SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Blog Pribadi Atma Winata Nawawi

Rabu, 28 Desember 2011

PESONA AYAMARU

".....gunung-gunung, lembah-lembah, yang penuh misteri, yang ku puja slalu, keindahan alam mu yang mempesona, sungaimu yang deras mengalirkan emas, sio ya Tuhan, trima kasih....."
(Tanah Papua, Trio Ambisi)
Saya Berfoto Di Tepi Danau Ayamaru


Mungkin diantara kita belum banyak yang mendengar tentang danau Ayamaru, lain halnya dengan masyarakat di Papua, danau ini sudah terkenal hingga ke pelosok pedalaman disana. Merupakan salah satu danau yang terbesar di tanah Papua. Terletak di distrik Ayamaru, kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat. Danau ini terletak sekitar 220 KM dari Kota Sorong dengan akses transportasi darat yang sangat terbatas. Danau ini menjadi sentral peradaban dan kehidupan masyarakat suku Maybrat yang mendiami wilayah ini.
      

Saya beruntung dapat mengunjungi danau ini, bersama dengan rombongan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Bapak Prof.DR.Balthasar Kambuaya, MBA dan keluarganya yang kebetulan daerah ini juga merupakan kampung halaman beliau. Kunjungan ini merupakan agenda resmi Pak Bert Kambuaya sebagai Raja di daerahnya, sekaligus kunjungan pertama beliau ke kampung halaman pasca dilantik menjadi Menteri. Tentu saja kunjungan ini menjadi sangat spesial untuk beliau, keluarganya dan masyarakat di Papua khususnya kampung halamannya.

Penyambutan Masyarakat terhadap Raja Bert Kambuaya
Kami menempuh perjalanan panjang untuk bisa sampai didaerah ini, dari Jakarta kami berangkat menuju Sorong dengan lama waktu sekitar lima jam, dengan transit di Makassar selama 25 menit, setibanya di Sorong kami masih harus melanjutkan perjalanan selama 40 menit menggunakan pesawat Twin Otter milik Merpati Airlines menuju Bandara Kambuaya, di Kabupaten Maybrat. 

Dari udara terlihat jelas gunung-gunung dan lembah-lembah yang penuh misteri, seperti lagu yang dipopulerkan oleh Trio Ambisi tersebut. Sungguh keindahan alam yang tidak akan kita temui di daerah Jawa yang sudah padat penduduknya.

Saat tiba di Bandara Kambuaya, ratusan masyarakat sudah menyambut kedatangan kami, upacara adat dan tarian khas ayamaru meniringi kami sepanjang perjalanan hingga sampai ke rumah kediaman Bapak Raja di Kampung Kambuaya. 

Ada sesuatu yang unik saat saya berdiskusi dengan masyarakat mengenai Bandara Kambuaya ini. Pada saat zaman pendudukan Belanda di Papua, ayah dari Bapak Bert Kambuaya, yaitu Bapak Abraham Kambuaya (Alm) merupakan orang yang memiliki inisiatif untuk membangun Bandara di kampungya. Sesuatu yang tidak lazim dilakukan oleh masyarakat asli papua pada zaman itu. Beliau terinspirasi ketika dipekerjakan sebagai pekerja Kilang Minyak di daerah Teluk Bintuni. Disana beliau melihat bahwa Transportasi Udara lah yang bisa membuat daerah yang terisolir menjadi terbuka sehingga masyarakat bisa mendapat pendidikan dan ajaran agama yang baik.

Dengan semangat tinggi beliau mengajak masyarakat bergotong royong untuk membangun bandara dengan peralatan seadanya, usaha ini berbuah hasil hingga pesawat dapat mendarat pada pertengahan 90'an. Hingga kini Bandara ini acap digunakan sebagai bandara perintis untuk mengangkut kebutuhan pokok dan manusia dari dan menuju Maybrat.

Suasana Natal Di GKI Silo Kambuaya
 Saya pun juga sempat melihat bagaimana suasana perayaan Natal di daerah ini, mayoritas penduduknya adalah penganut agama Kristen Protestan, hampir 95% menurut salah satu masyarakat disana. Kalo dia penduduk asli Ayamaru, pasti penganut Kristen Protestan, kalo ada agama lain itu pastilah pendatang diwilayah ini, demikian menurut salah satu masyarakat yang saya tanya. Mereka hidup rukun dan sangat menghargai penganut agama dan etnis lain, ini terbukti dari Tenaga Medis Dokter PTT dan guru sekolah yang sering datang dari luar Papua, sangat dihormati dan dilindungi. 


Mereka juga kerap mengumpulkan hasil panen dari ternak, ikan, sayuran, kebun, dan lain-lain mereka berikan kepada tenaga medis dan guru sekolah itu. Karna mereka menyadari, bila para tenaga medis dan guru ini betah tinggal dikampung mereka, maka kehidupan mereka akan dapat lebih maju dan sehat.

Kini masyarakat di sekitar danau Ayamaru, Maybrat ini merasakan dampak postif dari tradisi menghormati guru, misionaris, pendeta, dan dokter yang datang ke wilayah mereka. Dibandingkan dengan masyarakat suku lain di Papua, orang-orang dari daerah ayamaru terkenal sebagai Orang Papua yang pintar, berpendidikan, disiplin, pekerja keras, dan memiliki kelebihan lainnya. Menurut salah seorang masyarakat, bahwa Orang Ayamaru sudah tersebar di seluruh tanah Papua, ada yang menjadi PNS, Pegawai Swasta, Pengusaha, Atlet, dan Politikus. Rata-rata orang Ayamaru menduduki pos-pos strategis ditempat mereka berada, banyak juga yang menjadi Bupati, Walikota, Sekda Kabupaten/Kota, Kepala Dinas, Kepala Biro, Kepala Bagian, dan lain-lain.

Inilah perjalanan saya di Ayamaru yang sangat berkesan, saya bisa menyimpulkan bahwa memang Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu merubahnya sendiri. Semoga bangsa kita bisa meneladani salah satu pesona di wilayah Papua yang sangat terisolir ini, namun memiliki Human Resources unggulan.


Minggu, 04 Desember 2011

AL-HAKAM, YANG MENETAPKAN HUKUM



“Maka patutkah aku mencari hukum selain daripada Allah, padahal Dialah yang menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci?” (Al-An’am: 114)

Al-Hakam berasal dari akar kata ha-ka-ma. Dari akar kata itu bisa berubah menjadi haakim dan hukm. Semua kata yang berasal dari pengembangan akar kata ha-ka-ma mempunyai makna yang sama, yaitu menghalangi. Itulah sebabnya, hukum dapat diartikan sebagai perangkat yang dapat menghalangi atau membatasi seseorang atau sekelompok orang dari tindakan yang melanggar.

Pengertian pertama Al-Hakam adalah bahwa Allah-lah yang Maha Memutuskan dan Menetapkan semua perkara. Segala yang terjadi di kolong langit dan di atas bumi adalah ketetapan-Nya. Kapan selembar daun mengering, kapan terlepas dari tangkainya, dan kapan pula jatuhnya ke bumi, Dia-lah yang menetapkan. Tiada Tuhan selain Allah, yang menetapkan segala sesuatu berdasar hukum-Nya.

Pengertian kedua, melalui Asma-Nya ini Allah menetapkan bahwa setiap individu manusia akan memperoleh apa yang telah diusahakannya. Setiap individu menanggung sendiri dosa dan pahalanya. Anak tidak menanggung dosa bapaknya, demikian juga sebaliknya. Islam tidak mengenal dosa warisan, sebagaimana firman-Nya: “Dan bahwa setiap manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusakannya, dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepada-nya).” (An-Najm: 39-40).

Pengertian ketiga, sebagai Al-Hakam, Allah telah menetapkan kepastian hukum bagi hamba-Nya. Bagi yang berbakti akan diganjar dengan kebahagiaan, sebaliknya bagi yang durhaka akan dihukum dengan kesengsaraan. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yanag penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (Al-Infithar: 13 dan 14)

Pengertian keempat, Allah adalah Hakim Agung. Sebagai Hakim Agung, Allah tidak membutuhkan sesuatu, malah sebaliknya segala sesuatu membutuhkan-Nya. Dia tidak bisa dirayu, disogok, dan disuap. Di pengadilan Allah, semua perkara diputus dengan seadil-adilnya. Semua alat bukti dapat dihadirkan, bahkan Allah sendiri yang akan menjadi saksinya. Jangankan perbuatan yang terlihat, niat yang tersembunyi sekalipun dapat dilihat Allah swt. Di hadapan Allah, mana mungkin kita mengingkari atau sekadar menyembunyikannya?

Pengertian kelima, setiap keputusan yang keluar dari-Nya pastilah merupakan keputusan dan adil dan bijaksana. Allah tidak pernah mendzalimi hamba-Nya, tapi hamba-Nya lah yang berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri. Apa pun keputusan-Nya harus kita terima. “Boleh jadi sesuatu yang tidak kamu sukai menjadi lebih baik bagi kamu, dan bisa jadi apa yang kamu sukai itu menjadi jelek bagi kamu.” (Al-Baqarah: 216)

Sebagai hambanya Al-Hakam, kita hanya boleh berbaik sangka terhadap apa yang telah diputuskan kepada kita sampai saat ini, juga terhadap apa yang akan diputuskan kelak pada kita di akherat nanti. Kita rela dan bersyukur atas keputusanNya di dunia ini, dan kita senantiasa berharap keputusan terbaik buat kita di akherat kelak.

(Hamim Thohari)

Sabtu, 03 Desember 2011

AL-KHABIR, YANG MAHA MENGETAHUI



"Dia tak tercapai oleh segala indera, tetapi Dia mencapai segala indera. Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-An’am: 103)
Al-Khabir berasal dari akar kata kha-ba-ra, yang maknanya berkisar pada dua hal, yaitu pengetahuan dan kelemahlembutan. Dalam Al-Qur’an, kata ini dipakai sebanyak 55 kali. Ada yang berdiri sendiri, tapi lebih banyak lagi yang digandengkan dengan Asma’ul Husna yang lain, seperti Al-Hakiim al-Khabiir, Al-Lathiif al-Khabiir, Al-Khabiir al-Bashiir, dan Al-Aliim al-Khabiir.

Dalam Al-Qur’an terjemahan Departemen Agama RI, antara Al-Alim dengan Al-Khabir itu terjemahannya sama, yaitu Yang Maha Mengetahui. Padahal, keduanya mempunyai perbedaan arti yang signifikan. Al-Alim mencakup pengetahuan Allah tentang sesuatu dari sisi-Nya, sementara Al-Khabir adalah pengetahuan-Nya yang menjangkau sesuatu yang diketahui. Jika yang pertama (Al-Alim) tekanannya lebih kepada yang mengetahui, sedang pada yang kedua (Al-Khabir) justru yang menjadi titik tekannya adalah sesuatu yang diketahui.

Ketika Al-Qur’an berbicara tentang ajal, sesuatu yang sangat rahasia, di mana manusia tidak bisa mengetahui secara pasti, maka rangkaian sifat Allah yang digunakan untuk memperjelasnya adalah Al-Aliim al-Khabiir, sebagaimana ayat berikut ini: “Tidak seorangpun yang mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34).

Demikian juga ketika membahas tentang kualitas kemuliaan dan ketaqwaan seseorang, yang hanya Dia yang mengetahuinya, Al-Qur’an menggunakan rangkaian Al-Alii al-Khabiir, seperti ayat berikut: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujuraat: 13).

Lain halnya ketika al-Qur’an berbicara tentang hak prerogatif Allah, berupa rahmat atau adzab, rangkaian kata yaang dipakai adalah Al-Hakiim al-Khabiir, seperti ayat berikut: “Barangsiapa yang dijauhkan adzab daripadanya pada hari itu, maka sungguh Allah telah memberikan rahmat kepadanya. Dan itulah keberuntungan yang nyata. Jika Allah menimpakan suatu?kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 16-18).

Rangkaian kata yang sama digunakan Al-Qur’an ketika berbicara tentang rincian perilaku makhluq-Nya yang menyimpang maupun yang lurus. Allah berfirman: “Segala puji bagi Allah, yang memiliki segala yang ada di langit dan di bumi; bagi-Nya segala puji di akherat. Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dia mengetahui apa yang merasuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana.” (QS. Saba: 1-2).

Pasangan lainnya adalah Al-Lathiif al-Khabiir. Pasangan ini digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang sangat rahasia, sehingga indera biasa tak bakal mengetahuinya. Allah berfirman: “Dia tak tercapai oleh segala indera, tetapi ia mencapai segala indera. Dia Maha Halus dan Maha Mengetahui. (QS. Al-An’am: 103).

Rangkaian terakhir adalah Al-Khabiir al-Bashiir, yang dipakai al-Qur’an untuk menggambarkan pe­ngetahuan Allah tentang segala kebutuhan hamba-hamba-Nya. Allah berfirman: “Sekiranya Allah me­lapangkan rezeki bagi hamba-hamba-Nya, niscaya mereka akan berbuat semaunya di muka bumi. Tetapi Dia menurunkannya sesuai dengan ukuran yang di­kehendaki-Nya; terhadap hamba-hamba-Nya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat.” (QS. Syuura: 27).

Tiada daun kering yang jatuh dari tangkainya, kemudian ditiup angin sehingga di bumi mana jatuhnya, kecuali Dia mengetahuinya. Tiada semut hitam yang berjalan di batu hitam di malam yang kelam, kecuali Dia pula yang mengetahuinya. Kedipan mata, degupan jantung, dan kehendak dalam hati, diketahui-Nya pula. Lalu ke mana kita bisa menghindar dari pantauan-Nya? 

(Hamim Thohari)

Jumat, 02 Desember 2011

AL-LATHIF YANG MAHA LEMBUT



“Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya, Dia memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (Asy-Syuura: 19)
Kata Al-Lathif berasal dari akar kata la-tha-fa, yang bermakna lembut, halus, atau kecil. Az-Zajjaj, pakar bahasa Arab dalam tafsir Asma’ul Husna mengartikan Al-Lathif sebagai “yang mencapai tujuannya dengan cara yang sangat tersembunyi atau tak terduga.”
Dalam Al-Qur’an, kita bisa mendapati kata Al-Lathif dalam 7 ayat, 5 di antaranya disambung langsung dengan kata ”Al-Khabiir” yang juga merupakan Asma Allah yang Indah. Ketujuh kata tersebut semuanya merupakan ”ism,” kata benda. Hanya ada satu yang berbentuk ”fi’il,” kata kerja, terdapat pada surat Al-Kahfi ayat 18, yang letaknya persis di tengah al-Qur’an. Mushaf-mushaf lama biasanya menandainya dengan cetakan tebal berwarna merah. Kata itu berbunyi ”wal yatalaththaf” yang secara harfiah berarti ”hendaklah kalian berlaku lemah lembut.”
Predikat Al-Lathif memang pantas disandang Allah, dan hanya Dia yang pantas menyandangnya. Setidak-tidaknya, ada tiga alasan mengapa Dia disebut Al-Lathif. Pertama, Dia melimpahkan karunia kepada hamba-hambaNya secara tersembunyi dan rahasia, tanpa diketahui oleh mereka. Ketika Dia menyatukan dua insan berlainan jenis dalam mahligai rumahtangga, tak seorang pun tahu dari mana datangnya cinta. Begitu halus, begitu lembut, sehingga orang yang dikaruniainya tak juga mengetahuinya. Demikian pula anugerah rizki yang lain, semua serba halus dan tersembunyi.
Al-Ghazali memberi catatan khusus di sini, ketika ia menggambarkan betapa Mahahalusnya Allah. Ia mengangkat contoh janin, bagaimana Allah memelihara janin ibu dan melindunginya dalam tiga masa kegelapan, yaitu kegelapan dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutupi anak dalam rahim. Betapa Mahahalusnya Dia ketika memberi makan janin melalui pusar sampai ia lahir dan mengilhaminya menyusu kepada ibunya tanpa ada yang pernah mengajarinya. Gigi-gigi bayi ketika itu belum ditumbuhkan agar si Ibu tidak kesakitan ketika anaknya menyusu. Siapakah yang menahan tumbuhnya gigi bayi? Semuanya serba halus, lembut, dan nyaris tidak ada yang mengetahuinya.
Kedua, Dia menghamparkan alam raya ini untuk makhlukNya. Allah memberi kepada semua makhlukNya melebihi yang diminta. Kita tidak pernah minta hidup di dunia ini, tapi Dia menganugerahi kehidupan. Kita tidak pernah ingin dijadikan manusia, tapi Allah menakdirkan kita menjadi manusia. Kita tidak pernah minta bisa berbicara, tapi Allah mengaruniakan kepada kita kemampuan berbicara. Dia telah memberi sebelum diminta. Di sisi lain, Dia tidak pernah menuntut balas, juga tidak memberi beban melebihi kemampuan makhlukNya. Adakah yang lebih santun dari Dia?
Ketiga, Dia berkeinginan agar semua makhlukNya mendapatkan kemaslahatan dan kemudahan. Dia tidak ingin makhlukNya mendapati kesulitan. Al-Qur’an bertutur: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menghendaki kalian dalam kesulitan.”
Itulah sebabnya, Allah menyiapkan berbagai sarana dan prasarana kehidupan dan memberi kemudahan kepada manusia untuk mendapatkannya. Allah melengkapi makhlukNya dengan berbagai indera, selain naluri yang bersifat alamiah. Khusus untuk manusia, Allah mengaruniakan akal pikiran dan hati nurani. Dua sarana yang dikaruniakan Allah itulah yang menjadikan manusia sebagai makhluk tertinggi.
Bagaimana kita meneladaninya? Pertama, hiasi diri kita dengan akhlakul karimah. Kedua, jalin hubungan yang harmonis dengan semua makhlukNya. Ketiga, usahakan untuk memberi sebelum tangan yang meminta mengulurkannya. Berilah sebelum terucap kata “mohon.” Lakukanlah hal itu kepada isteri atau suami, anak, orangtua, para fakir miskin, bawahan, dan kepada semua manusia, serta makhluk Tuhan lainnya. Hanya dengan kelembutan hati kita bisa peduli.
Ya Lathif, lembutkan hati kami agar kami bisa berempati dan punya peduli. 
Ya Lathif, haluskan hati kami agar kami bisa berbagi.
(Hamim Thohari)

Sabtu, 05 November 2011

MENGENAL PENGERTIAN EKONOMI HIJAU (GREEN ECONOMY)

Mengenal pengertian ekonomi hijau atau green economy sebenarnya tidak sulit, demikian paling tidak menurut beberapa praktisi lingkungan. Menurutnya apa yang disebut dengan ekonomi hijau adalah perekonomian yang tidak merugikan lingkungan hidup.

Program Lingkungan PBB (UNEP; United Nations Environment Programme) dalam laporannya berjudul Towards Green Economy menyebutkan, ekonomi hijau adalah ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Ekonomi hijau ingin menghilangkan dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam.

Dari definisi yang diberikan UNEP, pengertian ekonomi hijau dalam kalimat sederhana dapat diartikan sebagai perekonomian yang rendah karbon (tidak menghasilkan emisi dan polusi lingkungan), hemat sumber daya alam dan berkeadilan sosial.

Kemudian apa bedanya ekonomi hijau (green economy) dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development)?. Konsep ekonomi hijau melengkapi konsep pembangunan berkelanjutan. Sebagaimana diketahui prinsip utama dari pembangunan berkelanjutan adalah “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Sehingga dapat dikatakan bahwa ekonomi hijau merupakan motor utama pembangunan berkelanjutan.

Ekonomi Hijau Tema Hari Lingkungan Hidup 2012. UNEP menetapkan tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2012 adalah Green Economy: Does it include you?”. Dalam konteks Indonesia, tema tersebut diadaptasi sebagai Tema Hari Lingkungan Hidup Indonesia menjadi “Ekonomi Hijau: Ubah perilaku, tingkatkan kualitas lingkungan”.

Dari sini terlihat pentingnya perubahan paradigma dan perilaku untuk selalu mengambil setiap kesempatan dalam mencari informasi, belajar dan melakukan tindakan demi melindungi dan mengelola lingkungan hidup. Dengan kualitas lingkungan hidup yang lebih baik akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Pola hidup masyarakat modern telah membuat pembangunan sangat eksploitatif terhadap sumber daya alam dan mengancam kehidupan. Pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan produksi terbukti membuahkan perbaikan ekonomi, tetapi gagal di bidang sosial dan lingkungan. Sebut saja, meningkatnya emisi gas rumah kaca, berkurangnya areal hutan serta musnahnya berbagai spesies dan keanekaragaman hayati Di samping itu adalah ketimpangan rata-rata pendapatan penduduk negara kaya dengan negara miskin.

Konsep ekonomi hijau diharapkan menjadi jalan keluar. Menjadi jembatan antara pertumbuhan pembangunan, keadilan sosial serta ramah lingkungan dan hemat sumber daya alam. Tentunya konsep ekonomi hijau baru akan membuahkan hasil jika kita mau mengubah perilaku.

Dikutip dari blog Alamendah.blogspot.com

Senin, 03 Oktober 2011

BAGAIMANA MEMANDANG KRISIS EKONOMI INDONESIA DARI SISI LAIN (?)

Presiden Soeharto menandatangani perjanjian dengan IMF

Tiada satu kejadian pun di alam semesta ini yang tidak memiliki fungsi. Terlepas dari keprihatian kita yang begitu dalam menyaksikan realitas kondisi perekonomian kita yang porakporanda terhernpas badai krisis selama dua tabun silam, kita perlu dengan arif melihat dimensi lain krisis ekonomi yang kita alami ini sebagai suatu fungsi perubahan kualitatif berupa momentum historik dalam  mewujudkan Indonesia Baru.
Perubahan kualitatif serupa sudah pernah dialami oleh Indonesia, seiring dengan lahimya dua momentum historik terdahuIu, yaitu Orde Lama, dan Orde Baru. Orde Lama terlahir dari momentum historik perjuangan kemerdekaan Negara dari penjajah yang telah meluluh lantakkan peradaban dan integrasi bangsa, terutama pada dimensi sosial-politik. Sehingga, perioda tersebut banyak diwamai oleh dinamika dan ftagmentasi politik sebagai proses historik pembentukan suatu bangsa (nation building). Orde Baru terlahir dari momentum historik pembebasan bangsa dari ideologi komunis. 
Menurut kajian, pada muIanya Orde Baru memusatkan perhatian pada pembangunan ekonomi dan  mengabaikan pembangunan politik yang pada akhirnya terjerembab ke dalam krisis muItidimensi yang membawa bangsa Indonesia terpuruk dan kembali ke posisi tiga puIuh tabun silam.
Kita sebagai generasi sekarang, sempat mengenyam pengalaman berbangsa yang sangat ironik dan menyedihkan di masa pemerintahan Orde Bam yang lengser dengan meninggalkan hutang luar negeri sebesar US$ 130 miliar serta sebagian. besar kekayaan alam, seperti minyak bumi, gas, hutan, tembaga, dan emas yang nyaris habis terkuras. Sebagai suatu studi banding sederhana, di akhir Orde Lama, ditemukan realitas bahwa total hutang luar negeri Indonesia kurang dari US$ 3 miliar yang sebagian besar digunakan sebagai pendanaan integrasi nasional, terutama untuk merebut Irian Jaya dari Belanda. Di samping itu, sumberdaya alam Indonesia masih dalam kondisi belum banyak tereksploitasi.
Adalah tanggung jawab kita bersarna ootuk mewujudkan Indonesia Baru, melalui pembentukan karakter (character building) bangsa dalam membangun berbagai dimensi kehidupan negara, khususnya pada dimensi ekonomi, dengan mempelajari pengalaman Pahit masa lalu, agar kita tidak terjerumus ke lubang yang sarna ootuk yang kesekian kalinya.

Tearalaminya kenaikan inflasi sebesar 77,63 % pada tahun 1998 telah berdampak pada kebangkrutan sebagian besar konglomerat dan dunia usaha Indonesia serta anjloknya realisasi investasi di Indonesia sebesar 66% pada akhir 1998. Kondisi ini lah yang diduga merupakan penyumbang utama meningkatnya jumlah penggangguran hingga mencapai 17 juta orang pada akhir 1998, bahkan hingga awal tahun 2000 ini jumlah pengangguran telah melebihi 30 juta orang. Penurunan tajam pada daya beli masyarakat juga tidak dapat dihindari, seiring dengan terjadinya free fall (terjun bebas) pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut GDP sebesar 22%, dari rata-rata 7% per tahun sejak 1984 hingga 1997, menjadi -15% pada tahun 1998. Mengingat terlalu drastisnya penurunan pertumbuhan ekonomi yang terjadi hanya dalam waktu singkat, serta realitas sosial politik di Indonesia yang memanas selama dua tahun terakhir, beberapa ekonom dari dalam dan luar negeri menduga bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia ini mempakan kombinasi relasional antarfaktor, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, faktor politik, dan faktor budaya.
Sehingga krisis ini lebih mempakan krisis multidiminensi. Kiranya dugaan tersebut memiliki logika yang bisa diterima. Bagaimana tidak? Sistem kenegaraan dan budaya neo-feodalisme yang dikembangkan oleh penguasa Orde Baru telah mengarah pada pemusatan kekuasaan yang luar biasa bahkan hingga mengarah ke personalisasi kekuasaan di satu tangan. Kondisi ini lah yang memiliki andil besar terhadap tumbuh subumya budaya patemalistik dan terjadinya banyak kasus penyalahgunaan kekuasaan yang sekaligus mematikan daya kreativitas, inovasi, semangat, dan prestasi warga bangsa dalam membangun berbagai dimensi kehidupan bemegara, dari dimensi ekonomi, dimensi sosial politik, dimensi budaya, bahkan hingga ke dimensi pendidikan.
Padahal di dalam UUD 1945 para pendiri bangsa telah mengarnatankan dengan jelas dan tegas bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan di tangan penguasa.
Dalam budaya neo-feodal yang demikian, sang penguasa bertindak bagaikan supir metromini yang tak mau peduli terhadap permintaan penumpang, bahkan tak menghiraukan teriakan kondektur, peluit petugas lalu-lintas, dan lampu merah di persimpangan jalan. Sebagai contoh, kendati setiap tahun terjadi detisit APBN yang ditutup dengan pinjaman luar negeri yang semakin lama semakin membesar, sang penguasa tetap saja mernasang platform  anggaran berimbang" pada APBN kita. Sehingga negative resource transfer (pembayaran cicilan pokok dan bunga lebih besar daripada jumlah pinjaman baru) yang teralami sejak akhir tahun 1980-an menjadi tak terhindarkan hingga saat ini (Ramli, 1991). Peringatan tanda bahaya dari para ekonom hanya dianggap seolah teriakan "Pak Ogah" di putaran jalan. Sebagai konsekuensinya Indonesia masuk ke dalam debt trap (perangkap hutang).
Di samping itu, ketimpangan struktur dan kebijakan industri yang dilakukan oleh pemerintah Orde Barn telah mendorong terbentuknya struktur pasar monopolistik yang di satu sisi sangat merngikan konsumen dan pengusaha ekonomi lemah, dan di sisi lain menyuburkan tumbuhnya pola konglomerasi dalam bentuk crony capitalism (Laksamana Sukardi, 1997) dengan pemberian akses dan berbagai kemudahan dari negara. Hal ini telah menjadikan bangunan ekonomi nasional rentan terhadap shock economy. tidak berdaya menahan gejolak ekonomi regional dan serangan spekulan asing, serta kalah melawan kompetisi ekstemal.
Dalam hal liberalisasi ekonomi, menurut kajian Econit, liberalisasi sektor keuangan dan perbankan yang dilakukan oleh Indonesia sejak Pakto 1988 pada mulanya dipuji sebagai suatu eksperimen yang unik di dunia. Namun  demikian, pada akhirnya eksperimen tersebut harus dibayar mahal dengan hancurya sistem perbankan nasional pada saat ini. Hasil analisis dan studi banding antarnegara memmjukkan bahwa  Liberalisasi ekonomi hams dimulai dari sektor riil dan kemudian berlanjut ke sektor keuangan dan perbankan, atau setidaknya, liberalisasi sektor keuangan dan perbankan dilakukan secara simultan dengan liberalisasi di sektor riil. Ketimpangan struktural ini lah yang ikut andil terhadap kehancuran fundamental ekonomi Indonesia, sehingga terhempas tak berdaya ke dalam krisis yang berkepanjangan.
Ketakberdayaan ekonomi nasional terhadap terpaan krisis, antara lain terefleksi pada ketergesaan kita meminta bantuan IMF dalam merespon awal krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 lalu, sebelum berpikir panjang. Pengalaman menujukkan bahwa 48 dari 89 negara yang meminta bantuan IMF sejak 1965-1995, kondisi ekonominya jutru menjadi lebih buruk dibanding dengan kondisi sebelumnya. Rendahnya success ratio IMF antara lain karena IMF selalu selalu menggunakan obat generik tanpa mempertimbangkan kondisi sosial politikdi negara yang bersangkutan.
Kondisi tersebut akhirnya terjadi pula di Indonesia, secara materi bantuan IMF telah menambah hutang luar negeri Indonesia meningkat sebesar US$ 43 miliar yang tidak. disertai dengan debt relief (pengurangan pokok dan bunga pinjaman. Ditambah lagi kebijakan nilai tukar Rupiah (free float) oleh Bank Indonesia (14 Agustus 1997) yang didukung IMF justru semakin membuka Indonesia terltadap serangan spekulator asing yang dengan lahapnya menggeregoti nilai rupiah hingga anjlok ke dasar jurang Yang curam, dari Rp 2.245,- per Dollar AS pada 1 Juli 1997 menjadi Rp 14.000,- per Dollar AS pada 1 Juli 1998.
Bantuan IMF itu kemudian juga telah menginspirasikan berbagai kebijakan pemerintah (dalam hal ini BI) yang kurang terkendali, seperti pemberian BLBI kepada bank-bank nasional yang mengalami masalah likuiditas.
Kebijakan ini sesungguhnya baik dan sesuai dengan fungsi utama Bank Indonesia (BI) sebagai the lender of the last resort. Letak kesalahannya hanyalah pada proses penyaluran nya yang terkesan manipulatif dan tak urung menimbulkankasus serius yang berekor panjang, bahkan belum tertuntaskan bingga sekarang.
Dari berbagai investigasi dan kajian yang dilakukan oleh banyak  pihak, akhimya terkuak lah tabir persekongkolan di balik proses penyaluran BLBI tersebut. Kasus ini semakin mengemuka sehingga menyulut keresahan social yang memposisikanBank Indonesia (BI) sebagai The Lender of the Lost Resort, kasir yang bangkrut dan sebagai tumpahan kesalahan terakhir.
Kasus ini menjadi semakin semrawut, sehingga BPK, BPKP,dan DPRpun ikut turun ke lapangan untuk mengusutnya. Bahkan tidak tanggung-tanggung,untuk ini DPR-RI membentuk Panitia Kerja (panja) BLBI yang sempat menuding 56 nama personil yang diduga terlibat dalam kasus BLBI, termasuk nama-nama orang yang tergolong "keramat" di masa Orde baru.
Dalam menyikapi kasus tersebut, Center for Banking Crisis (CBC) ikut repot mendiagnosis sejumlah modus persekongkolan BLBI. Pertama BI menyerahkan fasilitas terlebih dahulu kepada bank-bank penerima, dengan akta perjanjian menyusul beberapa hari kemudian.
Kedua, BI mengucurkan BLBI dengan nilai yang lebih tinggi dari nilai riil jaminan yang dimiliki oleh bank penerima (kasus mark-up oleh Bank penerima), sehingga BPKP menemukan bahwa hanya 29,4% jaminan perbankan terdapat total nilai BLBI yang telah diberikan. Ketiga, kendati pada saat jatuh tempo, fasilitas BLBI telah habis digunakan oleh bank penerima, BI masih memberi fasilitas overdraft kepada bank-bank yang bermasalah tersebut.
Keempat, intervensi BI di pasar valuta asing memberi peluang kepada penerima BLBI untuk berburu dollar AS yang disediakan sehingga cadangan devisa merosot namun rupiah tetap tak menguat. Terakhir, ketidakberhasilan intervensi BI di pasar valuta asing ditindaklanjuti dengan  meningkatkan suku bunga SBI hingga 70 persen sehingga semakin memperburuk kondisi sektor riil dan menambah kerugian perbankan, yang akhirnya memperberat beban pemerintah dalam merekapitalisasi perbankan. Berkaitan dengan hal ini, Menko Ekuin Kwik Kian Gie pada tanggal 22 Februari 2000 menyatakan bahwa ada indikasi sebagian dana BLBI masuk kantong pribadi pejabat BI.
Meski kebenaran dari kasus ini masih dalam proses penyidikan, setidaknya realitas menunjukkan kepada kita bahwa muara kasus ini adalah moral hazard.

Penulis : Agus S.Irfani

RENCANA INDUK ENERGI INDONESIA

Apakah Indonesia memiliki target penggunaan energi dari berbagai sumber (energy mix)? Punya. Bahkan, target itu sudah terwujud dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Keputusan ini menyebutkan, pada 2025 penggunaan minyak bumi hanya 20 persen dari total konsumsi energi yang digunakan. Sedangkan gas alam 30 persen, batu bara 33 persen, biofuel (biodiesel dan bioetanol) 5 persen, panas bumi 5 persen, air 5 persen, dan sisanya sumber energi lainnya.

Untuk mencapai energy mix itu bukanlah hal mudah. Hingga saat ini, belum ada rencana induk detail di setiap tahunnya. Saat ini, minyak masih mendominasi 50 persen konsumsi energi, gas bumi hampir 30 persen, batu bara sekitar 15 persen.

Ketergantungan terhadap minyak bumi yang tinggi itu membuat subsidi energi terus membengkak. Pasalnya, kendati lebih mudah didapat, harga minyak dunia terus melambung tinggi. Sedangkan Indonesia masih mengimpor minyak bumi dan bahan bakar minyak. Tidak heran jika sekitar 15-20% anggaran negara habis untuk subsidi energi, terutama listrik dan BBM.

Terakhir, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memperkirakan, subsidi listrik pada 2012 akan mencapai Rp 58,72 triliun — naik Rp 10 triliun dari tahun ini.

Untuk menurunkan penggunaan bahan bakar minyak, tentu saja kita harus secepatnya berganti ke sumber energi lainnya. Salah satu yang paling memungkinkan adalah memperbanyak pemanfaatan gas bumi, yang secara ekonomi lebih murah ketimbang minyak bumi.

Hanya saja hal itu lagi-lagi juga bukan pekerjaan enteng. Hingga saat ini, sekitar 1.500 MMSCFD (million standard cubic feet per day) kebutuhan gas domestik tidak dapat dipenuhi. Rencana induk energi yang tak jelas membuat kerangka pengembangan gas juga gelap.

Pemerintah sepeti tak memiliki manajemen pasokan gas nasional. Saat ini, lebih dari 50 persen produksi gas nasional justru diekspor. Padahal, permintaan konsumen domestik terus meningkat.

Namun, masalah gas nasional sebenarnya tidak semata-mata masalah penyediaan pasokan tapi juga manajemen transportasi (yang mencakup infrastruktur penyaluran gas). Ini penting untuk menjaga pasokan gas nasional terjaga dengan baik.

Hal yang sama berlaku pula pada pengembangan energi baru dan terbarukan. Target peningkatan penggunaan biodiesel hingga 10 persen tidak tercapai. Hingga saat ini, Pertamina masih menjual biosolar dengan campuran minyak nabati di bawah 10 persen. Adapun untuk panas bumi, baru 4,1% dari 29.038 MW potensi yang dimanfaatkan.

Rencana induk energi yang jelas memang mendesak dibuat. Tentu saja bukan sekadar peta di atas kertas, melainkan peta yang bisa menuntun implementasi manajemen energi di lapangan.

Thonthowi Djauhari memulai pengalaman jurnalistiknya sejak 1996. Ia pernah bertugas di Republika, Tempo, dan kini menjabat deputi redaktur pelaksana harian Jurnal Nasional. Ia mengikuti isu-isu energi dan sumber daya mineral.

Rabu, 14 September 2011

Partisipasi Politik Kaum Muda Indonesia Dalam Sistem Multi Partai

Kelahiran Organisasi Boedi Oetomo 1908, Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah sebuah contoh karya dari pemuda-pemuda Indonesia yang memiliki semangat perubahan bagi bangsanya. Lewat sentuhan dan semangat khas pemuda maka ketiga peristiwa bersejarah tersebut lahir dan menjadi saksi semangat pemuda yang tidak hanya berpangku tangan melihat bangsa sedang terpuruk, tetapi sebaliknya juga ikut memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa. Sumpah Pemuda 1928 adalah sebuah pernyataan politik yang menyatukan bangsa Indonesia dalam satu bangsa, tanah air, dan bahasa. Sedangkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah sebuah tindakan politik yang menciptakan hokum dan berfungsi sebagai bentuk pembuktian hukum
Karya pemuda Indonesia tidak cukup sampai di situ, tahun 1966 dengan berbagai kesatuan aksi yang dibentuk pemuda terutama dari golongan mahasiswa kembali menyerukan semangat perubahan. Jargon Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) menjadi seruan utama, dengan desakan tersebut pada akhirnya rezim orde lama berganti menjadi orde baru yang kelahirannya turut dibidani oleh pemuda terutama mahasiswa. Berlanjut kemudian, gerakan mahasiswa juga yang meruntuhkan pemerintahan orde baru akibat produk hukum yang dijalankan bersifat konservatif atau ortodoks, atau dengan kata lain politik yang dijalankan bersifat otoriter berbasis birokrasi dan militer.
Perubahan yang dipelopori oleh pemuda tersebut merupakan wujud dari bersatunya pemuda karena memiliki kepentingan yang sama (common interest) yaitu untuk memajukan Indonesia. Kepentingan bersama tersebut akan semakin menjadi kekuatan yang besar jika diusung oleh pemuda yang memiliki komitmen moral yang tangguh serta tidak tergoda oleh godaan sesaat. Kontribusi pemuda dalam momentum perubahan bangsa tersebut memiliki sisi lain yang paradoks.
Fenomena yang terjadi adalah bahwa pemuda hanya sebagai alat mobilisasi politik semata, setelah awal perubahan dimulai maka pemuda pelopor perubahan tersebut seakan menghilang dan tidak memiliki peran dalam mengawal perubahan yang dipeloporinya. Bentuk-bentuk rintangan dan perjuangan pemuda dalam ranah kebangkitan bangsa, tidak dapat dipungkiri tidak lebih merupakan sebuah perjuangan yang hampa dalam perspektif upaya mengisi kemerdekaan. Ada pun pemuda yang turut serta dalam pemerintahan, lebih kepada perwujudan simbol kepemudaan dan cenderung jarang mampu mempertahankan visi dan misi yang sebelumnya diusung, dan yang terjadi tidak lebih dari sebuah regenerasi kepemimpinan bukan proses pemudaan kembali.
Dalam kehidupan politik saat ini pertisipasi kaum muda memang dibutuhkan dalam tampuk kepemimpinan ataupun di dewan perwakilan baik pusat ataupun daerah. Sehingga ada istilah regenerasi politik yang maksudnya adalah mengganti posisi orangorang tua dengan yang lebih muda. Sedangkan rejuvenasi dipahami tidak hanya menyentuh mengenai pergantian terhadap kemampuan fisik saja tetapi juga mengganti pola-pikir atau pandangan politik seseorang yang mengandung nilai-nilai lama dengan nilai-nilai yang lebih baru.
Karena juga tidak sedikit secara kemampuan fisik lebih muda, tetapi pola pikirnya masih menggunakan nilai-nilai yang lama. Partisipasi politik pemuda perlu ditingkatkan kembali terutama di era multi partai seperti sekarang, keberadaan banyak partai seyogyanya lebih memberikan kesempatan bagi para pemuda untuk masuk ke gelanggang kepemimpinan nasional, dan hal tersebut seyogyanya harus dipandang sebagai sebuah peluang bagi pemuda.
Masalah kultur hukum adalah masalah mengenai budaya yang telah lama hidup di masyarakat, meski telah banyak berperan dalam perubahan bangsa tetapi kultur bangsa Indonesia sangat sulit menerima pemuda sebagai pemimpin. Pemuda bagaimanapun dianggap sebagai golongan yang belum berpengalaman dan belum pantas memimpin, hal tersebut berakibat bahwa pos-pos pemimpin baik nasional maupun daerah diisi mayoritas oleh golongan tua yang tidak jarang visi dan misinya kurang atau tidak progresif sehingga proses pembangunan mengalami stagnasi.
Partisipasi politik pemuda sangat diperlukan agar kemunculan pemuda dalam keterlibatan politik tidak hanya dengan bermodalkan pembaharuan secara fisik ataupun umur, namun pandangan segar kaum muda yang terefleksikan oleh visi dan misi kepemimpinannya juga harus menunjukkan semangat perubahan. Dengan mengoptimalkan kemunculan kaum muda dalam politik, serta dibarengi oleh sebuah semangat perubahan yang diusung, efektifitas sistem multi partai yang merupakan realitas di Indonesia akan secara utuh terwujud.
Bentuk partisipasi politik di Indonesia diakomodasi oleh partai politik, dengan sistem kepartaian yang menganut sistem multipartai. Sistem multipartai itu sendiri tidak diatur secara eksplisit melalui peraturan perundang-undangan. Meskipun demikian konstitusi mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia menerapkan sistem multipartai. Selain itu, sistem multi partai tersebut dapat terindikasi dari tidak ada aturan yang membatasi jumlah partai yang dapat berpartisipasi aktif dalam suksesi yang terjawantahkan lewat penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Di satu sisi eksistensi sistem multipartai di Indonesia memunculkan berbagai permasalahan terlebih berkenaan dengan fungsi check and balances yang ingin diciptakan dalam kegiatan berpolitik di Indonesia. Kecenderungan inkonsistensi sistem multipartai di Indonesia dengan konstitusi negara, yang secara langsung mengarahkan Indonesia sebagai negara yang menganut sistem presidensial, juga merupakan satu permasalahan yang cukup pelik yang belum terselesaikan. Ketidak singkronan antara sistem multi partai dengan dianutnya sistem presidensial di Indonesia tidak mendukung terciptanya pemerintahan yang stabil dan efektif.
Di sisi lain keuntungan dari sistem multipartai adalah semakin banyaknya akses untuk dapat terakomodirnya berbagai macam golongan, terlebih untuk Indonesia yang memiliki golongan masyarakat yang sangat majemuk. Pun demikian pada penerapannya, partai politik kurang efektif untuk menampung aspirasi dari semua golongan. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya kepentingan politik yang menjadi primayr interest dari partai-partai politik, terlebih dalam beberapa aturan yang terkait mengandung kepentingan politik yang cenderung menguntungkan partai-partai besar terutama yang mempunyai kursi DPR RI, hal ini akan menghambat regenerasi partai politik di DPR RI.
Peranan pemuda dalam partisipasi politik secara yuridis sudah terpenuhi melalui penentuan batas minimum usia. Namun hal ini belum cukup karena masih memungkinkan keterlibatan pemuda hanya difungsikan oleh sebagian elit partai sebagai kendaraan politik dan tetap menanamkan pandangan-pandangan politik yang konvensional kepada pemuda yang maju dalam dunia perpolitikan. Hal tersebut diperparah ketika munculnya fenomena kedinastian dalam tubuh partai politik. Oleh karena itu perlu sebuah perubahan paradigma berpikir terhadap partisipan politik, yang tidak hanya cukup dengan gagasan akan regenerasi secara semu.
Urgensi terhadap regenerasi politik, seyogyanya bukan sekadar regenerasi terhadap usia generasi, tapi juga dalam bentuk pemikiran, visi dan pandangan, nilai-nilai utama kepemimpinan, demokrasi, kesetaraan, dan kesejahteraan. Nilai-nilai tersebut dapatlah terakomodir ketika perubahan mendasar tersebut dilakukan melalui rejuvenasi atau pemudaan kembali. Hal ini akan berimplikasi pada independenitas pemuda dalam menyampaikan gagasan-gagasannya dengan semangat perubahan tanpa harus dipengaruhi oleh golongan tua dengan segala kepentingannya, dan terkurung oleh suatu sistem yang cenderung tidak aspiratif dan akomodatif dalam pemerintahan yang telah mengakar di negeri ini.
Kaum Pemuda memiliki kesempatan yang besar untuk meningkatkan partisipasi politiknya. Secara umum pihak pelaksana wewenang penyelenggaraan pemilu, secara utuh tunduk pada aturan teknis yang berlaku. Kepentingan elit politik yang secara langsung terlibat dalam penyelenggaraan aktivitas politik, lebih mementingkan kepentingan golongan dan terkesan menghambat keterlibatan pemuda dengan ideologi yang dibawa. Realita tersebut cukup menghambat bagi kaum pemuda untuk menembus tirani yang telah terbangun oleh kepentingan oknum elit politik yang telah lebih dahulu menguasai aktivitas politik secara menyeluruh.
Terdapat budaya negatif yang hidup dalam masyarakat ketika kemunculan kaum muda hanya dipandang sebelah mata dalam arti tidak ada kepercayaan kepada mereka. Hal tersebut menjadi alasan pembenar ketika pemuda terkesan dihambat untuk melibatkan diri secara aktif. Pemuda dibenturkan dengan persoalan pengalaman dan bentuk kredibilitas secara nyata langsung, terkhusus dalam hal aktivitas politik. Pos-pos pemimpin baik nasional maupun daerah diisi mayoritas oleh golongan tua yang tidak jarang visi dan misinya kurang atau tidak progresif sehingga proses pembangunan mengalami stagnasi.
Perubahan peta kekuatan politik dalam pemilu lagislatif tahun 2009 sangat bermakna bagi beberapa partai politik.  Secara umum banyak faktor yang mempengaruhi naik atau turunnya perolehan suara partai politik dalam pemili legislatif, mulai dari kebijakan partai politik dalam sosialisasi partai, sistem pemilihan, tokoh yang diusung hingga susasana internal partai politik yang bersangkutan. Namun di sisi lain keberadaam pemuda dalam sepak terjang partai politik dapat pula dianalisa sebagai satu faktor yang berpengaruh.
Fenomena tersebut secara umum telah menunjukan bagaimana peran pemuda sebagai salah satu faktor yang cukup berpengaruh dalam kehidupan politik di Indonesia. Langkah pemudaan partisipasi politik oleh pemuda di Indonesia merupakan sebuah urgensi yang harus benar-benar terealisasi.
Kendatipun genderang Pemilihan Umum Presiden tidak memunculkan satu calon progresif pemuda, namun semangat muda harus tetap digaungkan dalam ranah pembangunan bangsa. Langkah paling bijak adalah melibatan pemuda secara utuh dan meninggalkan pandangan sempit mengenai pemuda yang diartikan sebatas umur. Dengan upaya tersebut, diharapkan dapat meredam tarik ulur kepentingan dan gonjang-ganjing politik terhadap realitas eksistensi sistem multi-partai yang dianut oleh Indonesia. Dinamika yang terjadi dalam sistem multi-partai akan lebih efektif dengan adanya peran pemuda dalam partai politik yang nantinya akan berperan aktif dalam politik baik secara praktis maupun secara idiologis.
Dengan kemunculan sosok pemuda yang memiliki ideologi jelas yang meliputi sistem politik, demokrasi sosial dan ekonomi pasar sosial dan hal tersebut dapat terjawantahkan secara konsisten, diharapkan akan tercipta sebuah efektivitas sistem multi partai yang merupakan sebuah realitas di Indonesia. Keterlibatan Pemuda secara progresif inilah yang harus disadari merupakan perwujudan dari upaya pembangunan semangat kebangsaan yang berlandaskan kepada cita bangsa secara utuh menuju masa depan Indonesia yang membanggakan.

Kamis, 04 Agustus 2011

AL-BASHIR YANG MAHA MELIHAT

Cahaya Di Tengah Kegelapan

Al-Bashir berasal dari kata ba-sha-ra, yang arti harfiahnya adalah “melihat”. Dalam pengertian yang lebih luas, bashara bisa berarti ilmu atau kejelasan. Nabi Yusuf, sebagaimana dikutip dalam al-Qur’an, senantiasa melakukan dakwah kepada para terpidana dan petugas di lingkungan penjara dengan mengatakan: “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan bukti yang sangat jelas dan nyata (bashirah),” (QS. Yusuf: 108)
Arti lain, seperti yang sering dipakai oleh kaum sufi, adalah mata hati atau mata batin. Ada pula yang menyebutnya dengan indera keenam. Apa pun namanya, seseorang yang telah memilikibashirah akan mampu melihat hal-hal yang ghaib. Ketika melihat sesuatu, ia tidak hanya melihat dengan mata kepalanya saja, tetapi menggunakan mata batinnya yang dapat menembus batas ruang dan waktu.
Bashirah dalam pengertian yang kedua tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa berusaha mendekat atau melakukan taqarrub kepada Allah. Salah satu hamba-Nya yang jelas-jelas telah memiliki bashirah adalah Muhammad saw, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’an: “Telah diperlihatkan sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (Al-Israa: 1).
“Tanda-tanda Kami” dalam ayat di atas tidak lain adalah sesuatu yang ghaib, terselubung, atau tersembunyi. Nabi Muhammad diberi kesempatan untuk menyaksikan peristiwa ghaib melalui mata batinnya. Tirai yang menyelubungi alam ghaib dibuka sehingga tidak ada lagi pembatas yang mengantarai Rasulullah saw dengan alam ghaib. Dengan begitu, peristiwa masa lalu, sekarang, dan yang akan datang, tertampang jelas di hadapannya.
Bashirah itu tidak hanya diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saja, tapi dalam batas-batas tertentu juga dikaruniakan kepada para hamba-Nya yang senantiasa taqarrub kepada-Nya. Dalam hadits Qudsi Allah berfirman:
“Dan seorang hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan melakukan ibadah-ibadah sunnat sehingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, Akulah yang menjadi pendengarannya, penglihatannya, dan sebagai tangan yang digunakannya, serta kaki yang dijalankannya. Apabila ia memohon kepada-Ku pasti Ku-kabulkan. Jika meminta perlindungan, maka pasti Aku lindungi.” (HR. Bukhari)
Sebagai hamba Al-Bashir, kita harus menyadari bahwa seluruh aktifitas kita dilihat dan diawasi Allah. Bagi-Nya, tiada tempat yang tersembunyi. Dengan kesadaran itu, kita akan selalu memilih aktifitas yang baik dan mendatangkan manfaat. Sebaliknya, kita akan berusaha dengan sungguh-sungguh menghindari segala aktifitas yang sia-sia dan mendatangkan mudharat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
Ketika terbersit keinginan untuk berbuat maksiat, sekecil apa pun, kita segera menyadari bahwa Allah (Al-Bashir) sedang mengawasi kita. Timbul rasa malu, kemudian ada dorongan dalam diri untuk segera meninggalkannya.
Ya Allah, Al-Bashir
Kami malu jika Kau beberkan yang Kau lihat pada diriku
Kami takut jika Kau balas yang Kau lihat padaku
Ya Bashir, berilah kami mata batin agar kami dapat melihat tanda-tanda kebesaran-Mu,
agar kami senantiasa memuliakan dan mengagungkan-Mu.
(Hamim Thohari)

Rabu, 06 Juli 2011

MASALAH DANA PARTAI POLITIK

Indra J.Piliang

Sumber : Koran Tempo, 05 Juli 2011

Koran Tempo, 05 Juli 2011
Masalah Dana Partai politik

Oleh Indra J Piliang
Dewan Penasehat The Indonesian Institute

Dalam sebuah acara televisi beberapa pekan lalu, saya menyampaikan sejumlah hal berkaitan dengan dana partai politik. Sinisme dan kritik publik begitu kuat menyangkut pendanaan partai politik. Beragam informasi disampaikan secara diam-diam ataupun terang-terangan, menyangkut modus partai politik dalam mendapatkan dana partai. Dan kebanyakan modus itu negatif.

Sejumlah survei juga menempatkan partai politik sebagai lembaga yang dianggap paling korup. Pertanyaan survei ini tentu perlu diverifikasi lagi. Apakah terkait dengan pertanggung-jawaban keuangan di dalam partai politik ataukah apabila berurusan dengan partai politik memerlukan sejumlah dana tertentu? Atau justru partai politik menjalankan peran, baik langsung atau tidak langsung, sebagai perpanjangan tangan dari mata rantai korupsi yang terkait dengan dana negara?

Partai politik adalah entitas paling kuat yang diberikan kewenangan dalam UUD 1945 hasil amandemen. Kewenangan itu melintasi tiga lembaga, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hanya partai politik yang berhak mencalonkan presiden dan wakil presiden dan duduk di lembaga legislatif pusat dan daerah (kecuali Dewan Perwakilan Daerah). Legislator juga memiliki peranan penting dalam keseluruhan proses bernegara. Besarnya kekuasaan yang dimiliki DPR RI, misalnya, menyebabkan konstitusi disebut terlalu DPR-sentris (legislative heavy). Ujung dan pangkal dari semua itu adalah partai politik.

Besarnya peranan partai politik dalam kehidupan ke-(tata)-negaraan yang diberikan konstitusi, tentu harus diimbangi dengan kinerja partai politik. Sayangnya, partai politik kian hari kian disudutkan pada posisi negatif. Barangkali memang karena perilaku segelintir elite politik yang terlibat dalam masalah hukum, tetapi bisa juga karena kemampuan partai politik yang terbatas dan lemah.

Besar Anggaran

UU No 2 tahun 2011 tentang Partai Politik memberikan batasan penerimaan sumbangan, baik perseorangan maupun perusahaan. Kriteria perseorangan itu adalah bukan anggota partai politik yang bersangkutan. Besarannya Rp 1 Milyar per tahun anggaran. Sementara perusahaan atau badan usaha dibatasi Rp. 7,5 Milyar per tahun anggaran. Yang tidak dibatasi adalah sumbangan anggota partai politik yang bersangkutan. Jadi, bisa saja seorang anggota menyumbang Rp 1 Trilyun per tahun anggaran.

Sementara sumbangan dari anggaran negara dibatasi berdasarkan kemampuan keuangan dalam APBN dan APBD. Perhitungannya berdasarkan jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu sebelumnya (9 April 2009). Informasi yang beredar, Keputusan Menteri Dalam Negeri menyebutkan angka Rp. 108,- per suara per tahun anggaran. Dalam perhitungan kasar saja (dikalikan dengan Rp. 100,-), apabila jumlah suara sah dalam pemilu 2009 mencapai angka 104.099.785, maka total anggaran negara yang diberikan kepada partai politik lebih dari Rp. 10.409.978.500. Namun, jangan lupa, partai politik yang dapat APBN dan APBD hanyalah yang mendapatkan kursi di DPR dan DPRD.

Karena itu, dengan jumlah total suara sembilan partai politik di DPR yang hanya 85.051.132, maka total APBN yang diberikan kepada partai politik di DPR adalah sebanyak Rp. 8.505.113.200,- (dengan asumsi dikalikan Rp.100,-). Kalau dibulatkan lagi sekitar Rp. 8,5 M per tahun anggaran. Partai Demokrat mendapatkan sekitar Rp. 2,1 M, sementara Partai Golkar mendapatkan sekitar Rp. 1,5 M. Angka ini tentu berbeda di masing-masing DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota. Besarannya tergantung kepada perolehan masing-masing partai politik, termasuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR RI.

Jika dikaitkan dengan jumlah APBN yang sekitar Rp. 1.200 Trilyun, total anggaran yang diberikan kepada partai politik tidak sampai mencapai angka 0,01%. Dari sisi ini, kurang tepat kalau partai politik menjadi pihak yang selalu disudutkan sebagai penyebab dari kekurang-berhasilan mencapai tujuan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sekalipun memiliki kewenangan yang besar dalam konstitusi, partai politik bukanlah pihak yang “mencari makan” dari sisi anggaran. Masalah ini patut disampaikan secara luas.

Tentu angka-angka yang ada di atas masih angka normatif. Angka riilnya dihitung lagi berdasarkan APBN dan APBD. Taruhlah angka Rp. 8,5 M dikalikan 3 (untuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten atau DPRD kota), maka terdapat angka Rp. 25,5 M dari APBN dan APBD per tahun anggaran. Angka-angka itulah yang diaudit dan dilaporkan kepada pihak yang memeriksa, dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan. Sementara, anggaran pemilu dilaporkan kepada pihak Komisi Pemilihan Umum.

Bagaimana dengan dana publik, termasuk iuran anggota? Anggaran itu diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan secara periodik setiap satu tahun. Yang diaudit itu meliputi laporan realisasi anggaran partai politik, laporan neraca dan laporan arus kas. Selain itu, pertanggung-jawaban anggaran itu tentu dilaporkan kepada anggota dan pengurus partai politik, dalam setiap kali Kongres, Munas atau Mukhtamar yang dihelat oleh partai politik.

Kegunaan Anggaran

Lalu, kemana anggaran yang diperoleh dari negara itu mengalir? Undang-undang mengatur bahwa anggaran itu diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai politik dan masyarakat.  Adapun materi pendidikan politik itu berkaitan dengan kegiatan pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Materi pendidikan politik yang lain adalah pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik, serta pengkaderan anggota Partai politik secara berjenjang dan berkelanjutan.

Kalau dilihat dari intensitas kegiatan masing-masing partai politik, tentulah anggaran yang diberikan negara relatif kecil. Apalagi bagi partai politik yang hampir setiap pekan melakukan kegiatan. Belakangan, muncul anggapan penting dalam era demokrasi, yakni politisi adalah kelompok yang selalu memiliki uang. Apalagi yang memiliki status sebagai legislator atau pejabat politik di eksekutif, seperti menteri atau kepala daerah. Proposal menumpuk datang dan menunggu jawaban.

Darimana partai politik menutupi kekurangan anggaran? Mayoritas membebankan kepada legislator atau yang menjadi pejabat (politik) di eksekutif. Potongan gaji sudah pasti. Walau ketentuan ini tidak ada dalam undang-undang, prakteknya dilakukan di semua partai politik. Hal inilah yang kemudian memicu munculnya kasus-kasus korupsi atau penyalah-gunaan jabatan. Politisi menjadi perpanjangan tangan dari mata rantai yang tersembunyi dalam urusan tender proyek-proyek pemerintah. Selain itu, politisi juga menjadi bagian yang penting dalam kehidupan korporasi.

Beratnya beban politisi jarang diketahui. Terutama politisi yang sama sekali tidak berlatar-belakang kelompok kelas menengah dan kelas elite, terutama dari sisi ekonomi. Bahwa demokrasi dilahirkan oleh kaum borjuis sudah diketahui, namun di Indonesia tidak semua politisi yang menjadi pelaku kehidupan demokrasi berasal dari kelompok ini.

Pada gilirannya, bagi siapapun warga negara yang memiliki kualifikasi untuk menjadi penyelenggara negara, akan sulit memasuki kehidupan politik praktis apabila tidak memiliki uang. Apa yang mesti dilakukan untuk mengatasi soal seperti ini? Yang sederhana adalah mengefisienkan ongkos demokrasi. Bagaimana caranya? Mari kita pikirkan bersama.