SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Blog Pribadi Atma Winata Nawawi

Rabu, 27 April 2011

DINAMIKA KADER LOMPAT KATAK


Oleh : Indra J Piliang

Sejumlah politikus kini memutuskan berpindah partai politik. Kalau semula politikus itu hanya pihak yang diusung dalam pemilihan kepala daerah, tidak terlalu banyak reaksi yang muncul. Gamawan Fauzi, misalnya, disorot karena sikapnya dalam pemilihan presiden 2009 yang menunjukkan dukungan terhadap pasangan SBYBoediono, yang diusung Partai Demokrat dan mitra koalisinya. Sedangkan dalam  pilkada Sumatera Barat 2005, Gamawan diusung oleh PDI Perjuangan dan Partai Bulan Bintang sebagai calon gubernur.

Namun lain halnya kalau politikus itu merupakan tokoh penting di partainya. Ambil contoh Dede Yusuf,Wakil Gubernur Jawa Barat. Kepindahan Dede ke Partai Demokrat dianggap sebagai corengan terhadap loyalitas kader penting Partai Amanat Nasional. Selain itu, kepindahan Dede tersebut ditengarai dalam rangka mengincar posisi sebagai Gubernur Jawa Barat. Gubernur Jambi Hasan Basri Agus, yang turut diusung Partai Golkar, memutuskan menjadi Ketua Partai Demokrat Provinsi Jambi.

Apa yang terjadi sebetulnya? Di tengah penilaian yang semakin kurang bersahabat terhadap eksistensi politikus dan partai-partai politik, secara terang-terangan pola rekrutmen kader semakin instan. Kader yang “diambil”adalah kader yang sudah jadi, alias bukan sosok yang menghadapi manis-pahitnya kehidupan kepartaian. Ciri lain yang penting adalah kader tersebut sedang mengisi jabatan publik, yakni incumbent sebagai kepala atau wakil kepala daerah.

Semakin mudahnya kader berpindah dari satu partai politik ke partai politik lain menunjukkan betapa politikus bukan lagi persoalan ideologis. Lo, kenapa larinya ke sana? Mengingat kader ideologis akan berbicara dan berpikir berdasarkan raison d’ĂȘtre kelahiran dan kehadiran partai-partai politik. Kader ideologis tidak sematamata membaca peluang kekuasaan yang bisa diraih. Politik bukan hanya masalah kekinian, tetapi menghunjam ke masa lalu yang jauh dan menerawang ke masa depanyang tak pasti.

Kelompok mana yang semestinya mengingatkan soal penting ini? Tentu kalangan di luar partai politik. Politik tidak bisa dikendalikan setengah hati atau semata-mata hanya soal kekuasaan. Politik adalah bagian dari perikehidupan yang jauh lebih ideal lagi, yakni bagaimana setiap manusia bisa mendayagunakan akal dan pikirannya berdasar idealisme tertentu. Dalam konteks ini, politikus adalah manusia-manusia yang memikirkan persoalan-persoalan yang jauh lebih besar, dari sekadar kebutuhan primer, sekunder, dan tersier sebagai manusia. Dalam bahasa yang lebih populis, politikus adalah negarawan ketika berpikiran tentang generasi terdahulu dan generasi yang akan datang.

Kalau dibandingkan dengan masa lalu, dari sisi ekonomi, politikus zaman sekarang jauh lebih kaya ketimbang politikus generasi founding fathers and mothers. Haji Agus Salim, misalnya, terkenal dengan adagium leiden is lijden (memimpin adalah menderita). Sampai akhir hayatnya, Agus Salim adalah sosok singa podium tua yang hidup di kamar kontrakan, tempat ia mendidik anakanaknya tanpa menempuh pendidikan formal.Tentu, semakin jarang politikus seperti itu di zaman ini.Tapi kita perlu mengingat terus betapa pernah ada sosok-sosok penting politikus di masa lalu yang kehidupan ekonominya begitu parah namun hadir sebagai negarawan-negarawan ulung.

Wajah politikus zaman ini dikenal glamor, menjadi selebritas, seakan tak kenal penderitaan. Siapa pun yang menjadi politikus pasti tahu betapa publik menganggapnya sebagai lumbung uang yang tak pernah kerontang. Proposal menumpuk, kalau sudah menempati posisi sebagai anggota legislatif atau eksekutif. Bukan hanya para pejabat publik yang terkena stigma sebagai sosok yang kaya, tapi juga orangorang yang dikenal sebagai politikus.

Maka, tidak mengherankan, untuk memenuhi kebutuhan di luar keluarganya, sejumlah politikus menempuh jalan keliru. Salah satunya adalah menjadi koruptor, baik kecilkecilan maupun besar-besaran, sendirian atau berjemaah. Sementara itu, mereka yang tiba-tiba mendapati kenyataan sudah naik kelas pada posisi yang tinggi, menjadi anggota parlemen, misalnya, membius diri dengan tingkah laku bagaikan orang kaya baru: mengisap narkoba dan berbelanja barang-barang mahal. Bukannya semakin dekat dengan kepentingan nurani rakyat, malahan politikus jenis ini mengalami kedangkalan pemaknaan peran di publik.

Karena itu, tidaklah aneh bila terjadi lompatan-lompatan pemikiran untuk tetap berada dalam posisi sebagai elite masyarakat itu. Salah satu cara yang ditempuh adalah menjadi politikus “lompat katak”.

Yang masuk kategori ini adalah politikus yang menendang ke bawah, berpegang ke atas, sembari berharap ada kedudukan yang lebih nyaman. Partai-partai politik yang dikejar adalah yang sedang berada dalam posisi berkuasa. Maka, jarang kita mendengar kader-kader yang memilih masuk ke partai yang lebih kecil seperti yang dilakukan sahabat saya, Dr Yuddy Chrisnandi, yang memutuskan menjadi elite di Partai Hanura.

Tentu kategori lompat katak tidak termasuk dalam kategori kader-kader yang secara kolektif membangun ide-ide baru. Kerja kolektif jauh lebih rumit dari sekadar memperdagangkan posisi politik bagus, lalu pindah-pindah partai. Makanya, saya jauh lebih mengapresiasi kehadiran Partai Nasdem ketimbang melihat politikus yang terus melakukan akrobat ketika berada dalam posisi sebagai pejabat negara. Walaupun memang pergulatan menjadi politikus terasa jauh lebih keras disbanding kalangan yang lain, katakanlah kaum profesional di sebuah perusahaan lokal yang dibajak perusahaan multinasional, tetap saja ada nilai-nilai yang dijaga oleh politikus ketimbang sekadar karier dalam jabatan-jabatan publik.

Justru seorang politikus yang sedang menduduki posisi sebagai pejabat public haruslah terkesan “melepaskan diri”dari partai politik tertentu. Seorang menteri yang saya temui mengatakan: “Jangankan mengurus partai, mengurus pekerjaan sebagai menteri saja waktu saya tidak cukup.”Saya bertemu dengannya di meja kerjanya pada pukul 21.00 lewat. Sambil berbicara, menteri ini sibuk menandatangani sejumlah berkas yang disodorkan sekretarisnya. Dia sama sekali tidak memandang mata saya, sebagaimana dulu sebelum dia menjadi menteri.

Maka, saya menemukan sebuah kesimpulan. Pejabat publik jauh lebih ditakuti ketika tidak  menyandarkan diri kepada partai politik tertentu. Sekalipun memiliki preferensi politik, sebagaimana manusia dewasa umumnya, jauh lebih baik bila sang pejabat publik itu tidak secara terbuka memilih berada di partai politik tertentu. Jadi, alangkah janggalnya bila yang terjadi adalah berpindah partai politik ketika sedang menjabat. Sang pejabat publik itu tidak hanya telah menghilangkan jasa partai yang mengusungnya atau parpol semula, tetapi juga menghancurkan sistem kaderisasi di partai baru yang ia masuki.

Sejumlah pemikiran untuk menghambat kader lompat katak ini dengan mengubah undang-undang juga tidak perlu. Manusia sulit dicarikan pagar, apalagi politikus. Justru akan semakin mengerdilkan posisi politikus apabila persoalan berpindah partai ini saja dibuatkan regulasinya. Dalam proses pendewasaan berpolitik dan berdemokrasi, jauh lebih baik apabila politikusnya sendiri yang membatasi diri dan mengukur sejauh mana area yang hendak dijelajahi.

Dunia politik adalah lautan dalam, jarang yang bisa tetap berada di atas samudra, malah kebanyakan tenggelam.

Senin, 25 April 2011

KORUPSI DAN KELEDAI SUFI



Apa relevansi antara korupsi, keledai, dan kaum sufi? Belum lama ini, situs Kompas.com edisi 7 April 2011 menurunkan tulisan berjudul ”Revisi RUU Tipikor Diotaki 'Keledai'”.
Diberitakan, Amien Sunaryadi, mantan komisioner KPK, menyebut RUU Tipikor yang menimbulkan kontroversi di masyarakat saat ini sebagai draf yang, pertama, sangat mungkin ditunggangi pihak-pihak tertentu yang berkepentingan, dan, kedua, diotaki oleh ”keledai”.
Untuk kemungkinan yang pertama tidak ada yang istimewa dari pernyataan Amien. Sejarah di Indonesia memang secara pekat menunjukkan, modus paling sering dilakukan jaringan mafia pro-korupsi melemahkan orientasi pemberantasan korupsi adalah dengan membuat draf revisi berbagai aturan korupsi, yang materinya diarahkan untuk menelikung arah pemberantasan korupsi dari rel progresif ke jalur konservatif. Setidaknya hal itu pernah teridentifikasi pada revisi UU Tipikor terdahulu. Juga terbaca ketika muncul wacana revisi UU KPK, serta pada saat inisiasi UU Pengadilan Tipikor.
Kacamata kuda
Memori kolektif publik masih kuat mengingat, selain terhadap UU Tipikor, pernah ada momen ketika tiba-tiba saja muncul wacana merevisi UU KPK, yang ujung-ujungnya mengarah pada skenario pelucutan berbagai kewenangan ekstra KPK. Targetnya jelas, KPK digiring menjadi ”lembaga macan ompong” yang tak akan bisa lagi berperan secara signifikan dalam kerja-kerja penegakan hukum korupsi.
Pada momen lain, publik juga masih ingat bagaimana kelompok kepentingan tertentu tersebut ”meraih sukses” dalam memengaruhi materi UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. Pasal 26 Ayat (3) UU Pengadilan Tipikor, terkait otoritas ketua pengadilan menentukan komposisi hakim karier dan hakim ad hoc dalam persidangan, sering disebut oleh aktivis anti-korupsi sebagai loophole yang berpotensi membuat pengadilan terhadap para koruptor akan berakhir antiklimaks. Kepentingan pro-korupsi rupanya tak pernah berhenti bergerilya menyurutkan upaya pemberantasan korupsi dengan penetrasi langsung kepada substansi berbagai hukum materiil dan hukum formil bidang korupsi.
Hal paling unik dari pernyataan Amien Sunaryadi justru terletak dalam analisisnya yang kedua, ketika ia menyebut otak (mastermind) dari draf UU Tipikor berkapasitas intelektual selevel ”keledai”. Bukan saja metodologinya tidak jelas, Amien juga menduga bahwa penyusunnya adalah ahli hukum yang hanya melihat persoalan korupsi tanpa memerhatikan praktik di lapangan. Sayangnya, Amien tidak menginformasikan lebih lanjut, siapa gerangan ahli hukum yang terlibat dalam pembuatan RUU dengan ”pendekatan kacamata kuda” tersebut.
Penggunaan istilah ”diotaki keledai” terhadap penyusun RUU Tipikor tentu maknanya sangat mudah dipahami publik yang sudah mafhum terhadap konotasi negatif ungkapan tersebut. Skandal otak ”keledai” dalam draf RUU Tipikor tidak saja merujuk pada sebuah ketololan, tapi juga disorientasi perancangnya dalam mengarahkan proyeksi pemberantasan korupsi ke depan. Maka, wajar jika kemudian ada yang bertanya secara retoris: dengan RUU yang diotaki ”keledai”, hendak dibawa ke mana sebenarnya muara pemberantasan korupsi di negeri yang masih akut dicengkeram praktik koruptif ini?
Namun, yang tetap tak bisa diduga, sebagaimana berbagai fakta sejarah gerakan korupsi di Indonesia, walaupun otak sekelas ”keledai” yang merancang RUU Tipikor, bukan berarti tidak perlu diwaspadai potensi perealisasiannya menjadi UU. Bukankah sering publik disuguhi tontonan semacam ini. Setelah muncul draf UU yang secara substansi terlihat tolol, kemudian berlanjut dengan berbagai ketololan dalam proses legislasi, akhirnya tetap saja berujung pada lahirnya perubahan UU yang dibangun dari asumsi-asumsi yang sarat dengan berbagai ketololan.
Kisah ”sang keledai”
Dalam konteks inilah kemudian menjadi relevan untuk menyimak sebuah kisah dalam dunia sufi, yaitu cerita mengenai Timur Lenk: keledai dan seorang sufi bernama Nasruddin Hoja.
Alkisah, pada suatu masa, Timur Lenk menghadiahkan seekor keledai kepada Nasruddin Hoja. Pemberian itu disertai permintaan aneh supaya sang sufi mengajari sang keledai membaca. Dua minggu setelah waktu pemberian, Nasruddin diminta mendemonstrasikan kemampuan membaca si keledai.
Nasruddin Hoja tidak menampik permintaan aneh itu, dan membuktikannya dengan membawa keledai tersebut ke hadapan Timur Lenk dua minggu setelahnya. Di depan Timur Lenk, pada saat disodori sebuah buku, keledai tersebut mulai membalik-balik halaman buku dengan lidahnya. Lembar demi lembar halaman buku dihabisinya. Setelah itu Nasruddin berkata, ”Keledaiku sudah bisa membaca.”
Karena penasaran, Timur Lenk bertanya, ”Bagaimana caramu mengajarinya membaca?” Nasruddin bertutur, ”Di rumah aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membuka-buka halaman untuk menikmati biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih melakukan itu semua.”
Mendengar penjelasan Nasruddin Hoja, Timur Lenk memprotes: ”Bukankah keledai itu binatang bodoh yang tidak mengerti apa yang dibacanya?” Dengan dingin, Nasruddin menanggapinya, ”Memang demikianlah cara keledai membaca, hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai, bukan?”
Draf RUU Tipikor memang dirancang oleh ahli hukum yang berotak ”keledai”, dan karenanya kerancuan substansinya meng- undang reaksi dari publik. Namun, yang mengejutkan, draf tersebut ternyata adalah RUU versi pemerintah. Lantaran mendapat reaksi luar biasa dari publik, proses pengusulannya pun akhirnya dicabut. Ini menunjukkan satu hal: walaupun secara substansi draf tersebut diotaki ”keledai”, tetapi dalam tipu muslihat proses legislasinya bisa jadi diskenariokan dengan canggih. Buktinya, draf itu sempat ”dinobatkan” sebagai RUU Tipikor versi pemerintah.
Maka, pelajaran moralnya jelas: selain memastikan sikap penolakan yang tegas terhadap draf RUU Tipikor produk otak ”keledai”, publik tetap perlu waspada. Walaupun sudah dicabut, bukan berarti itu akhir dari segalanya. Bisa jadi setelah RUU Tipikor, berikutnya yang akan disisir adalah UU KPK dan UU Pengadilan Tipikor.
Kiranya, ”sindiran” Nasruddin Hoja terasa relevan untuk direnungkan: sekali sebuah ketololan dibiarkan, maka ia akan menjadi rangkaian ketololan yang pada akhirnya akan menggiring kita semua berada pada situasi buruk yang merugikan.
Hasrul Halili Dosen Fakultas Hukum UGM
Sumber : Kompas, 25 April 2011

CITARUM TERCEMAR DARI HULU



Bandung, Kompas - Sungai Citarum, sumber air minum bagi 25 juta warga Jawa Barat dan DKI Jakarta serta pemasok tenaga listrik bagi Pulau Jawa dan Bali, kini tercemar logam berat. Pencemaran disertai pelumpuran dan pendangkalan yang hebat terus berlangsung tanpa ada penanganan serius.
Akibatnya, hampir semua fungsi sungai yang sangat strategis bagi kepentingan nasional itu rusak berat. Percemaran dan sedimentasi terjadi mulai dari hulu sungai di Situ Cisanti di kaki Gunung Wayang, Bandung selatan, dan mengalir sepanjang 269 kilometer hingga muara sungai di Pantai Muara Merdeka, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jabar.
Sebelum mengalir ke Laut Jawa, sungai terbesar dan terpanjang di Jabar ini digunakan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Waduk Saguling (kapasitas 700-1.400 megawatt), WadukWaduk Cirata (1.008 MW), dan Waduk Jatiluhur (187 MW). Ketiga PLTA itu memasok listrik untuk jaringan interkoneksi Pulau Jawa-Bali yang dihuni hampir separuh dari penduduk negeri ini.
Air Citarum yang tercemar juga digunakan untuk perikanan dan irigasi di 420.000 hektar lahan pertanian di Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Cianjur, Purwakarta, serta lumbung padi nasional di Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu.
Tingkat kerusakan
Ekspedisi Sungai Citarum 2011 yang dilakukan Kompas dengan menyusuri sungai dari Situ Cisanti hingga Muara Gembong, pekan lalu, mencatat, perusakan sungai berlangsung sejak puluhan tahun lalu dan dibiarkan begitu saja melintasi alur sungai. Secara kasatmata, hanya 700 meter dari Situ Cisanti, air Citarum dijadikan tempat pembuangan limbah kotoran sapi.
Padahal, air yang keluar dari tujuh mata air di hulu itu sangat bening. Setelah itu, aliran sungai ini melewati perkampungan padat Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, yang sebagian besar penduduknya merupakan petani sayur dan peternak sapi perah. ”Semua peternak sapi perah di desa ini membuang kotoran sapinya langsung ke sungai,” ujar Agus Darajat, tokoh masyarakat yang juga Ketua Kertasari Bersatu.
Hasil pemantauan kualitas air Perum Jasa Tirta II menyebutkan, air dari Outlet Cisanti sudah mengandung HS (hidrogen sulfida) dan chemical oxygen demand (COD) melebihi ambang baku mutu.
Alih fungsi lahan
Tokoh masyarakat hulu Citarum, Dede Jauhari, menilai kerusakan itu akibat alih fungsi lahan dari seharusnya kawasan hutan konservasi daerah penangkap air menjadi daerah pertanian semusim. Hampir semua pertanian sayur (wortel, kol, kentang, dan daun bawang) di hulu Citarum menggunakan pestisida dan pupuk kimia.
Di sentra industri tekstil Kecamatan Majalaya, 20 km dari Kertasari, limbah industri berwarna pekat dengan bau menyengat serta temperatur dan keasaman tinggi langsung dibuang ke Citarum. Di Kecamatan Dayeuhkolot hingga Soreang, 40-60 km dari hulu, selain limbah industri, sampah domestik yang dibuang dari permukiman padat ke sungai juga memperparah pencemaran. Sampah dari Kota Bandung yang terbawa anak sungai pun turut menjadi bagian dari pencemaran Sungai Citarum.
Di Cekungan Bandung ini, sejumlah anak sungai bermuara ke Citarum, yakni Sungai Cikijing, Citarik, Cikeruh, Cidurian, Cikapundung, Cisangkuy, Citepus, dan Cibeureum, yang dijadikan tempat pembuangan limbah dan sampah oleh semua pihak. Berdasarkan hasil evaluasi pemantauan kualitas air oleh Perum Jasa Tirta II, zat kimia Zn (seng), Fe (logam), NH-N, NO-N (nitrogen), HS, Mn (mangan), biochemical oxygen demand (BOD), COD, dan oksigen terlarut melebihi baku mutu air.
”Sampah dari rumah tangga lebih mudah terurai bila dibandingkan dengan limbah industri yang membahayakan,” ujar Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jabar Iwan Setiawan Wangsaatmadja. Pencemaran dan sedimentasi terus berlangsung ke tengah, sekitar Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur, hingga ke muara di Laut Jawa.
General Manager Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkit Saguling Erry Wibowo membenarkan, air Citarum yang masuk ke Waduk Saguling sudah tercemar bahan kimia, terutama HS. Pencemaran berlangsung sejak waduk dioperasikan pada 1985 tanpa ada upaya pengendalian. ”Kami khawatir kasus minamata terjadi di Citarum karena hingga kini belum ada pengendalilan,” ujar Erry.
Hasil penelitian Pusat Lembaga Sumber Daya Alam Lingkungan Universitas Padjadjaran Bandung, Indonesia Power, Pembangkit Jawa-Bali, dan Perum Jasa Tirta menunjukkan, air di ketiga waduk itu tak layak untuk air baku minum, budidaya perikanan, dan peternakan.
Air minum Jakarta
Dari Waduk Jatiluhur, air mengalir ke hilir melalui Bendung Curug yang membagi air ke irigasi Tarum Barat dan Tarum Timur. Tarum Barat mengalirkan air untuk bahan baku air minum 10 juta warga DKI Jakarta. Sebanyak 8.500 liter per detik air baku dikelola PT Aetra Air Jakarta dan 6.000 liter per detik air baku diolah PT Palyja.
Di kawasan Muara Gembong, air Citarum berwarna coklat muda langsung masuk ke Laut Jawa. Menurut laporan Perum Jasa Tirta II, Desember 2010, air Citarum di Muara Gembong mengandung Fe, NO-N, dan HS lebih dari baku mutu. ”Tahun 2009 pernah semua ikan mati dan mengambang di Sungai citarum,” ungkap Suryana (35), Sekretaris Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi.
Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mengaku, di balik perannya yang strategis, Citarum juga sering memicu banjir. Luas Daerah Aliran Sungai Citarum tercatat 6.614 km persegi dan dihuni 15,3 juta penduduk.
Yang mengherankan, belum ada instansi yang menangani perusakan dan pencemaran Citarum. ”Selama Citarum masih berair, walaupun tercemar hebat, itu dianggap biasa,” ujar Guru Besar Lingkungan Institut Teknologi Bandung Mubiar Purwasasmita.
(REK/CHE/ELD/MKN/HEI/DMU/GRE/JAN)
Sumber : Kompas, 25 April 2011

Jumat, 08 April 2011

Masyarakat Mahasiswa Universitas Trisakti

Masyarakat Mahasiswa Universitas Trisakti baru saja selesai menyelenggarakan Pemilihan Umum Raya Kepresidenan Mahasiswa Universitas Trisakti Periode ke-10. Dan yang dipercaya pada tahun ini adalah Sutan Nalendro (Oil'07) dan Usamah Abdul Aziz (TI'07). Sedangkan untuk Ketua Kongres MM-Usakti dipercaya kepada Hilda Mahening (Lansekap'07).

Ditengah berbagai permasalahan yang dialami kampus tercinta kita, kader-kader baru ini menawarkan berbagai konsep dan solusi untuk kemajuan dunia mahasiswa dan dunia kampus kita. Saya sebagai bagian dari MM-Usakti berharap agar kita semua dapat ikut memperhatikan kondisi kampus kita yang hari ini "Babak Belur" karna permasalahan yang menimpanya.

Konflik Yayasan vs Rektorat yang belum kunjung usai dari tahun 2001 kini memasuki babak baru, dengan keputusan Mahkamah Agung yang memenangkan pihak Yayasan, membuat stabilitas di kampus sedikit banyak menjadi terganggu, belum lagi ditambah turunnya jumlah mahasiswa baru yang masuk di kampus Univ Trisakti, membuat kita harus mengatur strategi baru agar Almamater kita tidak tenggelam ditengah kerasnya persaingan dunia pendidikan dewasa ini. Semoga fungsionaris Ormawa yang ada dapat terus menjaga independensi dan kemurnian perjuangan mahasiswa dalam melihat permasalahan ini.

Akhirnya, saya mengucapkan selamat kepada adik-adik mahasiswa yang akan bertugas meneruskan amanah Masyarakat Mahasiswa Universitas Trisakti yang dideklarasikan tahun 1999 di Kampus B Universitas Trisakti. Semoga apa yang mereka niatkan dan canangkan dapat menjawab tantangan atas berbagai permasalahan yang ada.

Salam Hormat,
Atma Winata Nawawi
Presiden Mahasiswa MM-Usakti Periode ke-8