SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Blog Pribadi Atma Winata Nawawi

Selasa, 30 April 2013

PILAR PERADABAN POLITIK INDONESIA



Dinamika kehidupan kepartaian di Indonesia mulai berkembang sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah 3 November 1945, isi dari maklumat itu adalah pemerintah menyukai berdirinya partai-partai politik karena dengan cara itu segala aliran yang ada di dalam masyarakat dapat diarahkan ke jalan yang baik. Sebelum maklumat itu ada, gerakan politik di Indonesia umumnya berbasis pada organisasi-organisasi sosial yang dibentuk pada masa penjajahan Belanda dan Jepang.

Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1955 Pemilu pertama kali diadakan. Sebuah pemilu yang tercatat demokratis dan damai di tengah kuatnya ikatan primordial (etnis, suku, agama, dan asal daerah) yang membelenggu partai politik saat itu. Tidak heran jika pemilu pertama tersebut mendapat pujian Internasional. Kualitas dan suasana pemilu saat itu mungkin sama dengan Pemilu Era Reformasi terutama Pemilu 2004. Suasana demokratis, damai, dan tidak ketinggalan pujian Internasional mengguyur Indonesia. Fakta ini secara otomatis mengubur pemilu semu dan praktik politik otoriter Orde Baru yang cenderung melihat banyaknya partai sebagai sumber instabilitas politik.

Karena itu jika partai politik dan pemilu dijadikan indicator peradaban politik dalam dinamika sejarah yang bergerak linier maka praktik politik dan kehidupan demokrasi di Indonesia saat ini seharusnya sudah sangat mantap, karena tiga pemilu 1999, 2004, dan 2009 berjalan lancar, demokratis, serta partai bebas berkembang. Akan tetapi kenyataannya peradaban politik kita masih lemah. Hal ini bisa dilihat dari perilaku politik partai dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang seringkali kurang menyentuh subtansi persoalan yang dihadapi masyarakat. 

Fenomena demikian mengartikan dua pilar peradaban politik (partai dan pemilu) tersebut masih mengandung banyak kelemahan. Secara sederhana, kelemahan demikian akhirnya melahirkan politikus yang secara umum kurang berkualitas. Di luar itu, dalam Pemilu 2009 dinilai sebagai pemilu paling buruk sepanjang sejarah, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai oleh Mahkamah Konstitusi sebagai “tidak professional”. Akibat dari keteledoran KPU tersebut, puluhan juta warga masyarakat tidak bisa menggunakan hak pilihnya karena tidak dimasukkan dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2009.

KELEMAHAN PILAR PERTAMA

Pilar pertama dari peradaban politik adalah partai politik. Jika partai politik lemah, maka peradaban politik juga goyah. Sejauh ini, kehidupan partai politik sebenarnya sudah relatif bebas. Kalaupun ada aturan yang membatasi itu masih dalam batas toleransi, seperti infrastruktur partai dan electoral threshold. Sedangkan aturan lain seperti deposit dan badan usaha milik partai tidak dipaksakan untuk “diadopsi”.

Dalam situasi demikian yang masih belum sempurna, telah memberikan ruang yang luas bagi partai politik untuk melakukan ekspresi peran sehingga tugasnya sebagai salah satu pilar utama peradaban politik terpenuhi. Sayangnya peran tersebut sampai saat ini belum dijalankan secara maksimal.

Sejauh ini, secara umum partai politik belum sepenuh hati menjalankan peran dan fungsi utamanya baik ketika mereka menjadi partai berkuasa maupun ketika mengibarkan bendera sebagai partai oposisi. Kewajiban partai untuk menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, HAM, menyukseskan pemilu, dan kewajiban membuat laporan keuangan sebagai bentuk pertanggungjawaban publik, belum menjadi kesadaran internal para pelaku politik. Semua itu bersumber dari belum totalitasnya partai dalam menjalankan fungsinya terutama dalam hal kaderisasi dan rekrutmen politik, pendidikan politik bagi anggota masyarakat, perekat persatuan-kesatuan bangsa, dan mesin aspirasi rakyat. Partai oleh para aktivisnya sering dilihat sebatas mesin untuk mencapai kekuasaan politik bagi pemenuhan hak-hak istimewa (priveleges) pribadi dan kelompok.

Sekurangnya ada tiga faktor yang menjadi penyebab partai belum bisa menjadi pilar utama terbentuknya peradaban politik di Indonesia. Pertama adalah kuatnya budaya paternalistik di tubuh partai. Dalam konteks ini, ketua umum partai menjadi inti dari medan magnet kekuasaan. Tingginya sentralisme kekuasaan bukan saja menghambat kedewasaan partai dan kelenturan dalam merespons dinamika persoalan bangsa, tetapi juga menyebarnya virus oligarki politik. Situasi ini menghambat mobilitas vertikal para kader terutama kader yang berkualitas dan berkarakter, tetapi bodoh dalam mengambil hati ketua umum dan elit lingkaran dalamnya.

Antusiasme masyarakat mendirikan partai politik di satu sisi, dan keengganan untuk berkoalisi di sisi lain, menjadi cermin bening bahwa ego para elit Indonesia sejatinya sangat besar. Meskipun pendirian partai-partai baru juga mereflesikan kompleksitas kepentingan dan aspirasi yang belum tertampung oleh partai-partai yang sudah eksis, tetapi fenomena ini menegaskan kentalnya ego para elit pendiri partai. Kebanyakan dari mereka terkungkung oleh persepsi diri sebagai sosok yang paling mampu mengatasi persoalan bangsa. Persepsi diri yang demikian inilah yang kalau mendapatkan posisi politik, akan berubah menjadi pusat medan magnet yang mengukuhkan budaya paternalistik dan oligarki. Situasi demikian akan menjadi semakin buruk apabila sentiment primordial dan politik aliran mewarnai relasi dan promosi di lingkaran dalam ketua umum.

Faktor kedua yang menyebabkan partai belum mampu menjadi pilar utama terbentuknya peradaban politik adalah kelemahan peraturan perundang-undangan yang ada. Sejauh ini undang-undang yang ada belum mengatur sanksi bagi partai politik yang tidak lolos Electoral Thresold. Berapapun besarnya perubahan presentase yang disepakati di masa depan, hendaknya diikuti sanksi bagi partai politik yang tidak lolos untuk tidak boleh mengikuti pemilu berikutnya.

Peran ini menjadi semakin sulit dilakukan jika factor terakhir, yaitu masyarakat ikut diperhitungkan dalam kalkulasi pelembagaan peradaban politik. Partai sulit menjadi peyangga utama terbentuknya peradaban itu jika masyarakat masih berkarakter melodramatik. Dalam politik praktis, mereka lebih berorientasi pada pilihan antitesa. Misal, jika presiden yang memerintah pendiam, mereka menginginkan presiden yang menarik dalam berbicara. Sehingga ketika pemilu tiba, mereka akan memilih tukang bicara itu. Jika presiden mereka nilai tidak tegas, pada saatnya mereka akan memilih presiden yang dicitrakan tegas.

Platform politik kandidat presiden, seberapa bagus dan realistisnya, menjadi tidak penting. Karakter masyarakat yang demikian juga mudah terperosok dalam pesimisme dan pragmatism. Jika pemerintah gagal meningkatkan kesejahteraan maka lautan luas masyarakat akan pesimis. Akhirnya mereka akan menjadi pragmatis ketika pemilu tiba, pilihan akan diberikan pada siapapun yang memberikan insentif lebih besar, utamanya insentif itu dalam bentuk uang.

KELEMAHAN PILAR KEDUA

Pilar kedua yang menentukan kematangan peradaban politik adalah pemilu. Hal ini disebabkan pemilu dalam dirinya mengandung lima perangkat teknis, yaitu pencalonan kontestan, cara pemberian suara, pembagian daerah pemilihan cara penghitungan suara, dan waktu penyelenggaraan pemilu. Sehingga implementasi dari kelima pilar teknis tersebut berpengaruh pada kualitas hasil pemilu. Artinya apabila salah satu dari perangkat teknis tersebut dikebiri penerapannya maka pemilu tidak akan memberikan sumbangan berarti bagi pelembagaan peradaban politik karena pelaksanaan pemilu menjadi tidak terbuka, tidak benar, tidak efektif, dan mempunyai governability yang lemah.

Sejauh ini simpul-simpul pemilu di Indonesia, dari zaman Soekarno, Soeharto, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono sarat dengan hasrat menjaga keseimbangan representasi. Ini merupakan jawaban sementara  atas kompleksitas Indonesia dilihat dari sisi geografi dan sebaran demografi. Bagi para pendukung sistem proporsional, mekanisme “satu kursi untuk satu daerah pemilihan” dinilai membunuh kompleksitas pembelahan masyarakat tersebut. Sebaliknya bagi pendukung sistem distrik penuh mengajukan argumen bahwa system yang hanya menekankan pada keseimbangan representasi membuat kualitas anggota legislatif yang terpilih menjadi kurang mumpuni karena miskin pemahaman mengenai lokalitas masalah riil di tingkat lokal.

Untuk menghadapi kritikan tersebut, para pendukung system proporsional mencoba memperbaiki diri dengan cara menyempurnakan aspek mekanis dari system pemilu. Sistem daftar tertutup yang dipakai pada pemilu 1999 diubah menjadi terbuka untuk pemilu 2004 dan 2009. Bahkan dalam pemilu 2009 terjadi lompatan besar setelah MK memutuskan memakai system suara terbanyak. System ini menjamin para pemilih tidak lagi terpaku pada urutan kandidiat yang disusun oleh partai peserta pemilu.

Upaya-upaya tesebut sejauh ini memang belum berhasil memperbaiki kelemahan pemilu sebagai pilar kedua peradaban politik. Meskipun jumlah dan kualitas pendidikan caleg meningkat tajam daripada pemilu di zaman Orde Baru, namun kualitas lembaga politik yang dihasilkan oleh pemilu belum juga dirasakan memuaskan masyarakat. Masih banyak kebijakan yang dirasakan belum berpihak pada kepentingan rakyat, semua masih terasa seperti basa-basi politik yang kencang dikumandangkan menjelang pemilu.

Kini bangsa Indonesia tengah menyongsong Pemilu 2014, tahun ini didengungkan oleh semua partai sebagai tahun politik, tahun meraih simpati, tahun membangun opini dan pencitraan, dan tahun penyiapan kader untuk ditempatkan dalam lembaga politik (Presiden & Wapres, DPR RI, DPRD I, dan DPRD II). Semangat optimistis perlu terus digelorakan bagi kemajuan bangsa, terutama kebangkitan peradaban nasional, dimana kebangkitan peradaban politik menjadi salah satu bagiannya.

Semoga kita dapat menemukan hasil yang berkualitas dalam Pemilu 2014 demi menuju tercapainya kebangkitan peradaban Indonesia.

Daftar Pustaka :
Abidin Amir, Zainal. Pengantar Greg Barton. 2003. Peta Politik Islam Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES.
Puspoyo, Widjanarko. 2012. Pemilu Indonesia Dari Soekarno Hingga Yudhoyono. Jakarta : Era Intermedia
Rinakit, Sukardi dan Swantoro, FS. 2005. “Perpecahan dan Masa Depan Partai Politik Indonesia”, Jurnal Dinamika Masyarakat, Vol. IV. No.I April
Tim Kompas. 2004. Partai-partai Politik Indonesia : Ideologi dan Program 2004-2009. Jakarta : Buku Kompas.

Senin, 29 April 2013

MENELUSURI TOKOH PENEMU ILMU FALAK

Ilmu Falak tergolong ilmu yang paling tua dalam lintasan sejarah peradaban manusia. Ilmu Falak memiliki banyak istilah diantaranya adalah ilmu hisab dan ilmu rukyah. Dinamakan ilmu hisab karena dalam Ilmu Falak tidak terlepas dari perhitungan, dan dinamakan ilmu rukyah karena dalam Ilmu Falak tidak terlepas dari aktivitas pengamatan, baik itu pengamatan bintang, hilal (bulan muda) maupun matahari. Namun kata Falak itu sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti orbit atau lintasan.

Eksistensi Ilmu Falak menerjang sejarah dan peradaban dunia hingga saat ini. Dulu masyarakat Mesir Kuno mengamati pergerakan matahari dan bintang-bintang, sehingga mereka mengetahui panjang waktu satu tahun dengan hasil yang hampir sempurna. Masyarakat dulu yang terkenal dalam pengamatan benda-benda langit adalah mereka yang tinggal di daerah Mesopotamia (daerah antara sungai Eufrat dan sungai Tigris) seperti Babylonia dan Assyria. Mereka meninggalkan catatan Astronomi dari sekitar tahun 3000 SM.

Sekarang ini, karya tulis di bidang Ilmu Falak dan Astronomi serta perhitungan dan pemrograman pun juga tak kalah ketinggalan. Hal ini terbukti dari banyaknya software-software Ilmu Falak dan Ilmu Astronomi yang bertebaran di dunia maya. Sebut saja Winhisab Version 2.0 oleh Badan Hisab Rukyah Departemen Agama Republik Indonesia, Mawaqiit version 2000.09 oleh Dr. Ing. Khafid, Mooncalc Version 6.0 oleh Monzur Ahmed, Athan Version 1.5 oleh IslamicFinder.org, Accurate Times oleh Muhammad Odeh, Starrynight Pro Version 5.8.2, Lunarphase Version 2.61, dan lain sebagainya (hlm.viii).

Akan tetapi sampai sekarang ini belum pernah ada buku atau literatur yang membahas tentang siapa tokoh yang mencetuskan Ilmu Falak. Sampai saat ini para Ahli Falak dan Ahli Astronomi sering menobatkan Nabi Idris As. atau Hermes sebagai tokoh peletak batu pertama Ilmu Falak. Sayangnya hal ini belum pernah dibuktikan secara ilmiah dan menelusuri lebih jauh tentang kebenaran siapa penemu Ilmu Falak.


Dalam buku berjudul “Penemu Ilmu Falak: Pandangan Kitab Suci dan Peradaban Dunia” yang ditulis oleh Nur Hidayatullah Al-banjary ini akan mengupas secara tuntas mengenai tokoh yang pertama kali mencetuskan Ilmu Falak di dunia ini. Dengan menggunakan metode pendekatan sejarah (historical approach) serta mengaitkan antara kitab-kitab sejarah dengan peradaban bangsa kuno (mitologi Yunani, Romawi, Mesir), buku ini mencoba mengetahui siapa sejatinya sosok Nabi Idris dalam kacamata peradaban bangsa-bangsa dan agama-agama di dunia. Hal ini bertujuan mencari kebenaran terhadap informasi yang telah berkembang selama ini.

Dalam perspektif kitab suci dari agama-agama yang berkembang di dunia, terdapat perbedaan terkait dengan sosok Nabi Idris. Dalam perspektif kitab Taurat, Nabi Idris atau Enoch merupakan seorang raja kuno yang bijaksana, ia merupakan pahlawan banjir dalam kebudayaan Mesopotamia Kuno (hlm.38). Sementara dalam kitab Injil, Nabi Idris atau dalam bahasa Ibrani disebut Hanokh, ia adalah putra dari Yared yang telah berjihad dan akhirnya dimasukkan ke surga (hlm.47). Sementara dalam persepektif Al-Qur'an sebagaimana yang disebutkan dalam Tafsir Al-Baidlowi, Nabi Idris dikenal sebagai orang yang pertama kali menulis dengan pena dan orang yang mengenal ilmu bintang (nujum) dan hisab (hlm.56).

Dalam pandangan peradaban dunia juga terdapat perbedaan pandangan terkait dengan sosok Nabi Idris. Menurut pandangan Mitologi Mesir Kuno, Nabi Idris dikenal sebagai ahli kedokteran, ahli kimia, dan ahli perbintangan (hlm.90). Mitologi Yunani menyebut Nabi Idris, sebagai Dewa Pelindung bagi kaum pedagang serta sebagai Dewa pengirim berita atau pembawa pesan (hlm.99). Sementara dalam Mitologi Romawi Nabi Idris atau Hermes disebut Mercurius, yaitu Dewa Perdagangan sekaligus dipercaya sebagai Dewa Keberuntungan (hlm.106).

Dari berbagai macam sudut pandang yang telah disebutkan baik itu dari pandangan kitab suci maupun peradaban kuno, tidak ada yang menyebutkan bahwasanya Nabi Idris ialah orang yang mencetuskan pertama kali Ilmu Falak, namun ia hanyalah Ahli Falak (Astronomi). Kaitannya dengan Astrologi, Nur Hidayatullah setuju bahwa ia adalah penemu Ilmu Astrologi, bukan penemu Ilmu Falak.

Buku setebal 179 halaman ini telah mengupas secara mendetail terkait siapa tokoh yang pertama kali mencetuskan Ilmu Falak, dengan menggunakan berbagai macam literatur baik dalam berbahasa Inggris, Arab maupun Indonesia. Untuk itulah, buku ini layak digunakan sebagai bahan bacaan dan renungan bagi para Dosen Falak, Pelajar Ilmu Falak, Pecinta Ilmu Falak, dan masyarakat umum, agar paradigma sejarah yang mengatakan bahwa Nabi Idris adalah pencetus Ilmu Falak bisa diluruskan.

Kamis, 11 April 2013

BANGKITKAN GERAKAN MASSA DALAM PENYELAMATAN LINGKUNGAN

Oleh : Atma Winata Nawawi, ST

Indonesia merupakan bangsa yang berdiri diatas Negara, terdiri atas berbagai etnis dan beragam budaya. Melalui sebuah gerakan besar pada 1928, para pemuda mencoba membangun paradigma berpikir bahwa semua etnis dan budaya yang tersebar di penjuru nusantara harus bersatu menjadi sebuah bangsa, yang bertanah air satu, dan direkatkan dengan bahasa yang satu pula. Gerakan besar seperti ini pun terulang lagi dalam pernyataan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang diperkuat dengan berdirinya Negara melalui perangkatnya pada satu hari setelahnya. Tanpa birokrasi yang panjang dan wacana yang lebar, gerakan ini diamini oleh seluruh rakyat yang dulu menjadi jajahan Kolonial Belanda di Indonesia. Sehingga dalam empat tahun Kerajaan Belanda terpaksa mengakui bahwa benar telah terbentuk Negara Kesatuan yang sah yang bernama Republik Indonesia pada Konfrensi Meja Bundar di Den Haague.

Gerakan massa seperti ini selalu menjadi simbol kebangkitan suatu era peradaban bangsa Indonesia, dimana terjadi stagnasi maka disitu akan dibakar semangat gerakan besar untuk mendobrak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Masih segar diingatan kita gerakan 1998 yang mendobrak tirani orde baru, kemudian gerakan 1966 yang mendobrak tirani Orde Lama, dan gerakan massa lain yang mewarnai sejarah panjang bangsa Indonesia.

Dalam setiap momentum tersebut kaum muda yang selalu mengambil peran strategis dan signifikan dalam membangkitkan gerakan massa seperti ini. Kaum muda yang sering kita jumpai berjubah sebagai mahasiswa, dan pelajar bahkan menyebut dirinya sebagai agent of control dan agent of change dalam perjalanan bangsa ini.  Dalam banyak kesempatan, Elit Negara memandang ini serius dan tidak dapat dianggap remeh. Sehingga terkadang, suara gerakan massa kaum muda selalu dijadikan parameter dalam menentukan kebijakan. 

Kondisi ini sangat kontras bila kita melihat gerakan massa kaum muda di Negara tetangga kita, sebut saja Singapura dan Malaysia. Disana kaum muda lebih banyak pasif dan tidak menuntut terlalu banyak hal terhadap Negara. Mereka lebih Individualistis dan Apatis terhadap permasalahan yang ada disekitarnya. Perbedaan ini yang menjadikan Gerakan Massa di Indonesia menjadi ciri khas dibandingkan gerakan sejenis dinegara lain. 

Timbul pertanyaan, apakah gerakan massa ini hanya bersifat destruktif? Menghancurkan tatanan nilai yang sudah terbentuk sebelumnya? Memangkas alur gerak yang biasa terjadi? Tentu jawabannya akan sangat tergantung kemana gerakan massa ini akan dibawa. Dalam pemikiran penulis, gerakan massa adalah gerakan liar yang sulit dikendalikan, hasil baik atau malah menambah buruk adalah tergantung arah gerakan mau dibawa kemana. 

Dalam konteks permasalahan Lingkungan Hidup, gerakan massa terasa masih amat sepi, jauh dari dukungan seluruh stakeholder masyarakat Indonesia. Masyarakat akan sangat bersemangat berbicara masalah Politik, Hukum, dan kesejahteraan. Tapi terasa jauh bila sudah bicara tentang pentingnya merawat pohon, pentingnya tidak membuang sampah sembarangan, dan pentingnya tidak merokok ditempat umum. Bila dilihat konfigurasi permasalahannya, permasalahan Lingkungan selalu menjadi permasalahan yang terletak di hilir, sehingga ketika kerugian dirasakan akibat pencemaran, barulah kita bersuara, dan saat itu terjadi teriakan ini cenderung terlambat karena sudah berlalu. Inilah yang masih sering kita jumpai di Indonesia. 

Negara melalui Kementerian Lingkungan Hidup merasa perlu mendekatkan gerakan massa dengan kampanye lingkungan ini. Kesadaran akan pentingnya permasalahan Lingkungan perlu terus digalakkan melalui gerakan massa yang tidak hanya sekedar Seremonial belaka, perlu dibangkitkan semangat akan kecintaan Lingkungan melalui gerakan yang sederhana namun massif diseluruh lapisan masyarakat. Berkaca dari pola gerakan massa yang terjadi di Negara ini, maka kaum muda yang memegang peranan penting dalam mewujudkan hal ini. Kaum muda memiliki basis gerakan yang energik dan terpelajar menjadi titik awal kebangkitan masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan. Dengan mengangkat issu lingkungan menjadi permasalahan yang sederhana dan massif bagi kaum muda, maka akan memungkinkan kesadaran pentingnya merawat lingkungan bagi masyarakat Indonesia di masa depan. 

Contoh sederhana yang bisa diambil adalah, gerakan “Pesta Tanpa Sampah”. Sebuah gerakan yang sangat sederhana, dimana penyelenggara kegiatan tidak menyediakan botol/gelas minuman plastik, makanan kotak, dan benda-benda yang dapat berpotensi sebagai sampah, kemudian menghindari penggunaan kertas untuk promosi acara seperti poster, flyer, bahkan baliho. Bila gerakan seperti ini terus dibangkitkan disetiap event Seminar, Diskusi, Lokakarya, Sarasehan, dan kegiatan lainnya yang dilakukan oleh kelompok masyarakat maka sedikit demi sedikit permasalahan lingkungan akan teratasi.

Dalam konteks yang lebih besar, Pemerintah berusaha mewujudkan pembangunan kedepan Indonesia melalui sebuah rencana besar dan panjang yang dikenal sebagai Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang belum lama ini digagas oleh Menteri Koordinator Perekonomian, yang melibatkan seluruh Kementerian, Lembaga Negara Non Departemen, Pemerintah Daerah, hingga NGO dan LSM. Dengan pendekatan yang dikenal sebagai empat pilar pembangunan, yaitu Pro Jobs, Pro Poor, Pro Growth, dan Pro Environment maka kesempatan membangkitkan gerakan massa menjadi sebuah gerakan yang memiliki nilai produktivitas positif terhadap lingkungan menjadi semakin terbuka lebar.

Di tengah krisis ekonomi global yang melanda dunia pada saat ini, Indonesia diharapkan tetap mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya yang positif dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya sebagaimana yang tercantum didalam UUD 1945. Namun demikian bukan hanya pertumbuhan ekonomi semata yang menjadi tujuan pembangunan Indonesia, selain pertumbuhan yang berkualitas Indonesia juga memerlukan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan sejatinya dicapai dengan meminimalkan degradasi lingkungan dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas ekonomi. Dampak dari pembangunan ekonomi terhadap lingkungan selama ini sudah terlihat dari beberapa indikator degradasi lingkungan baik pada air, udara, lahan dan hutan, pesisir dan lautan serta keanekaragaman hayati. Dengan dicanangkannya empat pilar pembangunan Indonesia dari Pro Jobs, Pro Poor, Pro Growth,dan Pro Environment, adalah sangat penting dan relevan untuk mengetahui sejauh mana perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup dalam dimensi ruang dan waktu terkait dengan pembangunan di Indonesia.

Gerakan yang sederhana sampai skala besar diatas hanya dapat terwujud bila adanya kesinambungan pola pikir antara pengambil kebijakan, dunia usaha, dan masyarakat. Penulis mencoba mengidentifikasi terwujudnya gerakan ini apabila kita semua memenuhi 3K, yaitu :
KOMITMEN, diperlukan komitmen yang matang dan bertanggungjawab dari semua stakeholder terhadap permasalahan lingkungan. Dimana baik Pemerintah, Pelaku Usaha, maupun masyarakat luas secara sadar memihak dan mempertahankan semangat pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development). Kita menyadari bahwa hingga kini pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bertumpu pada aset Sumber Daya Alam baik yang dapat pulih maupun yang tidak dapat pulih, demikian juga jasa lingkungan masih memberikan manfaat baik langsung maupun tidak langsung pada aktivitas ekonomi. Pertanyaan mendasar selanjutnya sejauh mana Sumber Daya Alam tersebut dimanfaatkan secara lestari dan berkelanjutan sehingga tidak menimbulkan umpan balik yang negatif terhadap lingkungan. Maka dibutuhkan komitmen yang kuat dari pelaku ekonomi untuk memanfaatkan Sumber Daya Alam secara lestari dan tetap menjaga keanekaragaman hayati Indonesia.
KONSISTEN, kecenderungan pertumbuhan penduduk secara umum menambah tekanan terhadap Sumber Daya Alam dan lingkungan. Khususnya menyangkut kebutuhan akan lahan dan air yang secara langsung diturunkan dari kebutuhan pangan dan papan. Pergantian Pemerintahan baik dari pusat ke daerah, tren usaha yang berbeda di tiap periode waktu, arus modernisasi dan globalisasi membuat konsistensi dari seluruh stakeholder menjadi vital. Banyak gerakan yang dicanangkan oleh Pemerintah maupun Pelaku Usaha lainnya tidak mencapai keberhasilan karena kurangnya konsistensi. Kebijakan yang kerap berubah-ubah baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah juga dituding menjadi penyebab permasalahan lingkungan. Namun, faktor yang paling penting adalah Konsistensi dari masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan.
KEBERANIAN, dua faktor diatas tidak akan berarti banyak bila tidak diiringi dengan keberanian oleh masyarakat untuk mendobrak kebiasaan lama yang banyak merugikan lingkungan. Kecenderungan untuk mengandalkan Sumber Daya Alam secara sporadis oleh sebagian oknum masyarakat tanpa bertanggungjawab, harus bisa diatasi dengan keberanian untuk beralih kepada hal lain yang berkelanjutan. Keberanian juga diperlukan oleh aparat birokrasi baik itu ditingkat pusat maupun daerah untuk dapat mengambil kebijakan yang Pro Environment.

Ketiga (K) diatas hanya dapat terwujud dengan gerakan massa yang dilakukan secara bersama-sama, dimulai dari hal sederhana, dan dilakukan secara massif. Memang kita menyadari semua ini memerlukan waktu, tapi hari esok tidak akan terulang lagi, lebih baik kita berkeringat sekarang daripada menyesal dikemudian hari.

Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, 4 Juli 2012, menyambut hari lingkungan hidup sedunia, dan Rio +20 di Brazil. 

Rabu, 03 April 2013

BERTOBATLAH WAHAI ABRAHAM SAMAD

DR.Abraham Samad, SH, MH
Setelah sekian lama menanti, keputusan Komite Etik KPK akhirnya keluar juga. Sebuah lembaga Ad-Hoc yang dibentuk dalam kondisi khusus dengan tugas khusus dan diketuai serta beranggotakan orang-orang khusus pula. Diantara ramai-ramai berita hari ini tentang keputusan Komite Etik, ternyata terungkap ke Publik bagaimana kinerja di internal KPK, bagaimana pola dan kondisi kebatinan para pimpinan KPK, bagaimana cara Pimpinan KPK berinteraksi, bagaimana cara Pimpinan KPK mengambil keputusan, bagaimana cara Abraham Samad berkomunikasi dengan para wartawan (sesuatu yang tidak diperbolehkan di KPK), bagaimana dan bagaimana hal lainnya.

Kita semua ingat saat Panitia Seleksi Pimpinan KPK yang dibentuk oleh Kementerian Hukum dan HAM (waktu itu Menteri nya Patrialis Akbar) membuat ranking hasil calon Ketua KPK yang akan diajukan kepada Presiden. Dan Abraham Samad berkeras menolak pemeringkatan tersebut, karena yang bersangkutan tidak mendapat Ranking yang memuaskan.

Kemudian, saat fit & proper test oleh Komisi Tiga DPR RI, para anggota dewan disuguhkan orasi yang berapi-api dan tebaran madu janji dari Abraham Samad. Salah satu janjinya yang kontroversi dan masih kita ingat adalah "Bila dalam satu tahun kasus Century tidak tuntas, maka saya akan pulang kampung ke Makassar," Orasi ini mendapat tentangan namun juga dukungan dari para anggota dewan Komisi Hukum tersebut. Hingga diluar dugaan sosok Abraham Samad terpilih menjadi Ketua KPK mengalahkan jagoan para LSM dan aktivis anti korupsi Bambang Widjojanto.

Perjalanan waktu, ternyata banyak sensasi dan tebar pesona yang muncul dari sang Ketua KPK ini. Terlalu banyak bicara hal yang tidak perlu di media, terlalu banyak berargumen dan beropini di berbagai forum. Bahkan pernah salam satu sesi diskusi round table di sebuah stasiun Televisi, Abraham Samad dipermalukan oleh pengacara senior mengenai masalah subtansi hukum, itu terakhir kalinya Abraham Samad berkenan hadir di acara tersebut, berikutnya dia tidak pernah muncul lagi, entah kapok atau tersinggung.

Menjelang satu tahun menjabat sebagai Ketua KPK, banyak pihak yang menagih janji Abraham Samad tentang pulang kampung, alih-alih menghindar, sang Ketua KPK malah menyebut orang yang menagih janji adalah pelindung koruptor dan tidak ingin kasus Century tuntas.

Sekarang publik kembali harus mendengar ketidakpatutan yang dilakukan oleh Abraham Samad, sesuai dengan Keputusan Komite Etik, dia dinyatakan bersalah melalui Pengadilan Etik yang diliput langsung oleh Media Elektronik dan disaksikan jutaan pasang mata rakyat Indonesia. Terlepas dari masalah benar atau salah, dengan duduk di kursi Pengadilan Etik dan mendengar pembacaan vonis, itu sudah menjatuhkan kewibawaan sang Ketua KPK.

Banyak pendukung Abraham Samad yang mencoba membangun opini bahwa usaha kudeta Abraham Samad adalah pesanan penguasa yang tidak ingin kasus Century tuntas. Tidak puas dengan opini tersebut, juga dibangun wacana bahwa Ketua Komite Etik Anies Baswedan, PhD memiliki conflict of interest dengan Anas Urbaningrum, mengingat keduanya adalah Presidium KAHMI. Pendapat ini pun dapat dimentahkan, karena Abraham Samad juga alumni HMI dan pernah mencalonkan diri menjadi Presidium KAHMI saat Munas KAHMI di Pekanbaru, namun batal karena dia tidak hadir ke lokasi.

Opini-opini yang dibangun tersebut hanya akan memperkeruh suasana dan tidak menguntungkan bagi gerakan pemberatasan korupsi, hari ini yang perlu dilakukan adalah mendorong Abraham Samad untuk bertobat, dan meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia, tentunya sebagai bangsa yang menganut nilai-nilai ketimuran, maaf pun akan diberikan. Dengan catatan yang bersangkutan untuk merubah perangai dan kelakuannya.

Ini sedikit saran dan masukkan saya kepada ketua KPK, bertobatlah wahai Abraham Samad.


Selasa, 02 April 2013

KEWIBAAN SANG GARUDA

Burung Garuda
Hari ini media mengangkat wacana tentang sejumlah peristiwa di negeri kita yang tidak menggembirakan. Bahkan dalam sebuah diskusi di stasiun Televisi Nasional di istilahkan sebagai Hukum Rimba.

Ada lembaga pemasyarakatan yang diserbu kelompok bersenjata, Kapolsek tewas dikeroyok, dan yang terbaru rusuh Pilkada di Kota Paloppo. Kita juga membaca perkelahian antar warga di area persidangan, atau tawuran di jalanan yang menjadi berita rutin.

Berita semacam itu tentu membuat kita mengelus dada dan prihatin. Dari sisi fenomenanya, muncul kesan bahwa negara telah kehilangan wibawa, yang juga berarti pemegang kekuasaan yang seharusnya memancarkan kharisma dan aura menggetarkan seolah tidak ada lagi di Republik ini. Para pemimpin di negeri ini sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Bahkan standar yang pernah disampaikan secara gamblang, bahwa pejabat negara jangan sibuk dengan urusan masing-masing kini di modifikasi menjadi standar versi sendiri. Tapi tentu kita tidak perlu mengevaluasi itu, biar para pakar dan politisi yang berkomentar terhadap hal tersebut.

Kini dengan berbagai peristiwa yang terjadi, tidak mengherankan bila rasa galau merebak di hati. Lalu dalam kondisi semacam ini, adakah hal lain yang membesarkan harapan bahwa kita tidak sedang menuju negara gagal seperti yang tahun lalu diributkan banyak pengamat?

Republik Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang menganut paham demokrasi di muka bumi, banyak negara-negara lain yang sudah lebih dulu menerapkan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Namun, walaupun menganut demokrasi, kewibaan dan kehormatan negara menjadi hal penting bagi tegaknya pilar berbangsa dan bernegara. Coba lihat Amerika Serikat, meskipun sangat demokrasi liberal, namun apabila kewibaan negaranya terancam, maka tidak segan-segan untuk menindak tegas pelakunya. Bahkan demi menegakkan kewibaan dan kehormatan negara, mereka bisa lebih tegas dari negara Komunis.

Apa yang salah? Manusia atau Sistem?

Tentu jawaban dari pertanyaan diatas bisa bermacam-macam, tergantung dari sudut pandang mana kita memandangnya. Dulu ketika Republik ini baru berdiri, sistem berbangsa dan bernegara sedang ditata ulang dari bentuk Pemerintahan Hindia Belanda menjadi Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Kemudian justru dimasa itulah, kita menjadi negara yang disegani oleh dunia Internasional. Kita menjadi kekuatan poros baru dunia ketiga diantara perang besar dua kutub dunia. Sekarang sistem kita sudah jauh lebih stabil, namun kenapa malah anomali?

Kesimpulannya adalah kembali ke Pemimpin, dimana dan kemana arah Republik ini akan berjalan ditentukan oleh sikap dan kebijakan sang pemimpin. Apakah kita masih membutuhkan "The Smailing General" seperti Pak Harto, yang terkesan tenang, diam, namun menusuk. Atau kita cukup puas dengan "The Singer General" seperti Pak Yudhoyono, yang pidatonya tertata baik, terukur, dan terpola namun aplikasinya minim. Semoga suksesi Kepemimpinan Nasional pada 2014 bisa menemukan jawabannya.