SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Blog Pribadi Atma Winata Nawawi

Jumat, 30 Maret 2012

MENGAPA MAHASISWA MENJADI PENTING DALAM PERUBAHAN SOSIAL?

Kurun 20 tahun terakhir seluruh wacana apapun yang hadir di negeri ini untuk menuntut perubahan sosial selalu disedot masuk wilayah politik. Setiap hari di media massa, di ruang publik, di jalan kita menyaksikan aneka pluralitas budaya dari kelompok terdominasi yang selama ini bersembunyi kini bermunculan. Keterbukaan telah membuat orang berpikir jika setiap identitas perlu diakui dan untuk itu harus dirayakan. Identitas perlawanan ini dapat mudah kita temukan dalam bentuk simbol-simbol penindasan.


Akibat dari tuntutan ini maka setiap perlawanan akan masuk dalam wilayah politis dimana tuntutan itu pada akhirnya terlepas dari teks dan konteksnya. Karena apa-apa yang disedot dalam wilayah politik akan dianggap mewakili suatu kepentingan dan belum tentu kepentingan bagi pihak lainnya.

Di titik ini setiap kritik maupun argument pembelaan antar kelompok baik yang menghegemoni (kekuasaan, pemerintah, otoritas keamanan, etc.) maupun yang terhegemoni (rakyat, mahasiswa, buruh, orang miskin, etc) –keduanya akan selalu terjebak dalam paradok identitas.

Seperti beberapa bulan lalu, ketika para petani Jambi menjahit mulutnya dan bertenda di gedung DPR; mereka memprotes tanah yang diambil perusahaan kelapa sawit. Teks menjahit mulut bukanlah suatu permainan, ia melibatkan unsur keseriusan, rasa sakit, dan pengorbanan; karena bagi petani ini mungkin satu-satunya cara merepresentasikan dari tidak mampu-nya lagi rakyat bersuara, juga bentuk keprihatinan karena suara mereka tidak lagi di dengar pemerintah dan parlemen. 

Namun justru di sinilah nasib sial petani, seluruh wacana yang dibawanya dalam wilayah politik perlawanan lewat tanda-tanda penindasan (dengan hidup di tenda-tenda, aksi puasa, dan menjahit mulut) jatuh dalam konteks yang berbeda alias paradok. Nyatanya publik (lewat kaca mata media massa) melihatnya hanya sekedar sebagai aksi-aksi teaterikal, suatu aksi dimana di dalamnya terdapat unsur fiksi, tidak benar-benar nyata, drama, dan hanyalah sandiwara sebagaimana aksi-aksi puasa, jahit mulut, atau bakar diri lainnya. Setelah satu bulan di gedung DPR tanpa tanda-tanda perhatian dari parlemen dan pemerintah, akhirnya tenda-tenda itu disinggirkirkan aparat satpam dan petani bubar jalan.

Sehingga dapat difahami mengapa perlawanan terhadap otoritas hegemonik oleh kelompok-kelompok terdominasi menjadi baal (kebas), dan segera berakhir tanpa rasa. Ini karena merujuk Allen J Scott dalam The Cultural Economy of Cities (1997) pada kenyataan: bahwa dalam kurun 50 tahun ke belakang kita terjebak dalam sistem kapitalis yang membentuk agglomerasi kantung-kantung ekonomi lengkap dengan pasar dan pusat-pusat kehidupannya.

Akibatnya fatal; tidak hanya barang konsumsi yang diduitin namun ruang pun dikomodifikasi; di kota tanah menjulang tinggi, penduduk asli terlempar ke tepian karena tak mampu beli apartemen dan kembali sebagai buruh atau pengemis. Dalam kurun itu pula kita melihat hutan-hutan dibuka agar punya nilai “produktif-ekonomis” lewat kebijakan pembiayaan raksasa, menggusur petani dari local wisdom, dan adatnya. Kehilangan tanah dan hancurnya pranata desa, membuat mereka terjebak agglomerasi kota-kota. 

Mereka jadi buruh pabrik, wiraniaga, atau sedikit untuk diangkat sebagai pegawai negeri dan menjadi bagian dari sistem kekuasaan baru. Agglomerasi ini yang membuat kekuatan kritik terhadap ketidakadilan dalam ruang publik perlahan sirna, karena masing-masing orang sibuk dengan mengurus dirinya dan memperjuangkan nasib-nasib dalam struktur kota. 

Di antara mereka akan lahir kelas menengah -orang-orang yang sedikit beruntung karena pintar, rajin, atau pandai menipu. Orang-orang ini menganggap ketidakadilan yang terjadi disekitar mereka bukanlah bagian dari hegemoni, karena jika mereka bisa sukses kenapa yang lain tidak. Gejala korupsi pemikiran ini, lanjut Scott adalah ketundukan mereka dalam struktur kelas-kelas socialita dari agglomerasi kota yang memang sengaja diciptakan. Mereka merasa hidupnya sudah sejahtera karena bergaji ,mampu kredit mobil, bergabung dengan klub-klub sosial, tinggal di properti kawasan elit. Sementara orang-orang yang tidak seberuntung mereka itu karena nasibnya belum jadi orang kaya. 

Akibatnya kesadaran oposisi dari mereka melemah dan terjebak dalam dualitis oposisi. Di satu sisi mereka masuk ke wilayah perjuangan menegakkan nilai-nilai universal (hak hidup, hak usaha, hak dilindungi) namun di sisi lain mereka mengidentifikasi diri dalam semangat self-interest –nilai-nilai personal: hak makan, hak ingin senang-senang, hak bersosialita dalam kelompok-kelompoknya.

Mereka berteriak gelisah akibat kemacetan tetap justru mobil mereka penyebabnya, mereka menuntut taman kota dan perbaikan fasilitas umum, tetapi malah mereka yang meramaikan mall-mall dan menciptakan sampah teknologi. Sewaktu pemerintahnya menjerit dibebani subsidi ,tetapi pemerintahnya juga yang menghabiskan anggaran bagi pengadaan fasilitas mobil pejabat.

Di tengah paradok silang argumentasi ini, maka agglomerasi kota hanya meninggalkan satu kelas dan struktur perlawanan yang tersisa; yaitu kelas pelajar-mahasiswa. Mereka bukanlah kelas menengah tetapi juga bukan kelas bawah. Mereka adalah orang-orang yang terseleksi dari jutaan rakyat yang sial tidak mampu melanjutkan sekolah akibat kemiskinan. Di sisi lain mereka tidak terikat dengan kapitalisasi penggajian yang diciptakan struktur kota. Sehingga ketika mereka bersuara menyampaikan penderitaan rakyat, kesulitan ibu-ibu menyiasati uang belanja yg sudah sedikit, atau keluhan tukang ojeg yang bingung dengan kenaikan BBM maka kita masih dapat melihat suatu ketulusan karena mereka bergerak bukan karena alasan profit kapital.

Di sinilah, di dalam struktur negeri yang pelan-pelan berubah menjadi kota (urbanizing) dan hilangnya ikatan-ikatan kepedulian seperti halnya kehidupan desa tergantikan politik-ekonomi transaksional, maka keberadaan kelas pelajar-mahasiswa ini tinggal menjadi satu-satunya mediator sosial yang masih dapat diharapkan mendorong kepada perubahan-perubahan agar negeri ini menjadi lebih baik.

Senin, 05 Maret 2012

DUNIA BERALIH KE ENERGI TERBARUKAN


Upaya untuk beralih ke energi ramah alam terus menjadi tren dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini terungkap dalam laporan Program Lingkungan PBB berjudul Keeping track of our changing environment – From Rio to Rio+20 (1992-2012).

Investasi bahan bakar dan energi terbarukan mencetak rekor baru naik 32% dari US$160 miliar pada 2009 menjadi US$ 211 miliar pada 2010. Nilai ini meningkat lima setengah kali lipat dibanding investasi pada 2004.

Dan untuk pertama kalinya, negara berkembang melampaui negara maju dalam investasi proyek energi terbarukan ini.  
Potensi pertumbuhan energi terbarukan masih sangat besar. Saat ini sumber energi terbarukan termasuk biomassa (biomass) baru menyumbang 13% pasokan energi dunia pada 2008.

Biomassa adalah bahan-bahan yang berasal dari limbah tanaman dan hewan yang digunakan untuk sumber energi seperti daun dan kayu untuk memasak dan memanaskan ruangan. Porsi energi terbarukan ini terus meningkat menjadi 16% pada 2010.

Minyak, batu bara dan gas masih mendominasi produksi energi untuk transportasi, industri, pemanas, kelistrikan dan pembakaran lain.

Sumbangan ketiga sumber energi tersebut mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir, sehingga komposisinya mencapai 80%.

Sementara porsi energi terbarukan masih tertinggal. Biomassa masih menjadi sumber energi terbarukan utama (10%), terutama di negara berkembang yang penduduknya sebagian besar masih menggunakan limbah tanaman dan hewan untuk memasak dan pemanas.

Saat unsur biomassa dikeluarkan dari komposisi energi terbarukan, maka sumbangan energi terbarukan yang lain seperti matahari, air dan angin hanya 3-6% dari total energi dunia.

Namun seiring dengan semakin kompetitifnya harga energi terbarukan, produksi dan instalasi energi terbarukan seperti panel surya terus meningkat.

Produksi biofuel yang terus meningkat dalam dua puluh tahun terakhir juga membawa peluang sekaligus tantangan bagi lingkungan dan kondisi sosial.

Biofuel disebut-sebut sebagai pengganti ideal bahan bakar fossil. Brasil adalah negara yang telah menggunakan biofuel ini secara luas. Konsumsi biofuel di Brasil naik 20% setiap tahun dan mencapai angka 30 juta ton setara minyak pada 2009.

Namun tren penggunaan biofuel menimbulkan kekhawatiran terkait penggunaan dan peralihan lahan untuk memroduksi biofuel.

Alih guna lahan mengancam keberadaan makhluk hidup di sekitarnya dan mengancam ketersediaan air yang pada akhirnya mengancam keamanan pangan penduduk.

Indonesia bersyukur masih diberi sumber daya alam yang melimbah. Sumber energi yang belum tergali masih sangat besar.

Jumlah simpanan gas alam yang relatif lebih bersih dibanding batu bara dan minyak bumi, mampu memenuhi kebutuhan energi dalam negeri hingga puluhan tahun lamanya.

Belum lagi potensi energi panas bumi, tenaga surya dan potensi pembangkit listrik mikro bertenaga air yang belum diangkat.

Yang diperlukan adalah komitmen bersama untuk beralih ke energi hijau, energi yang ramah lingkungan dengan terlebih dahulu memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada.

Tanpanya Indonesia akan terus bergantung pada impor bahan bakar fosil dari negara lain. Pemerintah harus membangun infrastruktur untuk membantu peralihan ke energi ramah lingkungan.

Dan masyarakat pelan tapi pasti harus diberikan pencerahan atas manfaat energi terbarukan. Dengannya kita bisa mandiri dan beralih ke konsep ekonomi hijau dengan lebih cepat.