SELAMAT DATANG
Selamat Datang di Blog Pribadi Atma Winata Nawawi
Rabu, 24 Desember 2008
MENGAPA PARA JENDERAL PERGI?
Mon, 16 Nov 1998 03:45:51 GMT
MENGAPA PARA JENDERAL PERGI?
HANIBAL W. Y. WIJAYANTA
-
ABRI DINILAI TIDAK CEPAT BERTINDAK UNTUK MENCEGAH KERUSUHAN MEI.
PADAHAL, APARAT INTELIJEN TELAH MEMPREDIKSINYA. PARA JENDERAL MALAH
PERGI KE MALANG.
Jelaga misteri tampaknya begitu lengket menggumpal di sekitar fakta
Kerusuhan 13-15 Mei lalu. Saking lengketnya, Tim Gabungan Pencari
Fakta (TGPF) pun gagal mengidentifikasi secara jelas: siapa saja
yang harus bertanggung jawab dalam tragedi ini. Mereka bahkan
menciptakan kontroversi dengan memasukkan pertemuan di Makostrad
pada 14 Mei 1998--dalam rekomendasi laporan akhirnya--sebagai urusan
yang patut dicermati.
Sebenarnya, TGPF sudah mulai memasuki wilayah sensitif yang selama
ini sulit diungkap. Hal itu terlihat pada temuan data dan keterangan
sejumlah pejabat ABRI yang diminta kesaksiannya. Sehingga, pada
kesimpulan keempat disebutkan adanya keterlibatan banyak pihak,
mulai dari preman lokal, organisasi politik, massa, hingga
keterlibatan sejumlah anggota dan unsur dalam tubuh ABRI. Sebagai
pihak yang bertanggung jawab atas keamanan, ABRI dinilai tidak cukup
bertindak untuk mencegah terjadinya kerusuhan.
Pada Mei itu, sebetulnya, Kodam Jaya masih menggelar Operasi Mantap
tahap III, sebagai kelanjutan operasi pengamanan pemilu
1997. "Operasi ini dimulai dari Sidang Umum hingga 30 Juni 1998,"
kata Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, Panglima Kodam Jaya, dalam
kesaksiannya. Dalam operasi ini, ia berstatus sebagai Panglima
Komando Operasi (Pangkoops). Sementara, Mayjen Hamami Nata, Kepala
Kepolisian Daerah Metro Jaya, menjadi wakilnya. "Dalam eskalasi
rendah, polisi di depan. Tapi, dalam eskalasi tinggi, dia akan
bermain dengan Koops Jaya," ujar Hamami kepada TGPF.
Menurut temuan TGPF, sebenarnya, aparat intelijen telah mencium bau
eskalasi berupa ancaman kerusuhan sejak 18 April 1998. Saat itu,
Mayor Jenderal Zacky Anwar Makarim, Kepala Badan Intelijen ABRI
(BIA), menyelenggarakan rapat koordinasi intelijen bersama pimpinan
Kostrad, Danjen Kopassus, dan Kapolda. Zacky pun telah
memperingatkan Pangdam Jaya.
Pada 11 Mei, BIA membaca eskalasi demonstrasi dan gerakan massa
semakin meningkat cepat. Karena itu, Kepala BIA memberikan
peringatan dini kepada para aparat. "Cegah timbulnya martir,"
ujarnya.
Sebab, dengan adanya martir, situasi akan semakin memburuk dengan
cepat. "Prediksi kami, kondisi itu akan memuncak pada 20 Mei," ujar
Zacky. Di masyarakat memang telah beredar ajakan untuk turun ke
jalan pada Hari Kebangkitan Nasional tersebut.
Tapi, dugaan Zacky meleset. "Martir" muncul pada 12 Mei, dalam
insiden penembakan di Universitas Trisakti yang menewaskan 4 orang
mahasiswa. "Jatuhnya korban ini mempercepat situasi itu," ujar
Zacky. Ketika itu, Pangkoops segera memerintahkan kondisi siaga
satu. Kekuatan pasukan Koops Jaya saat itu, menurut Sjafrie, baru 61
Satuan Setingkat Kompi (SSK).
Ketika insiden penembakan mahasiswa di Trisakti terjadi, Pangkostrad
Letnan Jenderal Prabowo tengah berada di Bogor. Ia mengaku tahu
berita itu setelah ditelepon Sjafrie antara pukul 19.00-20.00. "Dari
situ kita sudah memperkirakan bahwa situasi di Jakarta akan
meledak," ujar Prabowo kepada TGPF. Malam itu juga, ia ke Makostrad
dan memberi perintah kepada stafnya untuk siap-siap menerima pasukan.
Keesokan harinya, 13 Mei, situasi makin memburuk. Meskipun, situasi
masih bisa dikendalikan saat pemakaman korban penembakan, upaya
pengamanan akhirnya jebol juga. Percikan kerusuhan dan penjarahan
mulai berkobar di berbagai tempat. Padahal, saat itu, jumlah pasukan
telah bertambah menjadi 112 SSK. "Atas perintah Pangkoops, saya
segera menghubungi seluruh Kotama Operasi untuk dapat membantu
mengerahkan pasukan," demikian kesaksian Brigadir Jenderal Sudi
Silalahi, Kasdam Jaya ketika itu.
Menurut sebuah sumber FORUM, hari itu, beberapa kali Sjafrie
mengontak Panglima ABRI Jenderal Wiranto untuk meminta
brifing. "Namun, sama sekali tak ada perintah apa pun," ujar sang
sumber.
Aparat kepolisian yang berada di lapanganlah yang paling sengsara.
Maklumlah, mereka menjadi sasaran kemarahan massa. Tragisnya, di
saat mereka mati-matian mempertahankan diri, aparat dari satuan lain
justru terkesan tak acuh. Bahkan, di Jalan Galur, Jakarta Pusat,
satuan Brimob sempat hampir bentrok dengan Marinir. "Sangat ironis,"
kata Hamami. Hal itu diakui Sjafrie. "Koordinasi ini tidak bagus,"
ujarnya.
Melihat situasi makin gawat, Pangkoops Jaya memutuskan untuk
memindahkan posisi pos koordinasi ke Markas Komando Garnizun Ibu
Kota di Jalan Medeka Timur, Jakarta Pusat. "Di situ, pasukan dari
Kostrad, Kopassus, dan Marinir, semua memperkuat kita untuk
mempercepat kita berbenah," kata Sjafrie. Tapi, hari itu juga,
Hamami melapor kepada Kapolri Jenderal Dibyo Widodo, bahwa ia tidak
sanggup menghadapi situasi amuk massa. "Situasi ini harus sudah
diambil alih Pangab," ujarnya.
Dari data yang dikumpulkan TGPF, ditemukan fakta bahwa di beberapa
tempat, kerusuhan dipicu sekelompok provokator. Mereka datang dengan
mobil dan tampak terlatih. Aksi mereka kemudian diikuti massa aktif,
maupun massa pasif yang semula sekadar menonton kerusuhan. Meski
dalam kondisi moral yang anjlok, polisi masih mampu menangkap 2.500
perusuh. Tapi, situasi tak juga reda. Bahkan, di Tangerang, Jakarta
Barat, dan Cengkareng pembakaran dan penjarahan makin gawat.
Tapi, di luar urusan kerusuhan, pada 14 Mei ternyata tetap
berlangsung upacara serah terima Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC)
dari Divisi II Kostrad di Malang, Jawa Timur. Pangab sudah setuju
berangkat untuk menjadi inspektur upacara. Namun, melihat situasi
makin memburuk, Prabowo segera menghubungi Mabes ABRI, pada 13
Mei. "Saya menyarankan supaya upacara ditunda," ujar Prabowo. Konon,
menurut sumber FORUM, ia meminta penundaan sampai beberapa kali.
Tapi, Mabes ABRI tetap pada rencana semula. Pangab tetap akan
hadir. "Saya juga tanya, apa Pangkostrad hadir juga di Malang, apa
tidak sebaiknya di Jakarta," ujar Prabowo. Tapi, keputusan Mabes
ABRI: Pangkostrad tetap ke Malang. KSAD Jenderal Subagyo H.S. juga
turut ke sana. Padahal, dalam keterangannya kepada TGPF, Kepala BIA
menegaskan bahwa karena peristiwa penembakan di Trisakti, semua
pasukan harus siaga satu. "Pangab juga sama. Tidur di kantor begitu
korban jatuh, itu automatically," kata Zacky. Apalagi, penyerahan
pasukan di Malang itu pun sebenarnya cukup dilakukan Panglima Divisi.
Dan, pagi hari 14 Mei, rombongan Pangab, KSAD, Pangkostrad dan
sejumlah perwira staf berangkat ke Malang dari Pangkalan Udara TNI
AU Halim Perdanakusumah. Namun, upacara penyerahan pasukan di Malang
itu dipercepat. "Kami dengar ada telepon ke Pangab, di ruang VIP,
saya dengar itu Menkopolkam atau apa, menelepon, pokoknya situasi
memburuk di Jakarta," kata Prabowo.
Kondisi Jakarta sudah gawat saat itu. Pangkoops kemudian memperkuat
pasukan sehingga tergelar 142 SSK. Kendaraan tempur pun bertambah:
pada 12 Mei hanya 7 unit, menjadi 25 unit pada 13 Mei, lalu menjadi
154 unit hari berikutnya. Namun terlambat karena massa sudah tumpah
ruah. "Rasio pasukan tidak cukup," ujar Sutiyoso, Gubernur DKI.
Sekitar pukul 12.30, masih 14 Mei, rombongan dari Malang kembali ke
Jakarta. Prabowo langsung ke Makostrad. Ia bertemu Sjafrie di Mako
Garnizun menanyakan situasi, lalu mengajaknya keliling Jakarta
dengan helikopter. "Di situ, kita lihat banyak gedung dibakar
massa," tutur Prabowo. Menurut sumber FORUM, saat itu pula Pangab
Wiranto pun terbang dengan helikopter.
Setelah mendarat, Prabowo segera berangkat ke gedung ICMI di Jalan
Kebon Sirih. Beberapa hari sebelumnya ia sudah berjanji akan ketemu
dengan Ahmad Tirtosudiro, Ketua Umum ICMI. "Saya berharap dia bisa
kasih statement untuk menenangkan massa," ujar Prabowo. Tapi sayang,
Ahmad Tirto tidak berada di sana. Menurut sumber FORUM, Prabowo juga
mengontak beberapa ulama untuk janjian bertemu.
Dari Kebon Sirih, Prabowo langsung ke Makoskogar untuk memberikan
beberapa saran kepada Pangdam Sjafrie. "Frie, di Thamrin enggak ada
pasukan," ujarnya. Ia menyarankan agar semua panser yang mangkal di
depan Dephankam disuruh patroli sepanjang Jalan Sudirman-
Thamrin. "Saya ikut satu panser sama Pak Sjafrie dan Dankopassus,"
ujarnya.
Setelah berpatroli dengan panser, mereka kembali ke Makostrad.
Soalnya, Prabowo berjanji bertemu dengan Adnan Buyung Nasution,
Setiawan Djodi dan kawan-kawan. Setelah pertemuan itu usai, Prabowo
mengikuti brifing di Makostrad sampai dini hari. "Itulah brifing
pertama yang digelar Pangab Wiranto sejak kerusuhan berlangsung,"
ujar sebuah sumber. Dan, saat itu, sebagian Jakarta sudah menghangus.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar