kecenderungan memilih figur, kedekatan, atau yang banyak uangnya dan sumbangannya.

·         Hubungan partai dengan konstituen sudah terjebak pada pola hubungan jual-beli/transaksional antara buyer dan seller. Untuk mendapatkan suara dalam pemilu, parpol membeli konstituen lewat uang, sembako, kaos, pembangunan mesjid, pembangunan jalan dll.
Hal ini dilestarikan oleh hubungan anggota dewan dengan konstituennya, yang terhanyut dalam pola politik sejenis pasca Pemilu. Alih-alih membuat desain keputusan politik yang merupakan terjemahan dari aspirasi dan kepentingan konstituen, anggota dewan terjebak untuk  memberikan bantuan dan sumbangan yang bersifat karitatif dan berbiaya tinggi.

·         Belum terbangunnya suatu komunitas politik dan infrastrukturnya yang solid, dimana parpol menjadi ujung tombak penyaluran aspirasi dan agregasi kepentintingan komunitas tersebut. Tidak mengherankan ketika pada Pemilu partai A mendapat, katakan-lah 1 juta suara, mereka tidak tahu suara itu berasal dari mana, karena infrastrukturnya belum terbangun.
Suara dalam Pemilu sendiri seyogyanya merupakan konsekuensi logis dari suatu kesepakatan atau komitmen yang dibangun bersama dalam komunitas, dimana parpol menjadi ujung tombaknya.

·         Belum adanya peraturan partai yang mengatur, meng-elaborasi dan mendesain pola mengenai bagaimana membangun hubungan dengan konstituen. Hubungan dengan konstituen menjadi bersifat individu dan tidak sistemik. Seharusnya merupakan kewajiban partai untuk merancang, membangun tradisi dan melembagakan pola hubungan dengan konstituen dalam suatu peraturan partai yang komprehensif.

·         Parpol menggunakan konstituen untuk kepentingan jangka pendek, dimana parpol memakai konstituen sebagai pendulang suara dalam Pemilu, alat legitimasi, alat mobilisasi, tatkala instrument partai membutuhkan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Konstituen diposisikan sebagai sub-ordinat untuk memenuhi keinginan dan kepentingan politik partai.

·         Komunikasi dan hubungan parpol dengan konstituen pada umumnya masih satu arah, yaitu dari parpol kepada konstituen. Desain program parpol tidak mencerminkan harapan dan kebutuhan konstituen yang diwakilinya.