SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Blog Pribadi Atma Winata Nawawi

Jumat, 25 Juli 2014

TOTALITAS SEBUAH PERJUANGAN

Resmi pada hari ini Jumat 25 Juli 2014 peserta Pemilihan Presiden RI Nomor urut 1 Prabowo Subianto - Hatta Rajasa bersama Koalisi Merah Putih mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan temuan pelanggaran yang berujung pada sengketa Pemilu. 

Hasil rapat pleno KPU pada tanggal 22 Juli 2014 kemarin yang telah menetapkan pasangan Joko Widodo - Jusuf Kalla sebagai Calon Presiden terpilih mendapat banyak pro dan kontra yang sempat membuat rakyat was-was akan terjadinya krisis politik dan krisis keamanan. Aparat disiagakan hampir diseluruh titik strategis ibukota, menjaga objek vital nasional guna mencegah terjadinya hal-hal yang dapat merugikan masyarakat.

Namun kekhawatiran itu  tidak terjadi, bangsa ini semakin dewasa dalam berdemokrasi. Perang opini yang dilakukan elit politik nasional tidak ikut berpengaruh di masyarakat. Mungkin saja masyarakat mayoritas sedang puasa sehingga lebih berkonsentrasi dengan urusannya masing-masing, atau memang sudah malas untuk tahu dengan konfilk elit tersebut.

Padahal dulu sebelum Pemilu diadakan, dimulai dari Pemilu Legislatif timbul opini akan terjadi kudeta, akan terjadi kerusuhan bila si A tidak dicapreskan oleh Partai tertentu, akan terjadi huru-hara bila Pemilu diwarnai kecurangan, akan terjadi penarikan uang dalam jumlah besar ke luar negeri oleh investor di Indonesia, dan seterusnya. Bahkan menjelang Pemilu Presiden beredar pesan berantai bahwa masyarakat etnis tertentu sudah stand by di sekitar bandara untuk sewaktu-waktu kabur ke Luar Negeri bila terjadi gangguan keamanan akibat Pemilu, bahwa akan ada pemberlakuan jam malam, bahwa akan terjadi penangkapan pada orang-orang golongan tertentu, dan seterusnya.

Sekali lagi, hal ini tidak terjadi. Dan diyakini bahwa hal-hal diatas tidak akan terjadi, karena Indonesia bukanlah Thailand, bukanlah Mesir, bukanlah Sudan, bukanlah Ukraina. Bangsa Indonesia telah tumbuh menjadi negara yang siap menerima perbedaan pendapat, menerima kemajemukan, memaafkan kesalahan dimasa lalu.

Inilah yang disebut Indonesia Bangkit.

Apresiasi pantas kita berikan pada Prabowo Subianto - Hatta Rajasa beserta koalisi merah putih, yang tetap berada dalam koridor konstitusi untuk memperjuangkan apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Padahal bila dilihat, dengan dukungan relawan yang sangat besar, tersebar hingga seluruh pelosok Indonesia, dengan kekuatan Partai dan Ormas besar dibelakangnya, Bapak Prabowo dengan tegas meminta semua relawan dan pendukungnya untuk tenang menjaga perdamaian dan ketenangan.

Bangsa ini melewatkan kesempatan baik untuk dipimpin oleh orang baik yang gila.

Gila? Ya Prabowo sangat gila cintanya pada Republik Indonesia, masa kecilnya di Amerika Serikat dan Eropa membuat dia bertekad, bahwa tidak boleh lagi Indonesia dipandang remeh, dipandang bangsa kelas tiga, dan tidak punya kualitas. Semangat yang memompa dirinya untuk kembali ke tanah air dan mewujudkan tekad itu.

Hal ini pernah juga dilakukan oleh Muhammad Hatta, Wakil Presiden pertama Indonesia. Bung Hatta yang sudah hidup nyaman di Belanda, bahkan pernah ditawari pekerjaan dengan gaji tinggi (sesuatu yang tidak pernah terjadi pada orang pribumi sebelumnya) lebih memilih pulang ke tanah air, dan bergabung dengan para pejuang kemerdekaan untuk mewujudkan mimpinya akan bangsa ini. Tentu banyak yang menyebut bung Hatta gila saat pertama kali kembali ke tanah air meninggalkan semua kenyamanan yang didapatnya di tanah eropa.

Gila? Ya Bung Hatta sangat gila cintanya pada tanah airnya.

Barangkali banyak tokoh lain yang memiliki kesamaan dengan pemikiran bung Hatta ataupun Prabowo. Itulah yang disebut sebagai totalitas sebuah perjuangan. Sesuatu yang untuk beberapa saat akan dihujat, dihina, dicibir, namun waktu yang akan memberikan jawaban atas perjuangan tersebut.

Pemilihan Presiden hanya bagian dari transisi kepemimpinan nasional ini, apapun hasilnya mari kita hormati bersama dengan tetap menjaga apa yang sudah susah payah dibangun oleh para orang tua kita pendiri bangsa ini. Bila memang sebuah perjuangan belum menemukan titik hentinya, maka kita patut bersyukur bahwa totalitas itu masih ada dan berdiri dalam mewujudkan Indonesia Bangkit.


Rabu, 23 Juli 2014

SIKAP NEGARAWAN SEORANG HATTA RAJASA

Ir. Hatta Rajasa maupun Partai Amanat Nasional sebagai salah satu anggota Koalisi Merah Putih yang mengusung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa tidak tampak saat pada Konfrensi Pers Prabowo di Rumah Polonia selasa 22 Juli 2014 sekitar jam 4 sore. Tidak ada satupun perwakilan PAN yang berada dibelakang Prabowo saat menyampaikan pernyataan sikapnya.

Padahal seperti yang diketahui, PAN merupakan Partai pengusung utama dengan beberapa pejabat terasnya menjabat di posisi penting Tim Kampanye Nasional yang diketuai oleh Mahfud MD dan Ketua Harian Zulkifli Hasan.

Banyak pertanyaan dan spekulasi muncul, apa sebenarnya sikap PAN terhadap hasil Pilpres ini? Apa yang mendasari kenapa Hatta Rajasa tidak muncul dalam Konfrensi Pers di rumah Polonia untuk mendampingi pasangan capresnya? Dan tentu banyak pertanyaan lain yang beredar di kalangan masyarakat, terutama di kalangan media sosial.

Saya sebagai kader dan anggota Partai Amanat Nasional akan mencoba memberikan pandangan terkait sikap PAN, meskipun ini tidak dapat dijadikan referensi resmi dari sikap Partai.

Tidak ada yang meragukan totalitas seorang Hatta Rajasa dan mesin Partai Amanat Nasional dalam pemenangan Prabowo-Hatta, siang malam-pagi sore tanpa henti kerja politik terus dilakukan. Pendekatan ke masyarakat tidak pernah dilewatkan oleh Hatta Rajasa di setiap hari-harinya. 

Saya menjadi saksi bagaimana Hatta Rajasa harus bekerja hingga sangat larut, bahkan sampai pagi, namun sebelum matahari pagi muncul beliau sudah mulai bekerja dan berangkat keluar dari rumah. Ini dilakukan bukan hanya masa kampanye, namun saat menjabat sebagai Menteri di Kabinet rutinitas seperti ini sudah jamak dilakukan.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi, tentu jawaban pastinya hanya beliau dan Tuhan yang paling tahu, namun tentu tanpa alasan kalau beliau memutuskan untuk tidak hadir di rumah Polonia saat sore tersebut, berikut beberapa kemungkinannya.

Kemungkinan pertama PAN menerima hasil rekapitulasi KPU tanpa syarat apapun, mengingat bahwa PAN lahir dari rahim Reformasi, yang mengusung Pemilihan Langsung oleh rakyat, maka akan sangat naif bila PAN ikut dalam pusaran Prabowo Subianto menarik diri dari Pilpres, meskipun ini sudah dibantah oleh Fadli Zon dan Idrus Marham.

Indikasi bahwa PAN sudah menerima hasil KPU tanpa syarat ini terlihat dari pernyataan Hanafi Rais yang merupakan Putra Sulung dari pendiri PAN yang dikirimkan ke media. Pernyataan tertulis yang dengan sengaja dikirim ke media menunjukkan bahwa ini dilakukan dengan sadar dan memiliki target tertentu.

Kemungkinan kedua, PAN sudah didekati oleh Jokowi-JK untuk bergabung dalam koalisinya. Kemungkinan ini sangat terbuka mengingat kedekatan keluarga besar Megawati dengan Hatta Rajasa, ditambah lagi sosok Hatta Rajasa yang paling minim resistensinya diantara Ketua Umum Partai pengusung Jokowi-JK. Dengan bergabungnya PAN dalam koalisi Jokowi-JK tentu akan menambah kekuatan koalisi ini di DPR nanti, ketimbang merangkul Partai yang cenderung liar dan susah dijinakkan. Dalam hal ini, PAN dianggap lebih tertib, solid, dan para anggota Fraksi nya lebih intelektual dibanding yang lain.

Kemungkinan ketiga, adanya tekanan dari SBY untuk Hatta Rajasa dan PAN menahan diri dalam menyikapi hasil Pilpres ini. Banyak publik bertanya kemana sikap SBY melabuhkan pilihan politiknya. Kenapa harus ada keputusan Partai Demokrat netral, namun semua anggotanya dipersilahkan menentukan pilihan politiknya. Sangat janggal bila ada Partai Politik namun tidak memilih sikap politik yang berpihak, Pemilu adalah ajangnya Partai Politik, apapun itu tidak mungkin bila Partai Poltik tidak berpihak.

Dapat diduga bila sebenarnya SBY ingin berdamai dengan Megawati melalui Pilpres ini, bila mengacu pada hasil resmi tentu sangat besar peluang SBY untuk memenangkan Prabowo-Hatta melalui jaringan yang dimilikinya. Terlebih lagi, menurut sebuah diskusi di Cikini yang diselenggarakan Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta bahwa data resmi yang dimiliki oleh TNI dan Polri sudah diserahkan ke Cikeas yang menang adalah Prabowo-Hatta.

Kemungkinan keempat, Hatta Rajasa sudah mencium gelagat akan terjadi krisis politik yang panjang bila ikut dalam penolakan hasil Pilpres. Tekanan politik yang sangat kencang di Tim Pemenangan Prabowo-Hatta yang cenderung memprovokasi suasana kebatinan Prabowo untuk menolak keras, membuat Hatta menarik diri sementara, agar Prabowo menyadari ada provokasi yang dapat memperburuk keadaan. 

Banyaknya Purnawirawan TNI yang bermain di dua kubu Capres membuat perang bintang tidak terelakkan, masing-masing tidak lagi berpikir untuk mengusung ideologi atau gagasan besar, namun sudah masuk ke ranah pertarungan harga diri. Bila keadaan terus berlanjut dan bertambah buruk, maka kemungkinan terburuk berupa krisis politik yang menjurus krisis keamanan nasional sangat mungkin terjadi.

Indikasi bisa terlihat dari pencopotan KASAD Jend.(TNI).Budiman disaat kondisi TNI siaga satu, sebuah kondisi yang tidak lazim di institusi ini, padahal Jend.(TNI).Budiman sudah memasuki masa pensiun pada akhir tahun ini.

Semua kemungkinan diatas mungkin bisa salah, namun bila kemungkinan keempat adalah faktanya, maka kita patut apresiasi sikap negarawan Hatta Rajasa dalam memandang masalah ini. Sepanjang saya mengenal beliau, pemikiran beliau selalu beberapa langkah didepan, beliau sangat menjaga kondusifitas negara ini, bahkan seorang Hatta Rajasa adalah yang paling konsisten untuk meletakkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan Partai atau golongan.

Minggu, 29 Juni 2014

KEMUDAHAN BAGI ORANG BERPUASA DALAM DOA

Rasulullah Muhammad saw menyebutkan  bahwa orang yang berpuasa itu doanya mudah terkabul; namun bukan itu saja kesempatan terkabulnya doa. Secara menyeluruh Allah SwT menyebutkan antara lain dalam firmanNya:
 
DAN TUHANMU BERFIRMAN: "BERDOALAH KEPADAKU, NISCAYA AKAN KUPERKENANKAN BAGIMU..” (Surah al-Mu'min [40] ayat 60)
 
.. AKU MENGABULKAN PERMOHONAN ORANG YANG MENDOA APABILA IA BERDOA KEPADAKU, MAKA HENDAKLAH MEREKA ITU MEMENUHI (SEGALA PERINTAH) KU ..(Surah al-Baqarah [2] ayat 186)
 
Namun demikian yang perlu kita perhatikan adalah bahwa untuk terkabulnya suatu doa itu Allah adalah penentu akhir. Allah mungkin saja langsung mengabulkan permintaan hambaNya dalam doanya, menunda pengabulannya, atau “tidak memenuhi” doanya tetapi mengganti pemenuhan doa itu dengan menyelamatkannya dari balak atau malapetaka. Salah satu riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah menyebutkan: 
 
“Tidak seorang muslim pun yang berdoa kepada Allah azza wa jalla, sedangkan doanya itu tidak mengandung dosa ataupun kehendak memutuskan silaturakhim, kecuali akan diberi salah satu dari tiga hal:(1) dikabulkan segera, (2) ditangguhkan menjadi simpanan di akhirat kelak, (3) menghindarkan orang itu dari bahaya akibat apa yang diminta itu..” (HR Ahmad).
  
Jika kita merasa sudah banyak berdoa tetapi berasa doa belum terkabulkan, mungkin saja karena kita kurang mendekatkan diri kepada Allah. Sulit juga terkabulnya doa jika doa itu belebihan, tidak wajar, misalnya berdoa memohon untuk dijadikan presiden NKRI tahun depan. Apalagi jika doanya tidak disertai dengan kesungguhan hati, ataupun masih ragu akan terkabulkannya doanya. Bahkan jika kita “bosan”, tidak mau lagi berdoa, maka Allah tidak lagi menanggapi doa kita. Lebih jauh harus kita fahami bahwa jika Allah menyayangi hambaNya, maka Dia akan banyak memberi coba “berat” kepada hambaNya itu, agar dia menjadi banyak berdoa dan menjadi lebih mendekatkan diri lagi kepadaNya.
 
Lebih sulit lagi terkabulnya doa jika orang kurang bersyukur atas nikmat Allah, ataupun juga menyibukkan diri mencari-cari dosa dan aib orang untuk bahan ghibah, justru lupa akan menelisik kesalahan dirinya sendiri untuk berbenah diri.  
 
Jika kita selama ini merasa doa kita banyak yang “tidak” terkabul, marilah kita lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai macam cara sesuai dengan peluang yang ada, termasuk mencari washilah (andalan). Untuk ini mestinya kita tidak lupa kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua yang pintunya tertutup oleh batu; ternyata andalan yang terkuat dalam berdoa untuk penyelamatkan diri itu adalah amalan yang lalu yang terkait dengan perbuatan sosial, yang untuk kebaikan orang lain. 
 
Mudah-mudahan upaya-upaya kita lebih jauh akan memudahkan terkabulnya doa kita untuk segera tercapainya masyarakat negara yang adil, makmur, dalam ampunan Allah.
 
Wa ‘l-Lahu a'lamu bi ‘sh-shawwab.

Rabu, 09 April 2014

PARTISIPASI DEMI BANGSA

Pemilihan Umum 9 April 2014 telah berlangsung, hiruk pikuk dari proses politik dimulai dari Verifikasi Partai Politik untuk menjadi peserta Pemilu, dilanjutkan dengan penjaringan Calon Anggota Legislatif, hingga Kampanye tertutup dan terbuka yang dilakukan semua Partai Politik yang lolos telah dilakukan. 

Dan kini rakyat Indonesia saatnya menghujam Paku dalam Kotak Suara di TPS untuk memberi kepercayaan ataupun memberi hukuman kepada Partai Politik yang akan berpengaruh terhadap kehidupan rakyat itu sendiri. Banyak harapan yang muncul dalam Pemilu 2014 ini, jutaan suara yang mempunyai hak memilih memiliki harapan dan keinginan besar agar terjadi perubahan bagi bangsa dan negara ini. 

Lima belas tahun gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa dan rakyat Indonesia telah berlalu, sudah empat kali Pemilu dilalui, tentu harus ada peningkatan secara kualitas politik rakyat Indonesia terhadap Pemerintahan yang bersih dan berkualitas.

Namun partisipasi rakyat dalam pemilihan umum ini tidak hanya cukup sampai pencoblosan di TPS, setelah ini partisipasi rakyat mutlak diperlukan dalam pengawasan perhitungan hingga penetapan kursi anggota legislatif, baik dari tingkat DPR-RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten, hingga DPD.

Mari kita sebagai rakyat terus berpartisipasi dalam pesta demokrasi ini demi bangsa dan negara yang lebih baik.

Minggu, 12 Januari 2014

EKSPERIMEN DEMOKRASI



Selama politik masih diwarnai siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana, selama itu pula politik akan berubah menjadi pertengkaran dan konflik politik. Dan pasti akan muncul konflik kepentingan dan ambisi dalam ranah merebut kekuasaan. Tetapi jika politik lebih dimaknai untuk berbagi kepada sesama dan memberikan yang terbaik bagi bangsa dan Negara, atau berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat serta memperkuat kedaulatan rakyat maka wajah politik pasti berbeda. Dengan kata lain, sesungguhnya berpolitik adalah bernegara, dan bernegara adalah berkonstitusi. Melalui kontrak sosial berupa konstitusi itulah, setiap Partai Politik apapun dan golongan manapun, harus tunduk, patuh, dan menjalankan konstitusi Negara secara konsekuen dengan penuh komitmen.

Pada tahun 1926, bung Karno muncul sebagai cendikiawan muda yang brilian dan visioner. Hasil pengamatannya yang tajam tentang masyarakat Indonesia pada waktu itu melahirkan serangkaian tulisan cemerlang, mengandung buah pemikiran yang otentik dan orisinal. Salah satu karya Bung Karno muda adalah tentang tiga aliran politik dalam masyarakat Indonesia, yakni Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Pemetaan ini dilakukan sebelum Indonesia merdeka.

Tiga aliran politik itu berpengaruh luas terhadap masyarakat dan merupakan kekuatan nyata yang diperhitungkan dalam kurun waktu 1945-1965. Dalam batas tertentu pemikiran Bung Karno ini masih terdengar hingga sekarang, meski secara subtantif ketiga aliran tersebut saling bertentangan, namun Bung Karno melihatnya sebagai kenyataan dalam perpolitikan di Indonesia. Lebih dari itu, ia melihatnya bahwa masing-masing aliran mempunyai nilai positif bagi masyarakat Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa dengan pertentangan ketiga aliran tersebut sebenarnya Bung Karno bisa menerima konflik sebagai hal yang wajar dalam kehidupan politik Indonesia pascakemerdekaan 1945.

Selama hampir enam belas tahun Pasca Reformasi, bangsa ini hampir tidak pernah berbuat hal-hal besar sebagai capaian prestasi membanggakan bagi Negara dan bangsa. Hal ini akibat banyaknya intrik dan pertengkaran politik. Belasan tahun waktu dihabiskan hanya untuk urusan pertengkaran politik yang tak kunjung membawa kesejahteraan bagi rakyat. Perlu digarisbawahi bagaimana membuat rakyat sejahtera dan kedaulatan rakyat tidak tergadaikan oleh Partai Politik, melainkan dapat dilaksanakan oleh setiap warga Negara tanpa ada tekanan dari Partai ataupun elit politik.

Saat ini, pertengkaran politik telah berlangsung di negeri yang telah lebih 68 tahun merdeka, sepanjang itu para elit politik hanya sibuk bertengkar, saling intrik, dan fitnah. Itu sebabnya sejarah politik Indonesia pada dasarnya adalah sejarah konflik. Salah satu ciri menarik dari sejarah politik Indonesia pasca kemerdekaan adalah pergulatannya dengan konflik. Dalam pergulatan konflik itu rakyat belajar memahami dirinya, terkadang harus dibayar dengan harga yang mahal. Namun dari konflik itu, sekaligus memberi petunjuk tentang ciri budaya politik, struktur politik, dan sistem politik Indonesia sampai sekarang.

Tahun 2014 adalah tahun Politik, dimana Indonesia beranjak dengan sistem politik demokrasi yang dituangkan dalam Pemilihan Umum. Semua elemen politik dan elemen non-politik mencermati apa yang akan terjadi kedepan. Tentu harapan ini mengarah pada terpilihnya kelompok politik dan orang-perseorangan yang akan menentukan arah kebijakan bangsa ini.

Kembali rakyat dijadikan eksperimen demokrasi, saat keberhasilan dicapai maka dielu-elukanlah pilihan rakyat tersebut, namun saat kegagalan menghantui maka rakyat pula yang akan dijadikan kambing hitam dari eksperimen tersebut. Dengan jumlah 250 juta, eksperimen demokrasi ini akan berharga sangat mahal dalam usahanya untuk mewujudkan cita-cita besar bangsa, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan turut serta dalam perdamaian dunia.

Tentu eksperimen demokrasi ini tidak dapat dilakukan seperti orang berjudi, dimana perasaan (feeling) lebih kuat dibandingkan naluri (insting) dan logika (thinking). Terlalu besar taruhan yang dihadapkan pada kehidupan rakyat apabila hanya mendukung karena kesukaan dan ketertarikan dari tampilan luar dan pencitraan. Perlu pencerdasan dan pencerahan yang lebih dalam menentukan pilihan dalam eksperimen ini.

Rangkaian nama-nama calon pemimpin yang selama ini beredar tentunya masuk dalam radar pilihan rakyat yang akan menjadi “Tuhan” dalam demokrasi ini, hanya saja apakah setelah itu rakyat akan kembali dalam posisinya sebagai kambing hitam demokrasi ataukah menjadi tuan tanah yang berdaulat atas hak-haknya yang dilindungi oleh konstitusi.

Rekam jejak tiap-tiap calon pemimpin ini sekarang sudah mudah untuk diakses oleh rakyat, media massa maupun media sosial sudah berada sangat dekat, setidaknya bagi masyarakat terpelajar dapat dengan mudah mengkritisi rekam jejak tersebut. Namun apakah masyarakat pedesaan dan pedalaman juga memiliki akses yang sama? Kelompok ini lebih banyak tergantung pada Tokoh setempat, alim ulama, pemuka agama, kepala suku, yang memberi pengarahan kemana pilihan akan berlabuh.

Karena itu penting bagi semua kelompok sosial untuk memberikan edukasi yang luas kepada semua rakyat tentang rekam jejak tersebut. Akhirnya penulis berharap matahari di 2014 ini dapat bersinar dengan cerah dan membawa kapal besar yang bernama Indonesia ini berlayar kearah kemajuan dan kesejahteraan.

Minggu, 05 Januari 2014

MENGULAS KARYA SASTRA TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJK

Awal tahun 2014 ini (dimulai dari akhir tahun 2013), para penggemar film di Indonesia dimanjakan dengan karya-karya Film Nasional yang fenomenal. Ada yang mengundang decak kagum, ada pula yang mengundang kontroversi. Bagi beberapa orang, kemunculan film-film oleh sutradara terbaik dari dalam negeri tentu memunculkan rasa optimisme, di tengah derasnya banjir film asing yang masuk ke Indonesia.

Beberapa diantara nya adalah 99 Cahaya Langit Eropa, Soekarno, Slank-Gak Ada Matinya, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Tiga dari empat judul diatas diangkat dari kisah dalam Novel atau Otobografi tertentu, hanya film Slank-Gak Ada Matinya yang tidak melalui Novel.

Tren mengangkat kisah Novel menjadi film sebenarnya sudah lama dilakukan oleh para pelaku industri film, rata-rata kesuksesan sebuah Novel akan menginspirasi untuk diangkat ke layar lebar. Hal ini terjadi tidak hanya di Indonesia, namun hampir diseluruh dunia. Sebut saja film Harry Potter, Detective Holmes, dan banyak yang lainnya. Pemikiran sederhananya, bahwa Novel sudah memiliki alur cerita, sudah memiliki karakter tokoh dan tentu saja sudah memiliki pangsa pasar tertentu, sehingga tidak terlalu menguras energi untuk promosi. Toh, namanya sudah dikenal dulu oleh masyarakat sebelum diangkat ke layar lebar.

Karya Abdul Karim Amarullah atau yang biasa dikenal Buya Hamka yang terkenal, salah satunya telah diangkat ke layar lebar. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, merupakan Novel yang terkenal di era awal kesusasteraan Indonesia, bahkan sebelum Indonesia merdeka hikayat ini telah diangkat dari cerita bersambung di majalah Pedoman Masjarakat yang dipimpin langsung oleh Buya Hamka.

Kisah dalam hikayat ini kemudian diangkat dalam Novel setelah Indonesia merdeka, dan hingga kini terus dicetak ulang. Banyak pengamat menilai bahwa novel ini merupakan karya sastra terbaik buya Hamka. Bahkan di saat penulis blog ini menginjakkan kaki di SMP, novel ini menjadi salah satu materi pelajaran sekolah yang diulas bahkan sampai muncul di Ujian Sekolah. 


Pengangkatan kisah dalam Novel ini dalam karya Sastra tentu sangat di apresiasi, mengingatkan kembali akan karya kesusasteraan klasik Indonesia yang perlahan mulai terlupakan. Apalagi, ditambah dengan setting suasana Indonesia zaman penjajahan Belanda, yang membuat penonton semakin dimanjakan dengan kekayaan budaya bangsa dari berbagai daerah. Namun yang ditonjolkan disini adalah kebuadayaan Minangkabau, tempat asal Buya Hamka.

Dalam Film ini, digambarkan tentang pertentangan seorang Zainuddin yang berasal dari Makassar namun memiliki darah Minangkabau dari ayahnya. Meskipun berdarah minang, namun dikampung asal ayahnya, Zainuddin tidak terlalu diterima dengan alasan ibunya bukan orang Minang. Dengan dalih tersebut ia harus ikhlas diusir dari kampung ayahnya karena berusaha mendekati Hayati seorang gadis yatim yang tinggal bersama kepala adat Nagari Batipuh yang merupakan pamannya sang gadis. Karena kekuasaan sang Kepala Adat atau datuk, Zainuddin harus pergi meninggalkan Batipuh ke Padang Panjang.

Polemik kepergian Zainuddin tidak berhenti disitu, sang gadis yang sudah terlanjur jatuh cinta akhirnya mengucapkan sumpah bahwa ia akan menunggu Zainuddin kembali menjemputnya, sumpah yang berat ini membuat Zainuddin merasa memiliki semangat hidup kembali dan pergi meninggalkan Batipuh dengan tekad kuat untuk kembali menjemput Hayati.

Klimaks dalam film ini terjadi saat sang gadis lebih memilih menurut dengan desakan ninik-mamak nya untuk menerima lamaran pria lain yang dianggap lebih jelas asal-usulnya, lebih berada, dan berdarah minangkabau tulen. Dibandingkan lamaran Zainuddin yang lahir di Makassar, dan bukan berdarah minangkabau tulen.

Setelah nyaris gila, Zainuddin bangkit dan hijrah ke Batavia untuk merubah nasib, disini dia mulai menjadi penulis hikayat yang dimasukkan di Surat Kabar, saat itu cerita bersambung dalam surat kabar yang dia buat laris dibaca oleh banyak orang, yang kemudian diangkat menjadi Novel dengan judul "Teroesir". Kisah dalam hikayat ini mengadopsi kisah nyata yang dialami oleh penulisnya sendiri yang kini menggunakan nama Zabir.

Menjadi sukses dan kemudian pindah ke Surabaya tidak membuat Zainuddin lupa pada Hayati, dia tetap mengingat Hayati walau dia tahu tidak mungkin lagi memilikinya. Kepedihan yang dialaminya justru menjadi inspirasi bagi Zainuddin untuk terus menulis hikayat dan mengembangkan surat kabar.

Akhirnya setelah perjalanan panjang, Hayati bertemu lagi dengan Zainuddin di Surabaya. Setelah kematian suaminya, Hayati berharap cinta Zainuddin kembali, namun ternyata tekad Zainuddin sudah bulat untuk memulangkan Hayati kembali ke Batipuh dengan Kapal Van Der Wijk yang berangkat dari Surabaya hingga Pelabuhan Teluk Bayur Padang. Tangis dan penyesalan Hayati tidak lagi dapat menggoyahkan hati Zainuddin. Hayati akhirnya tenggelam bersama kapal Van Der Wijk dalam penyesalannya memikirkan Zainuddin yang menolak cintanya.

Kisah diatas sangatlah mengundang keharuan bagi orang yang menyaksikannya, drama kesedihan yang dibalut dengan aksi heroik pemainnya membuat suasana emosi penonton dibuat naik turun, terkadang penonton dibuat geram, terkadang dibuat kagum, terkadang dibuat sedih, bahkan hingga meneteskan air mata.

Satu pesan yang dapat diambil dari kisah diatas, bahwa janganlah cepat mengucapkan sumpah seperti yang dilakukan oleh Hayati kepada Zainuddin, terkadang sumpah tersebut bisa menjerat kita hingga akhir hayat. 

Dibalik ini semua kita patut mengancungkan jempol pada Soraya Pictures yang telah berhasil mengangkat sebuah karya sastra Legenda ini menjadi sebuah film yang fenomenal dan saya yakin akan menjadi Legenda Film yang tidak akan pernah bosan ditonton sepanjang masa. Semoga dunia industri film Indonesia dapat terus bergelora menghasilkan karya-karya terbaiknya.