SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Blog Pribadi Atma Winata Nawawi

Rabu, 28 Desember 2011

PESONA AYAMARU

".....gunung-gunung, lembah-lembah, yang penuh misteri, yang ku puja slalu, keindahan alam mu yang mempesona, sungaimu yang deras mengalirkan emas, sio ya Tuhan, trima kasih....."
(Tanah Papua, Trio Ambisi)
Saya Berfoto Di Tepi Danau Ayamaru


Mungkin diantara kita belum banyak yang mendengar tentang danau Ayamaru, lain halnya dengan masyarakat di Papua, danau ini sudah terkenal hingga ke pelosok pedalaman disana. Merupakan salah satu danau yang terbesar di tanah Papua. Terletak di distrik Ayamaru, kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat. Danau ini terletak sekitar 220 KM dari Kota Sorong dengan akses transportasi darat yang sangat terbatas. Danau ini menjadi sentral peradaban dan kehidupan masyarakat suku Maybrat yang mendiami wilayah ini.
      

Saya beruntung dapat mengunjungi danau ini, bersama dengan rombongan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Bapak Prof.DR.Balthasar Kambuaya, MBA dan keluarganya yang kebetulan daerah ini juga merupakan kampung halaman beliau. Kunjungan ini merupakan agenda resmi Pak Bert Kambuaya sebagai Raja di daerahnya, sekaligus kunjungan pertama beliau ke kampung halaman pasca dilantik menjadi Menteri. Tentu saja kunjungan ini menjadi sangat spesial untuk beliau, keluarganya dan masyarakat di Papua khususnya kampung halamannya.

Penyambutan Masyarakat terhadap Raja Bert Kambuaya
Kami menempuh perjalanan panjang untuk bisa sampai didaerah ini, dari Jakarta kami berangkat menuju Sorong dengan lama waktu sekitar lima jam, dengan transit di Makassar selama 25 menit, setibanya di Sorong kami masih harus melanjutkan perjalanan selama 40 menit menggunakan pesawat Twin Otter milik Merpati Airlines menuju Bandara Kambuaya, di Kabupaten Maybrat. 

Dari udara terlihat jelas gunung-gunung dan lembah-lembah yang penuh misteri, seperti lagu yang dipopulerkan oleh Trio Ambisi tersebut. Sungguh keindahan alam yang tidak akan kita temui di daerah Jawa yang sudah padat penduduknya.

Saat tiba di Bandara Kambuaya, ratusan masyarakat sudah menyambut kedatangan kami, upacara adat dan tarian khas ayamaru meniringi kami sepanjang perjalanan hingga sampai ke rumah kediaman Bapak Raja di Kampung Kambuaya. 

Ada sesuatu yang unik saat saya berdiskusi dengan masyarakat mengenai Bandara Kambuaya ini. Pada saat zaman pendudukan Belanda di Papua, ayah dari Bapak Bert Kambuaya, yaitu Bapak Abraham Kambuaya (Alm) merupakan orang yang memiliki inisiatif untuk membangun Bandara di kampungya. Sesuatu yang tidak lazim dilakukan oleh masyarakat asli papua pada zaman itu. Beliau terinspirasi ketika dipekerjakan sebagai pekerja Kilang Minyak di daerah Teluk Bintuni. Disana beliau melihat bahwa Transportasi Udara lah yang bisa membuat daerah yang terisolir menjadi terbuka sehingga masyarakat bisa mendapat pendidikan dan ajaran agama yang baik.

Dengan semangat tinggi beliau mengajak masyarakat bergotong royong untuk membangun bandara dengan peralatan seadanya, usaha ini berbuah hasil hingga pesawat dapat mendarat pada pertengahan 90'an. Hingga kini Bandara ini acap digunakan sebagai bandara perintis untuk mengangkut kebutuhan pokok dan manusia dari dan menuju Maybrat.

Suasana Natal Di GKI Silo Kambuaya
 Saya pun juga sempat melihat bagaimana suasana perayaan Natal di daerah ini, mayoritas penduduknya adalah penganut agama Kristen Protestan, hampir 95% menurut salah satu masyarakat disana. Kalo dia penduduk asli Ayamaru, pasti penganut Kristen Protestan, kalo ada agama lain itu pastilah pendatang diwilayah ini, demikian menurut salah satu masyarakat yang saya tanya. Mereka hidup rukun dan sangat menghargai penganut agama dan etnis lain, ini terbukti dari Tenaga Medis Dokter PTT dan guru sekolah yang sering datang dari luar Papua, sangat dihormati dan dilindungi. 


Mereka juga kerap mengumpulkan hasil panen dari ternak, ikan, sayuran, kebun, dan lain-lain mereka berikan kepada tenaga medis dan guru sekolah itu. Karna mereka menyadari, bila para tenaga medis dan guru ini betah tinggal dikampung mereka, maka kehidupan mereka akan dapat lebih maju dan sehat.

Kini masyarakat di sekitar danau Ayamaru, Maybrat ini merasakan dampak postif dari tradisi menghormati guru, misionaris, pendeta, dan dokter yang datang ke wilayah mereka. Dibandingkan dengan masyarakat suku lain di Papua, orang-orang dari daerah ayamaru terkenal sebagai Orang Papua yang pintar, berpendidikan, disiplin, pekerja keras, dan memiliki kelebihan lainnya. Menurut salah seorang masyarakat, bahwa Orang Ayamaru sudah tersebar di seluruh tanah Papua, ada yang menjadi PNS, Pegawai Swasta, Pengusaha, Atlet, dan Politikus. Rata-rata orang Ayamaru menduduki pos-pos strategis ditempat mereka berada, banyak juga yang menjadi Bupati, Walikota, Sekda Kabupaten/Kota, Kepala Dinas, Kepala Biro, Kepala Bagian, dan lain-lain.

Inilah perjalanan saya di Ayamaru yang sangat berkesan, saya bisa menyimpulkan bahwa memang Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu merubahnya sendiri. Semoga bangsa kita bisa meneladani salah satu pesona di wilayah Papua yang sangat terisolir ini, namun memiliki Human Resources unggulan.


Minggu, 04 Desember 2011

AL-HAKAM, YANG MENETAPKAN HUKUM



“Maka patutkah aku mencari hukum selain daripada Allah, padahal Dialah yang menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci?” (Al-An’am: 114)

Al-Hakam berasal dari akar kata ha-ka-ma. Dari akar kata itu bisa berubah menjadi haakim dan hukm. Semua kata yang berasal dari pengembangan akar kata ha-ka-ma mempunyai makna yang sama, yaitu menghalangi. Itulah sebabnya, hukum dapat diartikan sebagai perangkat yang dapat menghalangi atau membatasi seseorang atau sekelompok orang dari tindakan yang melanggar.

Pengertian pertama Al-Hakam adalah bahwa Allah-lah yang Maha Memutuskan dan Menetapkan semua perkara. Segala yang terjadi di kolong langit dan di atas bumi adalah ketetapan-Nya. Kapan selembar daun mengering, kapan terlepas dari tangkainya, dan kapan pula jatuhnya ke bumi, Dia-lah yang menetapkan. Tiada Tuhan selain Allah, yang menetapkan segala sesuatu berdasar hukum-Nya.

Pengertian kedua, melalui Asma-Nya ini Allah menetapkan bahwa setiap individu manusia akan memperoleh apa yang telah diusahakannya. Setiap individu menanggung sendiri dosa dan pahalanya. Anak tidak menanggung dosa bapaknya, demikian juga sebaliknya. Islam tidak mengenal dosa warisan, sebagaimana firman-Nya: “Dan bahwa setiap manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusakannya, dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepada-nya).” (An-Najm: 39-40).

Pengertian ketiga, sebagai Al-Hakam, Allah telah menetapkan kepastian hukum bagi hamba-Nya. Bagi yang berbakti akan diganjar dengan kebahagiaan, sebaliknya bagi yang durhaka akan dihukum dengan kesengsaraan. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yanag penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (Al-Infithar: 13 dan 14)

Pengertian keempat, Allah adalah Hakim Agung. Sebagai Hakim Agung, Allah tidak membutuhkan sesuatu, malah sebaliknya segala sesuatu membutuhkan-Nya. Dia tidak bisa dirayu, disogok, dan disuap. Di pengadilan Allah, semua perkara diputus dengan seadil-adilnya. Semua alat bukti dapat dihadirkan, bahkan Allah sendiri yang akan menjadi saksinya. Jangankan perbuatan yang terlihat, niat yang tersembunyi sekalipun dapat dilihat Allah swt. Di hadapan Allah, mana mungkin kita mengingkari atau sekadar menyembunyikannya?

Pengertian kelima, setiap keputusan yang keluar dari-Nya pastilah merupakan keputusan dan adil dan bijaksana. Allah tidak pernah mendzalimi hamba-Nya, tapi hamba-Nya lah yang berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri. Apa pun keputusan-Nya harus kita terima. “Boleh jadi sesuatu yang tidak kamu sukai menjadi lebih baik bagi kamu, dan bisa jadi apa yang kamu sukai itu menjadi jelek bagi kamu.” (Al-Baqarah: 216)

Sebagai hambanya Al-Hakam, kita hanya boleh berbaik sangka terhadap apa yang telah diputuskan kepada kita sampai saat ini, juga terhadap apa yang akan diputuskan kelak pada kita di akherat nanti. Kita rela dan bersyukur atas keputusanNya di dunia ini, dan kita senantiasa berharap keputusan terbaik buat kita di akherat kelak.

(Hamim Thohari)

Sabtu, 03 Desember 2011

AL-KHABIR, YANG MAHA MENGETAHUI



"Dia tak tercapai oleh segala indera, tetapi Dia mencapai segala indera. Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-An’am: 103)
Al-Khabir berasal dari akar kata kha-ba-ra, yang maknanya berkisar pada dua hal, yaitu pengetahuan dan kelemahlembutan. Dalam Al-Qur’an, kata ini dipakai sebanyak 55 kali. Ada yang berdiri sendiri, tapi lebih banyak lagi yang digandengkan dengan Asma’ul Husna yang lain, seperti Al-Hakiim al-Khabiir, Al-Lathiif al-Khabiir, Al-Khabiir al-Bashiir, dan Al-Aliim al-Khabiir.

Dalam Al-Qur’an terjemahan Departemen Agama RI, antara Al-Alim dengan Al-Khabir itu terjemahannya sama, yaitu Yang Maha Mengetahui. Padahal, keduanya mempunyai perbedaan arti yang signifikan. Al-Alim mencakup pengetahuan Allah tentang sesuatu dari sisi-Nya, sementara Al-Khabir adalah pengetahuan-Nya yang menjangkau sesuatu yang diketahui. Jika yang pertama (Al-Alim) tekanannya lebih kepada yang mengetahui, sedang pada yang kedua (Al-Khabir) justru yang menjadi titik tekannya adalah sesuatu yang diketahui.

Ketika Al-Qur’an berbicara tentang ajal, sesuatu yang sangat rahasia, di mana manusia tidak bisa mengetahui secara pasti, maka rangkaian sifat Allah yang digunakan untuk memperjelasnya adalah Al-Aliim al-Khabiir, sebagaimana ayat berikut ini: “Tidak seorangpun yang mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34).

Demikian juga ketika membahas tentang kualitas kemuliaan dan ketaqwaan seseorang, yang hanya Dia yang mengetahuinya, Al-Qur’an menggunakan rangkaian Al-Alii al-Khabiir, seperti ayat berikut: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujuraat: 13).

Lain halnya ketika al-Qur’an berbicara tentang hak prerogatif Allah, berupa rahmat atau adzab, rangkaian kata yaang dipakai adalah Al-Hakiim al-Khabiir, seperti ayat berikut: “Barangsiapa yang dijauhkan adzab daripadanya pada hari itu, maka sungguh Allah telah memberikan rahmat kepadanya. Dan itulah keberuntungan yang nyata. Jika Allah menimpakan suatu?kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 16-18).

Rangkaian kata yang sama digunakan Al-Qur’an ketika berbicara tentang rincian perilaku makhluq-Nya yang menyimpang maupun yang lurus. Allah berfirman: “Segala puji bagi Allah, yang memiliki segala yang ada di langit dan di bumi; bagi-Nya segala puji di akherat. Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dia mengetahui apa yang merasuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana.” (QS. Saba: 1-2).

Pasangan lainnya adalah Al-Lathiif al-Khabiir. Pasangan ini digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang sangat rahasia, sehingga indera biasa tak bakal mengetahuinya. Allah berfirman: “Dia tak tercapai oleh segala indera, tetapi ia mencapai segala indera. Dia Maha Halus dan Maha Mengetahui. (QS. Al-An’am: 103).

Rangkaian terakhir adalah Al-Khabiir al-Bashiir, yang dipakai al-Qur’an untuk menggambarkan pe­ngetahuan Allah tentang segala kebutuhan hamba-hamba-Nya. Allah berfirman: “Sekiranya Allah me­lapangkan rezeki bagi hamba-hamba-Nya, niscaya mereka akan berbuat semaunya di muka bumi. Tetapi Dia menurunkannya sesuai dengan ukuran yang di­kehendaki-Nya; terhadap hamba-hamba-Nya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat.” (QS. Syuura: 27).

Tiada daun kering yang jatuh dari tangkainya, kemudian ditiup angin sehingga di bumi mana jatuhnya, kecuali Dia mengetahuinya. Tiada semut hitam yang berjalan di batu hitam di malam yang kelam, kecuali Dia pula yang mengetahuinya. Kedipan mata, degupan jantung, dan kehendak dalam hati, diketahui-Nya pula. Lalu ke mana kita bisa menghindar dari pantauan-Nya? 

(Hamim Thohari)

Jumat, 02 Desember 2011

AL-LATHIF YANG MAHA LEMBUT



“Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya, Dia memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (Asy-Syuura: 19)
Kata Al-Lathif berasal dari akar kata la-tha-fa, yang bermakna lembut, halus, atau kecil. Az-Zajjaj, pakar bahasa Arab dalam tafsir Asma’ul Husna mengartikan Al-Lathif sebagai “yang mencapai tujuannya dengan cara yang sangat tersembunyi atau tak terduga.”
Dalam Al-Qur’an, kita bisa mendapati kata Al-Lathif dalam 7 ayat, 5 di antaranya disambung langsung dengan kata ”Al-Khabiir” yang juga merupakan Asma Allah yang Indah. Ketujuh kata tersebut semuanya merupakan ”ism,” kata benda. Hanya ada satu yang berbentuk ”fi’il,” kata kerja, terdapat pada surat Al-Kahfi ayat 18, yang letaknya persis di tengah al-Qur’an. Mushaf-mushaf lama biasanya menandainya dengan cetakan tebal berwarna merah. Kata itu berbunyi ”wal yatalaththaf” yang secara harfiah berarti ”hendaklah kalian berlaku lemah lembut.”
Predikat Al-Lathif memang pantas disandang Allah, dan hanya Dia yang pantas menyandangnya. Setidak-tidaknya, ada tiga alasan mengapa Dia disebut Al-Lathif. Pertama, Dia melimpahkan karunia kepada hamba-hambaNya secara tersembunyi dan rahasia, tanpa diketahui oleh mereka. Ketika Dia menyatukan dua insan berlainan jenis dalam mahligai rumahtangga, tak seorang pun tahu dari mana datangnya cinta. Begitu halus, begitu lembut, sehingga orang yang dikaruniainya tak juga mengetahuinya. Demikian pula anugerah rizki yang lain, semua serba halus dan tersembunyi.
Al-Ghazali memberi catatan khusus di sini, ketika ia menggambarkan betapa Mahahalusnya Allah. Ia mengangkat contoh janin, bagaimana Allah memelihara janin ibu dan melindunginya dalam tiga masa kegelapan, yaitu kegelapan dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutupi anak dalam rahim. Betapa Mahahalusnya Dia ketika memberi makan janin melalui pusar sampai ia lahir dan mengilhaminya menyusu kepada ibunya tanpa ada yang pernah mengajarinya. Gigi-gigi bayi ketika itu belum ditumbuhkan agar si Ibu tidak kesakitan ketika anaknya menyusu. Siapakah yang menahan tumbuhnya gigi bayi? Semuanya serba halus, lembut, dan nyaris tidak ada yang mengetahuinya.
Kedua, Dia menghamparkan alam raya ini untuk makhlukNya. Allah memberi kepada semua makhlukNya melebihi yang diminta. Kita tidak pernah minta hidup di dunia ini, tapi Dia menganugerahi kehidupan. Kita tidak pernah ingin dijadikan manusia, tapi Allah menakdirkan kita menjadi manusia. Kita tidak pernah minta bisa berbicara, tapi Allah mengaruniakan kepada kita kemampuan berbicara. Dia telah memberi sebelum diminta. Di sisi lain, Dia tidak pernah menuntut balas, juga tidak memberi beban melebihi kemampuan makhlukNya. Adakah yang lebih santun dari Dia?
Ketiga, Dia berkeinginan agar semua makhlukNya mendapatkan kemaslahatan dan kemudahan. Dia tidak ingin makhlukNya mendapati kesulitan. Al-Qur’an bertutur: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menghendaki kalian dalam kesulitan.”
Itulah sebabnya, Allah menyiapkan berbagai sarana dan prasarana kehidupan dan memberi kemudahan kepada manusia untuk mendapatkannya. Allah melengkapi makhlukNya dengan berbagai indera, selain naluri yang bersifat alamiah. Khusus untuk manusia, Allah mengaruniakan akal pikiran dan hati nurani. Dua sarana yang dikaruniakan Allah itulah yang menjadikan manusia sebagai makhluk tertinggi.
Bagaimana kita meneladaninya? Pertama, hiasi diri kita dengan akhlakul karimah. Kedua, jalin hubungan yang harmonis dengan semua makhlukNya. Ketiga, usahakan untuk memberi sebelum tangan yang meminta mengulurkannya. Berilah sebelum terucap kata “mohon.” Lakukanlah hal itu kepada isteri atau suami, anak, orangtua, para fakir miskin, bawahan, dan kepada semua manusia, serta makhluk Tuhan lainnya. Hanya dengan kelembutan hati kita bisa peduli.
Ya Lathif, lembutkan hati kami agar kami bisa berempati dan punya peduli. 
Ya Lathif, haluskan hati kami agar kami bisa berbagi.
(Hamim Thohari)