R. Herlambang Perdana Wiratraman
Pengantar
Ketika diskursus neoliberalisme mencuat belakangan ini, nampak perdebatan-perdebatan yang seringkali dimunculkan adalah perdebatan politik ekonomi yang memang dominan terjadi untuk memasukkan agenda tersebut dalam kebijakan pemerintahan. Di tengah-tengah perdebatan itu, terkesan ada yang kurang proporsional dihadirkan, utamanya dikaitkan dengan tudingan-tudingan politis atas pribadi atau pendukung politisi tertentu.
Tulisan berikut tidak dimaksudkan untuk menjelaskan atau mengikuti arus tudingan tersebut, apalagi sebaliknya untuk membantahnya. Pemikiran dalam tulisan ini lebih menitikberatkan sudut pandang hukum dan hak asasi manusia, yang kemudian pada penjelasan tersebut akan memperlihatkan betapa mudahnya simplifikasi itu [tudingan] terjadi. Ini karena memperbincangkan neoliberalisme dari sudut pandang hukum dan hak asasi manusia menggambarkan betapa proses ‘penjajahan hukum’ yang demikian rapi melalui sejumlah teknologi yang diproduksi oleh mesin kekuasaan negara yang ditopang oleh digdaya kapitalisme global.
Konfigurasi hukum neoliberal yang demikian, unik dan tidak banyak publik menyangka bahwa ia lebih kuat nan rapi terjadi dalam situasi reformasi, yang begitu didambakan rakyat banyak. Marilah kita simak, sejak reformasi bergulir, jumlah kelembagaan negara yang dibentuk baru mencapai lebih dari tujuh puluh (70) lembaga, baik di bawah pilar kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan yudisial. Demokrasi sendiri berjalan menempuh rute prosedural yang sarat dengan politik representasi liberal pemilu, tanpa bisa lagi mengidentifikasi keperluan mendasar bagi pemenuhan kesejahteraan sosial. Hak asasi manusia pun telah melengkapi suasana konstitusionalisme UUD RI 1945, meskipun dalam prakteknya hak-hak asasi manusia pun diseleksi untuk menuruti kebutuhan liberalisasi pasar. Dan yang paling atraktif dan ofensif dalam diskursus ketatanegaraan adalah good governance (berikut turunannya), sebagai pilihan strategi peredaman di tengah euforia publik menutut perubahan, dengan memberikan pemangku kepentingan yang lebih dominan untuk menafsirkan dan mengendalikan agenda-agenda perubahan-perubahannya. Ia hadir seperti mitos, yang begitu gampang dipercaya baik oleh pengambil dan pelaksana kebijakan, kaum intelektual dan celakanya, sebagian besar rakyat.
Makalah ini hendak mengupas problematika pembaruan hukum, termasuk di dalamnya ketatanegaraan Indonesia, dari sudut pandang diskursus dan bagaimana ia bekerja untuk menfasilitasi kepentingan politik dominan dalam strategi pembaruan undang-undang. Secara lebih khusus, membongkar apa yang nampak dan yang tersembunyi di balik diskursus ‘baik’ dari good governance, utamanya dikaitkan dengan upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM). Apakah dalam konteks tersebut, HAM diakomodasi, disubordinasi, ataukah dinegasikan?
Good Governance sebagai Pintu Masuk Neoliberalisme
Dengan mudah kita menyaksikan atau mendengar dari dekat bahasa santun nan elok ‘good governance’, tetapi dengan sangat gampang pula di sekitar kita terlihat centang perenang terjadi korupsi sistematik, legalisasi suap antar lembaga kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia dan kebijakan imperial lainnya. Sepertinya, beda tipis antara apa yang disebut dengan ’good’ (baik) dengan ’bad’ (buruk) atau ‘poor’ (miskin) dalam tata kelola pemerintahan, karena keduanya berjalan seiring bak lintasan rel kereta yang didisain kuat menancap dengan ‘bantalan’ teori dan mistifikasi kekuasaan, yang keluar masuk stasiun mengangkut (baca: memperdagangkan) penumpang sebanyak-banyaknya. Persis seperti ‘good governance’ yang diinjeksikan dari negara satu ke negara lain yang menebarkan pengaruh tentang kebenaran absolut pengelolaan urusan negara (ketatanegaraan).
Uniknya, tak lama berselang, mitos ini kian beranak-pinak dalam sejumlah mitos lainnya yang membuat teori-teori yang menopang di bawahnya sangatlah absurd, latah dan menggelikan karena telah jauh meninggalkan substansi serta paradigma ketatanegaraan. Lihat saja, ‘good sustainable development governance’ (Partnership Initiatives 2002), ‘good financial governance’ (Soekarwo 2005), ‘good environmental governance’ (Wijoyo 2005: 44), ‘good coastal governance’, dan lain sebagainya.
Kritik terhadap good governance bukanlah hal yang baru, karena banyak studi atau riset yang telah dilakukan untuk membongkar diskursus ini dalam berbagai pendekatan, baik itu pendekatan politik, ekonomi, sejarah, hukum, sosiologi internasional, hubungan internasional dan pendekatan disiplin ilmu lainnya (Abrahamsen 2000; Bello 2002, 2005; Bendana 2004; George 1995; Parasuraman, et. al. 2004; Pieterse 2004; Quadir et al. 2001; Robinson 2004; Selznick 1969; Gathii 1998; Hosen 2003; Wiratraman 2006, 2007).
Bank Dunia merupakan pencetus gagasan yang memperkenalkannya sebagai ‘program pengelolaan sektor publik’ (public sector management program), dalam rangka penciptaan ketatapemerintahan yang baik dalam kerangka persyaratan bantuan pembangunan (World Bank 1983: 46). Good governance dalam konteks ini merupakan suara pembangunan. Sebagai suara pembangunan, sesungguhnya ia lebih menampakkan pendisiplinan demokrasi atau model ketatapemerintahan tertentu. Krisis di Afrika telah membawa pesan demikian jelas dalam mencetuskan suatu konsep baru mengenai ‘governance’ untuk menentang apa yang disebut Bank Dunia sebagai suatu ‘crisis of governance’ atau ‘bad governance’ (World Bank 1992). Pengalaman Afrika pasca krisis utang dan perang dingin telah menggambarkan latar dari suatu iklim umum dalam menyokong pasar bebas dan demokrasi liberal, dan hal ini telah secara dahsyat menunjukkan betapa good governance sebagai pemaksaan politik hukum oleh negara industrialisasi maju dan agen internasional (termasuk lembaga maupun negara donor) dalam membentuk ketatapemerintahan pasar (Abrahamsen 2000; Stokke 1995; Gathii 1998).
Dalam konteks Asia, proyek-proyek good governance sesungguhnya telah lama diperkenalkan ke sejumlah negara, utamanya ke negara-negara yang memiliki ketergantungan atas bantuan hutang luar negeri. Proyek tersebut sama sekali tidak mempedulikan rezim yang berkuasa, yakni rezim yang koruptif dan diktatorial. Di Indonesia, pada awal tahun 1990an sudah mulai diperkenalkan model ketatapemerintahan yang ramah terhadap kepentingan pasar, melalui skenario program penyesuaian struktural. Meskipun demikian, saat Soeharto masih berkuasa, proyek-proyek yang dikembangkan di Indonesia praktis gagal dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan korupsi yang dilakukan atas bantuan hutang luar negeri tersebut diketahui Bank Dunia, namun Bank Dunia melakukan pembiaran atas hutang-hutang yang dikorupsi tersebut. Inilah yang disebut ‘criminal debt’ (hutang kriminal), yang ironisnya harus dibayar oleh rakyat dan dibebankan pada generasi bangsa pasca Soeharto (Winters 1999; 2002).
Jadi apa yang disebut sebagai ‘bantuan’ oleh Bank Dunia, sebenarnya merupakan proses sistematik penghancuran yang tidak hanya ditujukan pada rakyat saat rezim Soeharto berkuasa, melainkan pula ongkos ‘pelanggengan kekuasaan diktator’ yang memiliki konsekuensi panjang terhadap jutaan rakyat Indonesia di masa-masa berikutnya. Dalam situasi demikian, terlihatlah dengan jelas bahwa ‘good governance’ bersahabat dengan mekanisme-mekanisme siluman yang tidak berkepentingan atas demokratisasi dan hak asasi manusia.
Tekanan Bank Dunia dalam urusan pembaruan ketatapemerintahan kian menguat disuntikkan setelah terjadinya krisis finansial di Asia di paruh akhir 1990an. Praktek dan justifikasi Bank Dunia melalui diagnosa antara ketatapemerintahan yang ‘buruk dan baik’ menjadi diskursus utama dalam mempengaruhi faktor-faktor kegagalan dalam konteks krisis tersebut, dan ini persis seperti apa yang telah dilakukan sebelumnya di Afrika pada 1980an.
Seiring bersama dengan gerakan reformasi yang dilakukan oleh mahasiswa tahun 1998, seolah proponen neoliberal diberi ‘pintu masuk’ untuk kembali menanamkan proyek-proyeknya (juga melalui utang) kepada pemerintah. Ratusan juta dolar dikucurkan untuk pemerintah dalam membiayai pembaruan kebijakan dan institusi politik, hukum dan ekonomi, sehingga tak terelakkan bahwa good governance menjadi arus utama pembaruan birokrasi dan hukum sebagai penopang proyek ketatapemerintahan tersebut.
Desentralisasi yang terjadi di awal reformasi telah memuluskan dan menyuburkan diskursus good governance, karena ia menjadi sesuatu yang seksi, segar, populer, dan diucapkan secara berulangkali baik oleh pejabat tinggi hingga level yang paling rendah di daerah. Tak terkecuali, agenda-agenda gerakan menjadi ikut pula termoderasi dan mempercayai good governance sebagai obat mujarab bagi tatanan birokrasi politik-ekonomi Indonesia. Akademisi dan organisasi non-pemerintah pun latah mengucapkan diskursus tersebut sebagai ikon baru yang menemani demokratisasi. Sejak reformasi bergulir, telah lahir banyak pusat studi maupun proyek-proyek good governance yang dipesan melalui perguruan tinggi, dari mulai isu yang lekat dengan pembaruan hukum, pembaruan peradilan, desentralisasi, penganggaran, hingga soal legal drafting. Begitu juga organisasi non-pemerintah yang secara kuat pula mentransmisikan gagasan good governance melalui isu yang tidak jauh berbeda.
Mengapa transmisi diskursus good governance tersebut demikian kuat diusung oleh Bank Dunia dan kemudian ditransplantasikan dengan rapi oleh agen-agen negara maupun non-negara? Kita bisa mulai membedahnya dari sisi konseptual, dan lalu dilanjutkan dengan memetakan bagaimana kerangka konseptual tersebut menjadi sangat dominan dipaksakan ke negara-negara selatan, termasuk di Indonesia.
Dalam laporannya tahun 1989, Bank Dunia telah mengekspresikan gagasan “Upaya untuk menciptakan suatu kemampuan lingkungan dan untuk membangun kapasitas-kapasitas akan dibuang bila konteks politik tidak mendukung. Pada akhirnya, pemerintahan yang baik memerlukan pembaharuan politik. Ini berarti suatu tindakan bersama melawan korupsi dari tingkat paling tinggi hingga paling rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan menata suatu contoh baik, dengan memperkuat pertanggungjawaban, dengan mendukung debat publik, dengan memelihara suatu pers bebas. Ini juga berartimembantu perkembangan akar rumput dan organisasi non-pemerintah seperti serikat petani, perkumpulan-perkumpulan, dan kelompok-kelompok perempuan” (World Bank 1989).
Dengan langgam bahasa yang hampir sama, Bank Dunia telah menyatakan pula, “Good governance dilambangkan dengan dapat diperkirakan (predictable), terbuka (open) dan pembuatan kebijakan yang tercerahkan (enlightened policy-making), suatu birokrasi diilhami dengan bertindak etos professional dalam pemajuan fasilitas publik, rule of law, proses-proses transparan, dan masyarakat sipil yang kuat berpartisipaso dalam kepentingan publik. Ketatapemerintahan yang miskin (poor governance) di sisi lain dikarakteristikan dengan pembuatan kebijakan yang sewenang-wenang, birokrasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sistem perundangan yang tidak adil dan tidak bisa ditegakkan, penyalahgunaan kekuasaan eksekutif, suatu masyarakat sipil yang tidak bisa menikmatik kehidupan publiknya dan korupsi yang meluas.” (World Bank 1994: vii).
Dalam mengkampayekan good governance, Bank Dunia telah memprogramkan suatu program pembelajaran dan telah memperkenalkan konsep ketatapemerintahan, Good governance merupakan suatu manual yang didefinisikan sebagai implementasi efektif kebijakan dan provisi pelayanan yang yang responsive terhadap kebutuhan-kebutuhan warganya. Good governance melekat pada kualitas, seperti akuntabilitas, responsif, transparan, dan efisiensi. Ia mengasumsikan kemampuan pemerintah untuk mengelola sosial, perdamaian, jaminan hukum dan tatanan, mempromosikan dan menciptakan kondisi-kondisi yang perlu untuk pertumbuhan ekonomi dan mamastikan suatu level minimum jaminan sosial (World Bank 2002). Definisi yang demikian sesuangguhnya telah tetap dan secara kuat dipertahankan untuk menyokong aturan main bahwa membuat pasar bekerja secara efisien dan lebih problematiknya, Bank Dunia mengoreksi kegagalan pasar (Bank Dunia 1992).
Sejumlah dokumen tersebut memperlihatkan bahwa pendekatan yang digunakan oleh Bank Dunia, khususnya dalam menegaskan isu-isu penting akuntabilitas, sesungguhnya ditujukan dalam rangka mengupayakan pembaharuan untuk stabilitas politik dan pembangunan ekonomi yang diperlukan dalam proses liberalisasi pasar. Konsep politik ekonomi yang demikian sesungguhnya berfokus pada model demokrasi liberal dan liberalisasi ekonomi, dan good governance-nya pun merupakan model neoliberal, yakni ‘good governance free market assistance’ (Wiratraman 2006).
Watak neoliberalisme good governance dapat dilihat dari sasaran-sasarannya yang senantiasa berpusat pada efisiensi pengelolaan sumberdaya dan menopang pasar bebas. Elemen-elemen kuncinya adalah akuntabilitas, rule of law, transparan, dan partisipasi. Sungguh, elemen-elemen ini juga menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia di tengah eforia reformasi, namun elemen kunci tersebut sebenarnya menyimpan rencana besar untuk melucuti peran-peran negara di sektor publik dan menggantikannya dengan peran dominan swasta atau privat. Urusan perlindungan hak-hak asasi manusia bukanlah urusan yang penting dalam skema good governance ini, meskipun mandat tanggung jawab hak asasi manusia bertumpu pada peran utama negara (vide: Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Amandemen). A contrario, berarti, good governance yang demikian hanya akan menempatkan posisi pasar secara dominan, dan urusan-urusan publik yang dimaksudkan pun telah diseleksi (baca: dipangkas) berbasis pada iklim liberalisasi pasar.
Pendisiplinan Pembaruan Hukum
Diakui memang, bahwa telah terjadi banyak perubahan yang cukup banyak termasuk lompatan-lompatan pembentukan dan kerja kelembagaan negara yang kian melengkapi percaturan politik kenegaraan Indonesia. Proyek-proyek hukum dilakukan secara serentak, mulai dari upaya pembaruan hukum, pembaruan peradilan, dan pembaruan lembaga-lembaga negara lainnya.
Bagi Bank Dunia, hukum dan implementasinya dilihat sebagai faktor-faktor penting untuk memperkuat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan sistem pasar bebas, salah satu elemen prinsip good governance adalah ‘legal framework for development’ (kerangka perundang-undangan untuk pembangunan) (World Bank 1992). Dalam kerangka perundangan yang demikian, rule of law adalah konsep utama yang secara instrumental dan substansial penting, karena ia mengkonsentrasikan pada keadilan (justice), kejujuran (fairness) dan kebebasan (liberty). Bank Dunia menegaskan suatu sistem hukum yang ‘fair’, yang kondusif untuk menyeimbangkan pembangunan (World Bank 1992: 29-30). Ini sebabnya, tidak terlampau mengejutkan, perspektif Bank Dunia dalam good governance terkait utamanya dengan kebutuhan-kebutuhan perundangan bagi aktor-aktor komersial dalam pasar (LCHR 1993: 53).
Pendapat cukup kritis dilontarkan dalam menganalisis hubungan antara rule of law dan kerangka perundangan untuk pembangunan di bawah agenda agenda good governance telah ditulis oleh Tsuma (1999). Menurutnya, Bank Dunia memulai mengarahkan proyek pembaruan hukum dalam 1990an ketika good governance menjadi bagian dari agenda pembangunan (World Bank 1992; 1995a). Kerangka perundangan untuk pembangunan ini sesungguhnya merupakan evolusi proyek-proyek Bank Dunia, ketika Bank Dunia telah mempromosikan good governance sebagai sinonim dengan suara pengelolaan pembangunan (World Bank 1992: 1; Tshuma 1999: 79). Ini disebabkan Bank Dunia meletakkan doktrin rule of law sebagai suatu prasyarat untuk pembangunan ekonomi.
Bila kita lihat lebih jauh, perspektif rule of law dengan memperkuat prosedural dan institusional semata, dalam rangka menjamin stabilitas dan predikbilitas yang menjadi elemen mendasar suatu iklim usaha, adalah suatu perspektif yang lebih dipengaruhi oleh model Weberian dalam hukum. Weber (1978: 24-26) mengidentifikasi 4 jalan dalam orientasi aksi sosial: rasional secara instrumen, rasional nilai, memiliki daya pengaruh, dan tradisional. Ia telah mengargumentasikan bahwa prediktabilitas dan perhitungan dalam sistem perundangan adalah penting bagi pembangunan kapitalis. Rule of law sebagai prasyarat untuk liberalisme kapital adalah konversi segala bentuk produksi – buruh, tanah dan modal – ke dalam komoditas-komoditas yang memiliki nilai daya tukar mereka dalam pasar (Tshuma 1999: 85). Dalam hal ini, konversi kapitalistik berarti proses transformasi ke dalam komoditas-komoditas yang menggunakan kekuatan paksa negara untuk merampas hak-hak rakyat dalam jumlah besar. Serupa dengan hal tersebut, Polanyi (1944) telah lama menekankan bahwa transformasi memiliki konsekuensi traumatik bagi mereka yang dirampas alat-alat produksinya serta mereka yang secara konsekuensi dipaksa untuk menjual tenaganya sebagai buruh hanya untuk bertahan hidup (Polanyi, dalam Tshuma 1999: 85).
Dalam konteks Indonesia, pendisiplinan pembaruan hukum melalui disain ketatanegaraan neoliberal sangat jelas terlihat ketika upaya pembaruan tersebut tidak meletakkan arah perubahannya pada sistem yang lebih berkeadilan bagi rakyat banyak, melainkan lebih menuruti kepentingan atau selera pasar dalam penciptaan iklim usaha. Dalam soal pembaruan kelembagaan negara, hal ini bisa dicontohkan pada pembentukan institusi peradilan khusus bagi buruh melalui Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Pembentukan mekanisme peradilan baru ini merupakan bagian dari proyek pembaruan peradilan (judicial reform) yang disponsori Bank Dunia dan bertujuan untuk sekadar meningkatkan ‘wajah’ perekonomian suatu bangsa. Sedangkan dalam soal pembaruan peraturan perundang-undangan, banyak kasus yang bisa dicontohkan, seperti lahirnya Undang-Undang Sumberdaya Air (UU No. 7 Tahun 2004), Undang-Undang Penanaman Modal (UU No. 25 Tahun 2007), Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003).
Bagi Bank Dunia, proyek pembaruan peradilan adalah relevan bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa, dan ini merupakan kunci sukses strategi peminjaman uang Bank pada suatu negara (Shihata 1995: 170; Armstrong 1998). Singkatnya, proyek pembaruan peradilan dilihat sebagai bagian penting upaya membuat sistem perundangan di negara berkembang dan selatan serta negara dengan ekonomi transisi lebih ramah pasar. Dalam implementasinya, upaya pembaruan ini dilakukan dengan segala bentuk cara mulai dari proses perencanaan dan perancangan kebijakan, merevisinya, mengajarkannya kepada menteri yang terkait dengan hukum dan perundang-undangan dan mengajaknya untuk berfikir lebih strategis dalam mendorong liberalisasi pasar. Sebagai suatu mesin perundangan, ia meyakinkan adanya kompetensi, etika, dan jaminan digaji secara profesional bagi mereka yang membentuk perundangan yang secara baik mendisain promosi aktifitas komersial (Posner 1998: 1; Severino 1999). Sejak 1994, Bank Dunia, Bank Pembangunan Inter-Amerika (Inter-American Development Bank) dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) telah menyetujui dan mengucurkan pinjaman bagi proyek pembaruan peradilan sebesar US$ 500 juta di 26 negara (Armstrong 1998).
Good governance dalam konsepnya yang demikian, memperlihatkan hubungan sangat erat antara upaya-upaya pembaruan hukum (termasuk pembaruan peradilan) dengan bagaimana menciptakan sistem keuangan yang ‘sehat’ bagi parsyarat liberalisasi pasar. Ia diupayakan untuk menjamin, bukan pada hak-hak masyarakat banyak, melainkan jaminan bagi pemodal yang melakukan investasi dan menggerakkan sumber dayanya dalam suatu mekanisme yang benar-benar efisien. Dalam konteks ini, kerangka hukum ditujukan untuk meyakinkan adanya jaminan hak-hak para kreditor dan bekerjanya fungsi peradilan untuk menegakkannya, arus informasi yang lebih bertanggung jawab, peraturan yang lebih kuat dan independen, khususnya bagi supervisi lembaga-lembaga keuangan (World Bank 2005: 8).
Terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia, sungguh bukan hal yang susah untuk diamati sebagai kepentingan neoliberal yang dimainkan Bank Dunia, karena sejak awal Bank Dunia telah mendorong negara-negara yang berhutang untuk membuat aturan-aturan dan mekanisme hukum baru. Tidak saja pada hukum perburuhan saja, banyak kebijakan peraturan baru yang terkait semacam peraturan investasi dan perdagangan, peraturan anti-korupsi, dan pembentukan peradilan usaha (niaga) yang kesemuanya ditempatkan dalam rangka menjalankan mesin legislasi bagi efektifitas pengucuran utang sekaligus meminimalisir resiko atau ketiadaan jaminan hak-hak atas kekayaan. Sekali lagi, good governance lebih bertumpu pada disain substantif kerangka hukum untuk (sekadar) liberalisasi pasar.
Subversi terhadap HAM dan Peluruhan Kedaulatan Rakyat
Dalam tulisan singkat ini, berupaya mendekonstruksi bahwa selain bentuknya yang imperatif dan penuh dengan mitos ‘kebaikan’ (good), good governance juga menggunakan teknologi yang dalam prakteknya justru mengsubordinasi atau bahkan bertentangan dengan upaya pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Ia seperti mantra dalam sirkuit pembangunan yang membentuk ketatapemerintahan politik dalam abad globalisasi.
Bagaimana teknologi ini bekerja dan berpengaruh dalam mensubordinasi hak-hak asasi manusia? Pertama, munculnya good governance tidak terpisahkan dengan pendisplinan [hukum] untuk liberalisasi pasar dalam bentuknya yang lebih santun dan formal. Oleh sebabnya, good governance sekarang lebih tampil dalam diskursus hak asasi manusia, namun terseleksi dan mengharuskan ramah terhadap pasar (market friendly human rights paradigm). Meskipun banyak yang berpendapat bahwa good governance sangat terkait dengan upaya maju hak asasi manusia, namun dalam sejumlah penelitian dan kajian membuktikan sebaliknya. Mulai dari konstruksi diskursus, paradigma, dan rancangan good governance yang ditampilkan dengan dominan neoliberalisme yang memaksakan negara-negara selatan mengikutinya, sungguh dinamika antara teks dan konteksnya memperlihatkan penyingkiran hak-hak rakyat banyak. Apa yang kita saksikan sekarang ini, good governance merupakan teknologi mendisiplinkan demokrasi melalui kerangka hukum untuk pembangunan. Uniknya, teknologi dipergunakan secara latah baik bagi kalangan pemerintahan itu sendiri maupun di luar pemerintahan, seperti organisasi non-pemerintah, pusat studi kampus, jurnalis dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Teknologi transplantasi gagasan good governance kian mulus disebabkan persinggungan keinginan perubahan dalam konteks reformasi tidak bisa dijelaskan dengan gampang, mana yang terbilang ’baik’ dan mana yang terbilang ’buruk’, karena teknologi diskursus ini memberikan perangkap di segala lini untuk mengerucut pada proses-proses liberalisasi pasar.
Di kalangan intelektual kampus, barangkali memang good governance telah banyak diajarkan melalui diktat(or)-diktat(or) perkuliahan (utamanya kajian ketatapemerintahan dan ketatanegaraan), karena tidak sedikit akademisi dan pusat-pusat studi di perguruan tinggi yang penuh dengan kesadaran mentransmisikan gagasan neoliberalisme ketatanegaraan melalui good governance. Dengan perspektif Derrida tentang ’difference’, good governance yang dilanggamkan oleh sejumlah pihak nampak seragam, tetapi agenda-agenda secara substansi dibaliknya sungguh berbeda, baik secara historis, konseptual, prinsip, dan narasi-narasinya. Tentunya, ketika memperbincangkan konsepsi dominan, diskursus Bank Dunia lah yang paling kuat dan berpengaruh untuk lebih bisa menancap pada disain kebijakan pemerintahan, termasuk pembaruan hukum dalam konteks ketatanegaraan.
Kedua, teknologi yang digunakan untuk mentransmisikan good governance juga mendasarkan pada strategi mistifikasi kekuatan-kekuatan yang sebenarnya tidak berimbang. Bank Dunia tidak bekerja sendiri di Indonesia, ia melibatkan pekerja-pekerja diskursus yang memuluskan proyek-proyek pembaruan. Bantuan hukum dalam rangka pengurangan kemiskinan yang digencarkan Bank Dunia (melalui Justice for the Poor), juga digerojok dengan jumlah dana besar agar mesin promosi hak asasi manusia, anti korupsi, demokrasi, rule of law, partisipasi, dan lain sebagainya, kelihatan sungguh-sungguh ada dan bekerja, telah melengkapi diskursus paradigma hak asasi manusia ramah pasar.
Situasi pemiskinan struktural yang diakibatkan proyek Bank Dunia, seperti kebijakan fleksibilitas buruh dengan - salah satunya - hadirnya PHI yang menyakitkan bagi buruh untuk beracara di peradilan, proyek privatisasi, dan komersialisasi, tidaklah menjadi agenda bagi proponen neoliberal. Dalam konteks inilah, mistifikasi diskursus dan mesin institusional merupakan teknologi rasional yang secara sistematik memproduksi konsep ‘kebenaran dan pengetahuan’ good governance, merupakan cara menghaluskan penindasan neoliberal.
Ketiga, teknologi perundangan yang dibingkai dalam diskursus good governance, dengan menggunakan doktrin rule of law sebagai prasyarat pembangunan ekonomi, dipergunakan untuk membenarkan imperialisme pasar. Good governance merupakan alat canggih menstipulasi mekanisme perubahan hukum dan institusi melalui kerangka hukum untuk pembangunan sebagai bentuk penjaminan kepentingan korporasi dan pemodal. Secara ideologi, promosi prinsip-prinsip liberalisasi pasar jauh lebih kuat dibandingkan perlindungan bagi rakyat miskin, dan hal ini sangat jelas terlihat dari upaya sistematik menarik peran-peran negara agar ’sumberdaya dan pengelolaannya lebih efisien’. Teknologi ini memperlihatkan dua hal: (i) good governance absen dalam upaya pemajuan hak asasi manusia, dan tidak segan-segan menggerogotinya dan mensubversinya dalam bentuk-bentuk kebijakan payung (semacam ’kerangka hukum untuk pembangunan’). (ii) good governance secara paradigmatik memindahkan peran-peran negara ke swasta atau privat, sehingga ia memperlihatkan jalur yang berbeda dengan aspirasi hak asasi manusia, dan sekaligus membajak jalur yang ada untuk kian melemahkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak.
Inilah apa yang publik percayai tentang kebaikan-kebaikan dalam good governance, yang sesungguhnya menawarkan aturan main yang demikian menjebak secara paradigmatik, yakni rule of neoliberalism law sebagai suatu sistem yang demikian susah untuk dihindari bagi siapapun pemangku kekuasaan di negeri ini, bila ia tidak berani memindahkan paradigma tersebut dalam kebijakan-kebijakannya (derailing). Bila secara sistematik dilakukan dengan teknologi pembenaran melalui pembaruan peraturan perundang-undangan, maka telah terang bahwa good governance yang sangat menekankan proseduralisme melahirkan proses-proses pelanggaran hak asasi manusia yang difasilitasi oleh hukum yang ada atau dibentuknya (legalized violations of human rights). Dengan mitos ketatanegaraan (dan mantra-mantranya) good governance yang mengusung agenda-agenda pembaruan, menjelaskan pada kita bahwa hukum ditempatkan sekadar alat kekerasan dan sekaligus pelumas menuju mekanisme pasar bebas.
Sebagai kesimpulan, sekaligus peringatan, bahwa good governance sebagai teknologi hukum neoliberal telah benar-benar rapi disiapkan untuk mendisplinkan pembaruan hukum, yang sebenarnya jelas berfungsi meluruhkan kedaulatan rakyat melalui pintu perundang-undangan dan pembentukan institusi ketatanegaraan Indonesia.