SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Blog Pribadi Atma Winata Nawawi

Jumat, 25 Juli 2014

TOTALITAS SEBUAH PERJUANGAN

Resmi pada hari ini Jumat 25 Juli 2014 peserta Pemilihan Presiden RI Nomor urut 1 Prabowo Subianto - Hatta Rajasa bersama Koalisi Merah Putih mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan temuan pelanggaran yang berujung pada sengketa Pemilu. 

Hasil rapat pleno KPU pada tanggal 22 Juli 2014 kemarin yang telah menetapkan pasangan Joko Widodo - Jusuf Kalla sebagai Calon Presiden terpilih mendapat banyak pro dan kontra yang sempat membuat rakyat was-was akan terjadinya krisis politik dan krisis keamanan. Aparat disiagakan hampir diseluruh titik strategis ibukota, menjaga objek vital nasional guna mencegah terjadinya hal-hal yang dapat merugikan masyarakat.

Namun kekhawatiran itu  tidak terjadi, bangsa ini semakin dewasa dalam berdemokrasi. Perang opini yang dilakukan elit politik nasional tidak ikut berpengaruh di masyarakat. Mungkin saja masyarakat mayoritas sedang puasa sehingga lebih berkonsentrasi dengan urusannya masing-masing, atau memang sudah malas untuk tahu dengan konfilk elit tersebut.

Padahal dulu sebelum Pemilu diadakan, dimulai dari Pemilu Legislatif timbul opini akan terjadi kudeta, akan terjadi kerusuhan bila si A tidak dicapreskan oleh Partai tertentu, akan terjadi huru-hara bila Pemilu diwarnai kecurangan, akan terjadi penarikan uang dalam jumlah besar ke luar negeri oleh investor di Indonesia, dan seterusnya. Bahkan menjelang Pemilu Presiden beredar pesan berantai bahwa masyarakat etnis tertentu sudah stand by di sekitar bandara untuk sewaktu-waktu kabur ke Luar Negeri bila terjadi gangguan keamanan akibat Pemilu, bahwa akan ada pemberlakuan jam malam, bahwa akan terjadi penangkapan pada orang-orang golongan tertentu, dan seterusnya.

Sekali lagi, hal ini tidak terjadi. Dan diyakini bahwa hal-hal diatas tidak akan terjadi, karena Indonesia bukanlah Thailand, bukanlah Mesir, bukanlah Sudan, bukanlah Ukraina. Bangsa Indonesia telah tumbuh menjadi negara yang siap menerima perbedaan pendapat, menerima kemajemukan, memaafkan kesalahan dimasa lalu.

Inilah yang disebut Indonesia Bangkit.

Apresiasi pantas kita berikan pada Prabowo Subianto - Hatta Rajasa beserta koalisi merah putih, yang tetap berada dalam koridor konstitusi untuk memperjuangkan apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Padahal bila dilihat, dengan dukungan relawan yang sangat besar, tersebar hingga seluruh pelosok Indonesia, dengan kekuatan Partai dan Ormas besar dibelakangnya, Bapak Prabowo dengan tegas meminta semua relawan dan pendukungnya untuk tenang menjaga perdamaian dan ketenangan.

Bangsa ini melewatkan kesempatan baik untuk dipimpin oleh orang baik yang gila.

Gila? Ya Prabowo sangat gila cintanya pada Republik Indonesia, masa kecilnya di Amerika Serikat dan Eropa membuat dia bertekad, bahwa tidak boleh lagi Indonesia dipandang remeh, dipandang bangsa kelas tiga, dan tidak punya kualitas. Semangat yang memompa dirinya untuk kembali ke tanah air dan mewujudkan tekad itu.

Hal ini pernah juga dilakukan oleh Muhammad Hatta, Wakil Presiden pertama Indonesia. Bung Hatta yang sudah hidup nyaman di Belanda, bahkan pernah ditawari pekerjaan dengan gaji tinggi (sesuatu yang tidak pernah terjadi pada orang pribumi sebelumnya) lebih memilih pulang ke tanah air, dan bergabung dengan para pejuang kemerdekaan untuk mewujudkan mimpinya akan bangsa ini. Tentu banyak yang menyebut bung Hatta gila saat pertama kali kembali ke tanah air meninggalkan semua kenyamanan yang didapatnya di tanah eropa.

Gila? Ya Bung Hatta sangat gila cintanya pada tanah airnya.

Barangkali banyak tokoh lain yang memiliki kesamaan dengan pemikiran bung Hatta ataupun Prabowo. Itulah yang disebut sebagai totalitas sebuah perjuangan. Sesuatu yang untuk beberapa saat akan dihujat, dihina, dicibir, namun waktu yang akan memberikan jawaban atas perjuangan tersebut.

Pemilihan Presiden hanya bagian dari transisi kepemimpinan nasional ini, apapun hasilnya mari kita hormati bersama dengan tetap menjaga apa yang sudah susah payah dibangun oleh para orang tua kita pendiri bangsa ini. Bila memang sebuah perjuangan belum menemukan titik hentinya, maka kita patut bersyukur bahwa totalitas itu masih ada dan berdiri dalam mewujudkan Indonesia Bangkit.


Rabu, 23 Juli 2014

SIKAP NEGARAWAN SEORANG HATTA RAJASA

Ir. Hatta Rajasa maupun Partai Amanat Nasional sebagai salah satu anggota Koalisi Merah Putih yang mengusung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa tidak tampak saat pada Konfrensi Pers Prabowo di Rumah Polonia selasa 22 Juli 2014 sekitar jam 4 sore. Tidak ada satupun perwakilan PAN yang berada dibelakang Prabowo saat menyampaikan pernyataan sikapnya.

Padahal seperti yang diketahui, PAN merupakan Partai pengusung utama dengan beberapa pejabat terasnya menjabat di posisi penting Tim Kampanye Nasional yang diketuai oleh Mahfud MD dan Ketua Harian Zulkifli Hasan.

Banyak pertanyaan dan spekulasi muncul, apa sebenarnya sikap PAN terhadap hasil Pilpres ini? Apa yang mendasari kenapa Hatta Rajasa tidak muncul dalam Konfrensi Pers di rumah Polonia untuk mendampingi pasangan capresnya? Dan tentu banyak pertanyaan lain yang beredar di kalangan masyarakat, terutama di kalangan media sosial.

Saya sebagai kader dan anggota Partai Amanat Nasional akan mencoba memberikan pandangan terkait sikap PAN, meskipun ini tidak dapat dijadikan referensi resmi dari sikap Partai.

Tidak ada yang meragukan totalitas seorang Hatta Rajasa dan mesin Partai Amanat Nasional dalam pemenangan Prabowo-Hatta, siang malam-pagi sore tanpa henti kerja politik terus dilakukan. Pendekatan ke masyarakat tidak pernah dilewatkan oleh Hatta Rajasa di setiap hari-harinya. 

Saya menjadi saksi bagaimana Hatta Rajasa harus bekerja hingga sangat larut, bahkan sampai pagi, namun sebelum matahari pagi muncul beliau sudah mulai bekerja dan berangkat keluar dari rumah. Ini dilakukan bukan hanya masa kampanye, namun saat menjabat sebagai Menteri di Kabinet rutinitas seperti ini sudah jamak dilakukan.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi, tentu jawaban pastinya hanya beliau dan Tuhan yang paling tahu, namun tentu tanpa alasan kalau beliau memutuskan untuk tidak hadir di rumah Polonia saat sore tersebut, berikut beberapa kemungkinannya.

Kemungkinan pertama PAN menerima hasil rekapitulasi KPU tanpa syarat apapun, mengingat bahwa PAN lahir dari rahim Reformasi, yang mengusung Pemilihan Langsung oleh rakyat, maka akan sangat naif bila PAN ikut dalam pusaran Prabowo Subianto menarik diri dari Pilpres, meskipun ini sudah dibantah oleh Fadli Zon dan Idrus Marham.

Indikasi bahwa PAN sudah menerima hasil KPU tanpa syarat ini terlihat dari pernyataan Hanafi Rais yang merupakan Putra Sulung dari pendiri PAN yang dikirimkan ke media. Pernyataan tertulis yang dengan sengaja dikirim ke media menunjukkan bahwa ini dilakukan dengan sadar dan memiliki target tertentu.

Kemungkinan kedua, PAN sudah didekati oleh Jokowi-JK untuk bergabung dalam koalisinya. Kemungkinan ini sangat terbuka mengingat kedekatan keluarga besar Megawati dengan Hatta Rajasa, ditambah lagi sosok Hatta Rajasa yang paling minim resistensinya diantara Ketua Umum Partai pengusung Jokowi-JK. Dengan bergabungnya PAN dalam koalisi Jokowi-JK tentu akan menambah kekuatan koalisi ini di DPR nanti, ketimbang merangkul Partai yang cenderung liar dan susah dijinakkan. Dalam hal ini, PAN dianggap lebih tertib, solid, dan para anggota Fraksi nya lebih intelektual dibanding yang lain.

Kemungkinan ketiga, adanya tekanan dari SBY untuk Hatta Rajasa dan PAN menahan diri dalam menyikapi hasil Pilpres ini. Banyak publik bertanya kemana sikap SBY melabuhkan pilihan politiknya. Kenapa harus ada keputusan Partai Demokrat netral, namun semua anggotanya dipersilahkan menentukan pilihan politiknya. Sangat janggal bila ada Partai Politik namun tidak memilih sikap politik yang berpihak, Pemilu adalah ajangnya Partai Politik, apapun itu tidak mungkin bila Partai Poltik tidak berpihak.

Dapat diduga bila sebenarnya SBY ingin berdamai dengan Megawati melalui Pilpres ini, bila mengacu pada hasil resmi tentu sangat besar peluang SBY untuk memenangkan Prabowo-Hatta melalui jaringan yang dimilikinya. Terlebih lagi, menurut sebuah diskusi di Cikini yang diselenggarakan Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta bahwa data resmi yang dimiliki oleh TNI dan Polri sudah diserahkan ke Cikeas yang menang adalah Prabowo-Hatta.

Kemungkinan keempat, Hatta Rajasa sudah mencium gelagat akan terjadi krisis politik yang panjang bila ikut dalam penolakan hasil Pilpres. Tekanan politik yang sangat kencang di Tim Pemenangan Prabowo-Hatta yang cenderung memprovokasi suasana kebatinan Prabowo untuk menolak keras, membuat Hatta menarik diri sementara, agar Prabowo menyadari ada provokasi yang dapat memperburuk keadaan. 

Banyaknya Purnawirawan TNI yang bermain di dua kubu Capres membuat perang bintang tidak terelakkan, masing-masing tidak lagi berpikir untuk mengusung ideologi atau gagasan besar, namun sudah masuk ke ranah pertarungan harga diri. Bila keadaan terus berlanjut dan bertambah buruk, maka kemungkinan terburuk berupa krisis politik yang menjurus krisis keamanan nasional sangat mungkin terjadi.

Indikasi bisa terlihat dari pencopotan KASAD Jend.(TNI).Budiman disaat kondisi TNI siaga satu, sebuah kondisi yang tidak lazim di institusi ini, padahal Jend.(TNI).Budiman sudah memasuki masa pensiun pada akhir tahun ini.

Semua kemungkinan diatas mungkin bisa salah, namun bila kemungkinan keempat adalah faktanya, maka kita patut apresiasi sikap negarawan Hatta Rajasa dalam memandang masalah ini. Sepanjang saya mengenal beliau, pemikiran beliau selalu beberapa langkah didepan, beliau sangat menjaga kondusifitas negara ini, bahkan seorang Hatta Rajasa adalah yang paling konsisten untuk meletakkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan Partai atau golongan.