Oleh : Indra J Piliang
Sejumlah politikus kini memutuskan berpindah partai politik. Kalau semula politikus itu hanya pihak yang diusung dalam pemilihan kepala daerah, tidak terlalu banyak reaksi yang muncul. Gamawan Fauzi, misalnya, disorot karena sikapnya dalam pemilihan presiden 2009 yang menunjukkan dukungan terhadap pasangan SBYBoediono, yang diusung Partai Demokrat dan mitra koalisinya. Sedangkan dalam pilkada Sumatera Barat 2005, Gamawan diusung oleh PDI Perjuangan dan Partai Bulan Bintang sebagai calon gubernur.
Namun lain halnya kalau politikus itu merupakan tokoh penting di partainya. Ambil contoh Dede Yusuf,Wakil Gubernur Jawa Barat. Kepindahan Dede ke Partai Demokrat dianggap sebagai corengan terhadap loyalitas kader penting Partai Amanat Nasional. Selain itu, kepindahan Dede tersebut ditengarai dalam rangka mengincar posisi sebagai Gubernur Jawa Barat. Gubernur Jambi Hasan Basri Agus, yang turut diusung Partai Golkar, memutuskan menjadi Ketua Partai Demokrat Provinsi Jambi.
Apa yang terjadi sebetulnya? Di tengah penilaian yang semakin kurang bersahabat terhadap eksistensi politikus dan partai-partai politik, secara terang-terangan pola rekrutmen kader semakin instan. Kader yang “diambil”adalah kader yang sudah jadi, alias bukan sosok yang menghadapi manis-pahitnya kehidupan kepartaian. Ciri lain yang penting adalah kader tersebut sedang mengisi jabatan publik, yakni incumbent sebagai kepala atau wakil kepala daerah.
Semakin mudahnya kader berpindah dari satu partai politik ke partai politik lain menunjukkan betapa politikus bukan lagi persoalan ideologis. Lo, kenapa larinya ke sana? Mengingat kader ideologis akan berbicara dan berpikir berdasarkan raison d’ĂȘtre kelahiran dan kehadiran partai-partai politik. Kader ideologis tidak sematamata membaca peluang kekuasaan yang bisa diraih. Politik bukan hanya masalah kekinian, tetapi menghunjam ke masa lalu yang jauh dan menerawang ke masa depanyang tak pasti.
Kelompok mana yang semestinya mengingatkan soal penting ini? Tentu kalangan di luar partai politik. Politik tidak bisa dikendalikan setengah hati atau semata-mata hanya soal kekuasaan. Politik adalah bagian dari perikehidupan yang jauh lebih ideal lagi, yakni bagaimana setiap manusia bisa mendayagunakan akal dan pikirannya berdasar idealisme tertentu. Dalam konteks ini, politikus adalah manusia-manusia yang memikirkan persoalan-persoalan yang jauh lebih besar, dari sekadar kebutuhan primer, sekunder, dan tersier sebagai manusia. Dalam bahasa yang lebih populis, politikus adalah negarawan ketika berpikiran tentang generasi terdahulu dan generasi yang akan datang.
Kalau dibandingkan dengan masa lalu, dari sisi ekonomi, politikus zaman sekarang jauh lebih kaya ketimbang politikus generasi founding fathers and mothers. Haji Agus Salim, misalnya, terkenal dengan adagium leiden is lijden (memimpin adalah menderita). Sampai akhir hayatnya, Agus Salim adalah sosok singa podium tua yang hidup di kamar kontrakan, tempat ia mendidik anakanaknya tanpa menempuh pendidikan formal.Tentu, semakin jarang politikus seperti itu di zaman ini.Tapi kita perlu mengingat terus betapa pernah ada sosok-sosok penting politikus di masa lalu yang kehidupan ekonominya begitu parah namun hadir sebagai negarawan-negarawan ulung.
Wajah politikus zaman ini dikenal glamor, menjadi selebritas, seakan tak kenal penderitaan. Siapa pun yang menjadi politikus pasti tahu betapa publik menganggapnya sebagai lumbung uang yang tak pernah kerontang. Proposal menumpuk, kalau sudah menempati posisi sebagai anggota legislatif atau eksekutif. Bukan hanya para pejabat publik yang terkena stigma sebagai sosok yang kaya, tapi juga orangorang yang dikenal sebagai politikus.
Maka, tidak mengherankan, untuk memenuhi kebutuhan di luar keluarganya, sejumlah politikus menempuh jalan keliru. Salah satunya adalah menjadi koruptor, baik kecilkecilan maupun besar-besaran, sendirian atau berjemaah. Sementara itu, mereka yang tiba-tiba mendapati kenyataan sudah naik kelas pada posisi yang tinggi, menjadi anggota parlemen, misalnya, membius diri dengan tingkah laku bagaikan orang kaya baru: mengisap narkoba dan berbelanja barang-barang mahal. Bukannya semakin dekat dengan kepentingan nurani rakyat, malahan politikus jenis ini mengalami kedangkalan pemaknaan peran di publik.
Karena itu, tidaklah aneh bila terjadi lompatan-lompatan pemikiran untuk tetap berada dalam posisi sebagai elite masyarakat itu. Salah satu cara yang ditempuh adalah menjadi politikus “lompat katak”.
Yang masuk kategori ini adalah politikus yang menendang ke bawah, berpegang ke atas, sembari berharap ada kedudukan yang lebih nyaman. Partai-partai politik yang dikejar adalah yang sedang berada dalam posisi berkuasa. Maka, jarang kita mendengar kader-kader yang memilih masuk ke partai yang lebih kecil seperti yang dilakukan sahabat saya, Dr Yuddy Chrisnandi, yang memutuskan menjadi elite di Partai Hanura.
Tentu kategori lompat katak tidak termasuk dalam kategori kader-kader yang secara kolektif membangun ide-ide baru. Kerja kolektif jauh lebih rumit dari sekadar memperdagangkan posisi politik bagus, lalu pindah-pindah partai. Makanya, saya jauh lebih mengapresiasi kehadiran Partai Nasdem ketimbang melihat politikus yang terus melakukan akrobat ketika berada dalam posisi sebagai pejabat negara. Walaupun memang pergulatan menjadi politikus terasa jauh lebih keras disbanding kalangan yang lain, katakanlah kaum profesional di sebuah perusahaan lokal yang dibajak perusahaan multinasional, tetap saja ada nilai-nilai yang dijaga oleh politikus ketimbang sekadar karier dalam jabatan-jabatan publik.
Justru seorang politikus yang sedang menduduki posisi sebagai pejabat public haruslah terkesan “melepaskan diri”dari partai politik tertentu. Seorang menteri yang saya temui mengatakan: “Jangankan mengurus partai, mengurus pekerjaan sebagai menteri saja waktu saya tidak cukup.”Saya bertemu dengannya di meja kerjanya pada pukul 21.00 lewat. Sambil berbicara, menteri ini sibuk menandatangani sejumlah berkas yang disodorkan sekretarisnya. Dia sama sekali tidak memandang mata saya, sebagaimana dulu sebelum dia menjadi menteri.
Maka, saya menemukan sebuah kesimpulan. Pejabat publik jauh lebih ditakuti ketika tidak menyandarkan diri kepada partai politik tertentu. Sekalipun memiliki preferensi politik, sebagaimana manusia dewasa umumnya, jauh lebih baik bila sang pejabat publik itu tidak secara terbuka memilih berada di partai politik tertentu. Jadi, alangkah janggalnya bila yang terjadi adalah berpindah partai politik ketika sedang menjabat. Sang pejabat publik itu tidak hanya telah menghilangkan jasa partai yang mengusungnya atau parpol semula, tetapi juga menghancurkan sistem kaderisasi di partai baru yang ia masuki.
Sejumlah pemikiran untuk menghambat kader lompat katak ini dengan mengubah undang-undang juga tidak perlu. Manusia sulit dicarikan pagar, apalagi politikus. Justru akan semakin mengerdilkan posisi politikus apabila persoalan berpindah partai ini saja dibuatkan regulasinya. Dalam proses pendewasaan berpolitik dan berdemokrasi, jauh lebih baik apabila politikusnya sendiri yang membatasi diri dan mengukur sejauh mana area yang hendak dijelajahi.
Dunia politik adalah lautan dalam, jarang yang bisa tetap berada di atas samudra, malah kebanyakan tenggelam.