Negara dan Bangsa Indonesia dibentuk untuk rumah bersama, bukan untuk satu agama, satu suku atau satu kekuatan politik. Rumah Indonesia adalah Rumah yang menaungi semua keyakinan, semua pemikiran dan Negara Indonesia adalah pemerintahan yang ditujukan untuk memakmurkan rakyat bukan dijadikan sebagai alat penindasan. (Sebuah Catatan Harian, 2011)
Ketika saya masih duduk dibanku Sekolah Menengah Pertama (SMP) ada buku yang selalu saya baca dan sangat menarik walaupun bahasanya kering dan terjemahannya sedikit berantakan. “Negara Modern” karya Mc Iver. Dalam buku ini setidaknya saya belajar bagaimana organ sosial yang bernama negara berkecambah dalam ruang pikiran masyarakat dan melahirkan susunan-susunannya yang landasan dari susunannya adalah kekuasaan. Ada satu tulisan dari ahli filsafat berumur panjang Bertrand Russel, yang bercerita tentang disiplin Sparta dimana kemudian menjadi sebuah model negara dengan dasar-dasar kesederhanaan, patriotis, disiplin dan sama rasa sama rata untuk semua anggota warga negara. Nama negara ini kemudian dikenal sebagai model ‘Spartacus’ dan berabad-abad kemudian di jalan-jalan Bavaria, Jerman Selatan pada permulaan abad 20 muncul sebuah gerakan Spartacus yang beraliran kiri bertarung dengan anak-anak fasis didikan Hitler yang banyak ngumpul di sekitar kedai bir. Gerakan Spartacus ini kemudian luruh bagai musim gugur menyusul ditemukannya mayat Rosa Luxemburg mengambang pada sebuah kali dan kaum komunis hilang sama sekali diberangus Hitler gara-gara eks komunis Belanda Marinus Van Der Lubbe ketiban sial nonton gedung parlemen yang dibakar dan digelandang oleh polisi kemudian dituduh sebagai dalam pembakaran gedung Parlemen yang kemudian memancing Hitler berteriak untuk membunuhi semua pengurus partai komunis Jerman, di titik inilah eksperimen gerakan Komunisme gagal justru di tanah kelahiran Karl Marx. Negara tidak selamanya lahir dalam ketertiban, namun negara selalu memimpikan ketertiban dan bahkan ketertiban masyarakat adalah sebuah cita-cita paling besar dari berdirinya sebuah negara. Tapi betapa beruntungnya negara yang sudah memiliki pemimpin dengan daya jangkau ke depan dan tahu kemana arah negaranya berkembang.
Apa yang dipikirkan oleh Jefferson ketika ia dengan wajah gembira pulang ke Monticello dengan menunggang kuda ditengah hujan salju? Ia berhenti menjadi Presiden!, ia tahu kekuasaan adalah sebuah pekerjaan yang harus diselesaikan bukannya wahyu keprabon yang menunggu gerak lengsernya. Jefferson menolak untuk melanjutkan jabatan Presiden, begitu juga Washington yang tidak mau menjadi Raja Amerika Serikat, sampai-sampai Raja Inggris melonjak dari tempat duduknya dan bertanya “Jenis orang seperti apa Washington itu?, ia menolak menjadi Raja dari sebuah negara yang didirikannya dengan keberanian dan pertaruhan besar”. Mungkin Jefferson dan Washington tahu bahwa pemimpin tidak boleh merubah pribadinya menjadi negara, dan negara bukanlah sebagai mesin kekuasaan tetapi hanyalah pusat dari segala keteraturan dan melindungi kepentingan warga negaranya dengan kata lain, Negara bukanlah kumpulan nafsu-nafsu pemimpinnya. Jefferson hanyalah anak muda yang pandai menulis saat Deklarasi Kemerdekaan dibicarakan di Philadelphia, pikiran-pikirannya seperti Liberty Bell yang retak namun bergema. Ia juga bukan seorang lelaki yang bersih dari gosip, ia menyukai perempuan yang sudah bersuami dan menuliskan segudang rayuan pada perempuan itu. Namun toh sejarah harus mengakui dialah manusia yang mampu menciptakan sebuah eksperimen negara paling berhasil di dunia. Amerika Serikat.
Di malam-malam yang panas di sudut gang Peneleh, Surabaya. Di rumah milik Raja Jawa Tanpa Mahkota, Tjokroaminoto. Ada anak muda yang bermimpi menjadi Jefferson, ada anak muda yang mengagung-agungkan Jefferson. Kelak anak muda inilah yang kemudian di tahun 1945 berpidato di depan sebuah panitia persiapan membentuk negara baru bernama Indonesia dan sejarah mengantarkan pada kita nama anak muda itu adalah Sukarno. Namun Sukarno tahu Indonesia bukanlah tanah Amerika, tanah yang dicari untuk mencari kebebasan, tanah yang di rujuk agar penafsiran menyembah Tuhan bisa dengan bebas tanpa paksaan. Dan di tanah Amerika pula-lah Mayflower mengembangkan layarnya. Indonesia lebih dari Amerika, disinilah surganya agama-agama dunia berkecambah. Indonesia adalah pelataran terindah warisan spiritual Arab, India dan Cina. Di Indonesia pula menara intelektualitas bergaya barat mendapat bangunan suar-nya. Maka Sukarno paham, bahwa di Indonesia bukanlah tanah yang sekedar baru memahami agama, baru memahami Tuhan. Namun Indonesia adalah sesungguhnya negara tua yang jauh berpengalaman dalam dimensi spiritualitasnya. Maka ia menempatkan sebuah idee Negara Baru itu berdasarkan Restu Tuhan. Tuhan-lah alasan utama negara Indonesia lahir ke muka bumi dan menjaga ketertibannya. Kata Sukarno dalam pidatonya yang menggetarkan di muka sebuah panitia yang berniat membikin negara baru “Prinsip Ketuhanan, bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut Isa Al Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad saw, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah semuanya kita berTuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan........dengan cara yang berkeadaban.....ialah hormat menghormati satu sama lain....ingatlah prinsip ketiga, permusyawaratan perwakilan, disitulah tempatnya kita mempropagandakan idee kita masing-masing dengan cara toleran, dengan cara berkebudayaan!”
Sukarno yang pada akhirnya memilih tidak menjadi Jefferson, tapi ia menuruti nalurinya menjadi Raja Jawa sesungguhnya. Dan Sultan Agung menjadi pilihannya. Menjadi idola bawah sadarnya, yang seperti Onghokham bilang “Sukarno adalah Raja Jawa, kata-katanya sabda dan mitosnya adalah simbol-simbol revolusi” ya...Sukarno menjadi mesin idee untuk sebuah perubahan maka ia menggelar teater besar dalam tanah Indonesia dan ia menjadi sutradaranya seperti saat ia memimpin toneel Kelimutu di tanah Flores. Akhirnya Sukarno tidak memilih menjadi Jefferson.
Antara Jefferson dan Sultan Agung sesungguhnya hanya dipisahkan serat tipis perbedaan. Serat tipis itu adalah kediktatoran dan persamaan terbesar mereka adalah melindungi. Jefferson menciptakan eksperimen negara yang melindungi kebebasan sementara Sultan Agung menciptakan kekuasaan yang melindungi semua unsur masyarakatnya. Dari sinilah makna negara kemudian terbentuk. Sultan Agung adalah pangkal contoh Raja Jawa sesungguhnya, ia tidak memilih jalan Pangeran Jimbun alias Raden Patah yang ikut dalam gerakan pembantaian Sjekh Siti Djenar. Sekaligus menunjukkan pada sejarah bahwa kekuasaan Raden Patah adalah kekuasaan yang terdikte. Sultan Agung tidak mau didikte, oleh apapun atas nama apapun. Maka ia serang Giri Prapen dimana ceritanya melahirkan serat Centhini. Ia serang Tembayat dan seraya berkata, tidak ada apapun yang menguasai aku atas nama apapun termasuk penafsiran agama atau monopoli kebenaran. Ya Sultan Agung harus berdiri diatas segala, bukan didikte oleh sekelompok kekuatan. Karena ia adalah negara. Dan ia harus melindungi, bukan mengusir dari rumah keyakinannya.
Namun toh, sejarah hari ini tidak melahirkan seorang pemimpin yang bisa berdiri diatas segala, sejarah bangsa kita tidak memberikan negara sebagai pengayom, justru menjadi pengancam. Ahmadiyah, Salamullah, PKI, PSI, Masjumi, Tempo, atau Dewi Perssik menjadi contoh bagaimana kekuatan negara mengancam eksistensi sebuah idee, sebuah wacana bahkan hanya sekedar goyangan pantat. Negara sekali lagi dikembangkan menjadi gurita kekuasaan, bukan wasit yang adil. Untuk itulah kenapa Kekuasaan menjadi begitu memuakkan.
Syahdan, di suatu tempat di abad-abad silam. Nabi Muhammad saw, seorang pemberani yang mencetuskan sebuah cahaya baru, yang melahirkan peradaban baru ditanya seseorang setelah ia berhasil menaklukkan Mekkah. “Ya...Nabi maukah kamu menjadi seorang Raja, menjadi seorang Kaisar?” Sang Nabi hanya tersenyum dan menggeleng kepala. Ia menolak, ia tidak mau dirinya menjadi sebuah pusat kekuasaan yang pada akhirnya rentan diselewengkan. Dan Nabi tetap memilih memeras susu kambing, menjahit pakaian yang robek atau bermain kuda-kudaan dengan cucunya. Ia menolak negara, ia menolak kekuasaan karena mungkin ia tahu, betapa negara bisa menjadi palu godam yang menyakitkan. Dan tragisnya cucunya Hussein sendiri merasakan bagaimana kekuasaan menjadi sedemikian kejam.
.........Dan Nabi-pun menolak kekuasaan.
Dikutip dari Catatan Harian Seorang Sahabat.