SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Blog Pribadi Atma Winata Nawawi

Rabu, 18 Mei 2011

PANGKAS HAK UJI DPR


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) seolah-olah menjadi tempat berhimpun para pengidap megalomania. Mereka merasa diri serbahebat, tanpa cacat, dan memonopoli kebenaran. 

Meski berbagai kelakuan DPR dikritik bertubi-tubi oleh publik, mereka tidak juga berubah. Mereka bahkan kian bernafsu memperluas kekuasaan meski tidak mampu melaksanakan dengan baik dan benar. 

Salah satu yang dikritik adalah hak DPR melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). DPR memasukkan hak itu ke sejumlah undang-undang. Paling tidak ada 12 jabatan negara harus melalui uji kelayakan dan kepatutan DPR. 

Seperti tak puas dengan semua itu, kini DPR ingin menambah lagi hak melakukan uji kelayakan dan kepatutan itu. Yang dibidik adalah jabatan jaksa agung. Kewajiban mengikuti fit and proper test bagi calon jaksa agung disisipkan dalam revisi UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. 

Pasal 19 ayat (2) UU No 16 Tahun 2004 menyebutkan jaksa agung diangkat dan diberhentikan presiden. Dalam revisi UU Kejaksaan itu presiden diminta mengusulkan minimal tiga calon jaksa agung untuk diseleksi DPR. 

Kita tidak alergi dengan kewenangan DPR melakukan fit and proper test. Namun, kewenangan itu hanya untuk mengisi jabatan komisi-komisi negara karena komisi-komisi negara bukan aparat presiden dan tidak bertanggung jawab kepada presiden. 

Namun, untuk jabatan seperti Kapolri, Panglima TNI, duta besar, jaksa agung, haruskah prosesnya melalui uji kelayakan dan kepatutan DPR? Tidak. Kewenangan DPR itu dipangkas saja. Presiden harus diberi kepercayaan penuh menggunakan hak prerogatifnya untuk memilih pejabat-pejabat itu tanpa ada intervensi politik DPR. 

Alasan DPR melakukan fit and proper test agar jaksa agung lebih independen dan tidak terlalu dipengaruhi pemerintah adalah alasan yang dikarang-karang. Kita menangkap gelagat tak elok di balik niat itu. DPR ingin menyandera jaksa agung agar tidak mudah menjerat anggota dewan. 

Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan menilai ada konflik kepentingan dalam revisi UU Kejaksaan. Pasalnya, Ketua Panitia Kerja RUU Kejaksaan yang juga Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Dimyati Natakusumah pernah menjadi tersangka dan ditahan Kejaksaan Tinggi Banten. 

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan itu mantan Bupati Pandeglang. Dia menjadi tersangka kasus dugaan suap Rp1,5 miliar untuk anggota DPRD Pandeglang soal pinjaman Kabupaten Pandeglang dari Bank Jabar cabang Banten senilai Rp200 miliar. 

Kita sungguh risau jika DPR dijadikan kuda tunggangan untuk balas dendam pribadi atau kelompok. Jangan menyandera jaksa agung untuk membabat musuh-musuh politik dan menyelamatkan sohib-sohib yang korup. 

Kewenangan melakukan uji kelayakan dan kepatutan itu juga perlu dipangkas karena menjadi sumber transaksi. Contohnya, 25 anggota DPR periode 1999-2004 kini ditahan KPK terkait dengan aliran dana pada fit and proper test Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom. 

DPR harus bertanya kepada diri sendiri, masih patutkah menguji pihak lain? Bukankah justru kelayakan dan kepatutan anggota DPR yang harus diuji?


Sumber : http://www.mediaindonesia.com/read/2011/05/18/226731/70/13/Pangkas-Hak-Uji-DPR