Donny Gahral Adian |
Realitas kepartaian di republik ini belakangan ini dapat diringkas dalam satu kata: absurd. Betapa tidak? Kasus perseteruan Gubernur Jawa Tengah dengan Wali Kota Solo membuktikannya.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai partai wong cilik menghasilkan dua kader yang berbeda 180 derajat. Yang satu pro-pengusaha mal, sedangkan yang lain pro-pasar tradisional. Jelas ini menunjukkan betapa partai tidak berfungsi sebagai sekolah ideologis bagi kadernya. Partai hanya angkutan kota yang dibeli tiketnya untuk pemilihan kepala daerah. Partai angkot melahirkan oportunis yang sewaktu-waktu dapat balela terhadap disiplin ideologis partainya.
Tiga gejala
Kepartaian kita sekarang sungguh sedang diuji habis-habisan oleh publik. Perilaku amoral kader membuat publik menyalahkan partai sebagai produsennya. Alhasil, sentimen antipartai pun menjadi bahasa politik resmi dewasa ini. Sentimen antipartai menghasilkan tiga gejala. Pertama, apatisme akut terhadap sistem kepartaian. Kedua, keinginan untuk merancang sistem perekrutan kepemimpinan publik tanpa partai. Ketiga, perjuangan kepartaian alternatif untuk memunculkan kepemimpinan alternatif.
Gejala pertama tidak akan membawa kita ke mana-mana, kecuali memenuhi publik dengan sumpah serapah politik. Seluruh media disesaki dengan keprihatinan dan kemuakan terhadap tingkah polah kader-kader partai. Ini bagus sebagai tanda bahaya bagi partai politik. Namun, dalam jangka panjang, sentimen antipartai hanya akan menggadaikan demokrasi pada riuh rendah suara publik tanpa partitur. Demokrasi tanpa partai bakal kehilangan disiplin ideologisnya. Setiap peristiwa dikomentari secara parsial, dangkal, dan banal.
Gejala kedua pun tak jauh berbeda. Sistem perekrutan kepemimpinan tanpa partai mungkin menghasilkan pemimpin berintegritas. Namun, politik tak melulu perkara integritas. Memilih presiden tidak sama dengan memilih pemimpin pondok pesantren. Politik adalah perkara keputusan, bukan kepatutan. Keputusan di sini bukan sesuatu yang liar, melainkan maujud dari komitmen berkelanjutan terhadap ideologi. Presiden alternatif yang moralis akan sibuk mematut diri di depan kaca etis tanpa memutuskan apa-apa.
Gejala ketiga menunjukkan betapa republik ini dihantui oleh satu jenis partai. Partai jenis ini dibangun untuk meloloskan orang. Partai jenis ini sedari awal berwatak oportunistis. Orang dari beragam latar belakang ideologis bersatu untuk mengusung tokoh tertentu sebagai pemimpin politik. Absennya kohesi ideologis dikompensasi oleh syahwat politik jangka pendek. Partai tanpa kohesi ideologis hanya akan berjualan tokoh dan berharap mendapatkan berkah suara dari tokoh yang diusungnya. Ideologi urusan belakangan. Alhasil, pemimpin yang dihasilkan tidak memiliki ikatan ideologis apa pun dengan partai pengusungnya.
Demokrasi materi
Tiga gejala di atas sungguh merawat iklim politik republik untuk senantiasa berada dalam ruang hampa ideologi. Politik berubah menjadi ajang perebutan kekuasaan tanpa gagasan. Tak heran mengapa seorang gubernur jebolan partai wong cilik bisa berkhianat terhadap ideologi partainya sendiri. Kekuasaan yang didapat secara oportunistis akan dijalankan secara oportunistis pula. Partai tidak berfungsi sebagai sekolah ideologis bagi kader, melainkan tempat indekos yang sewaktu-waktu dapat ditinggalkan.
Tanpa kepartaian yang menjalankan fungsi ideologisnya, demokrasi menjadi sangat material. Demokrasi, seperti disinyalir Badiou, kehilangan transendentalitas dan tereduksi menjadi tubuh serta bahasa. Artinya, demokrasi menjadi sekadar perang opini antarindividu dengan beragam keinginannya. Etika toleransi yang dikembangkan demokrasi liberal menghasilkan kemajemukan yang mana tidak ada tempat bagi militansi terhadap kebenaran. Sementara demokrasi tidak sekadar berisikan tubuh dan bahasa. Demokrasi bukan sekadar beragam cara berada dan cara mengartikulasikan kenyataan. Relativisme tersebut tidak membuka kemungkinan terhadap transendensi seperti peristiwa dan kebenaran. Demokrasi kehilangan disiplin ideologisnya.
Persoalan upah minimum, misalnya, menjadi debat publik dengan perspektif kepentingan yang berbeda: majikan, buruh, LSM, dan partai politik. Setiap kepentingan berkeras dengan opini masing-masing dan membisu ketika dihadapkan pada universalitas. Alih-alih secara militan memperjuangkan kebenaran universal dan menciptakan kebaruan, demokrasi liberal sekadar memberi ruang bagi debat kusir tanpa ujung. Militansi digeser oleh opini.
Sengketa antara Wali Kota Solo dan Gubernur Jateng soal pembangunan mal bukan sengketa opini. Sengketa ini adalah sengketa antara kebenaran dan kepentingan. Wali Kota Solo berkukuh dengan kebenaran universal Marhaen, yakni pembelaan terhadap harkat hidup orang kecil. Beliau sudah secara militan mempertontonkan betapa di tangannya ideologi dapat berkaki. Beliau membuktikan betapa demokrasi bukan sekadar tubuh dan bahasa, melainkan juga kebenaran. Disiplin ideologis seperti ditunjukkan Wali Kota Solo sepertinya barang langka di arena politik republik dewasa ini.
Militansi ditempa di kawah candradimuka ideologis bernama partai. Karakter semacam itu, sayangnya, tidak diperoleh di sekolah pemerintahan atau pengalaman memimpin lembaga keuangan internasional. Dengan demikian, partai jangan buru-buru dibuang, melainkan cukup dibenahi mesin ideologisnya. Mesin partai saat ini sering kali hanya mencetak tubuh dan bahasa, bukan kader yang terorganisasi secara ideologis. Alhasil, partai pun, secara absurd, dapat menghasilkan dua produk yang kontradiktoris: kader bertenaga ideologis atau dia yang lumpuh di hadapan rupiah.
Perbaikan kepartaian adalah jalan keluar dari absurditas kepartaian sekaligus demokrasi yang diderita republik ini. Sebab, persoalan yang diderita PDI-P ternyata juga dialami partai-partai lain. Kasus Nazaruddin, misalnya. Partai Demokrat yang mengusung agenda antikorupsi ternyata tidak dapat menjaga kebersihan etis kadernya. Hampir semua partai tersandera sindrom partai angkot yang merusak kaderisasi dan meritokrasi, bahkan partai yang konon menjunjung kebersihan dan profesionalitas. Dasar agama yang dijadikan landasan politik sebagian partai terbukti tidak dapat mencegah politik koruptif para kadernya.
Untuk itu, lupakan segenap metode politik lain yang hanya akan membawa kita ke ruang hampa ideologis dan demilitansi demokrasi. Bangsa ini masih terlalu muda dan berisiko untuk eksperimentasi politik seperti calon presiden independen. Bangsa ini tidak dapat dijalankan dengan mimpi dan utopia. Partai sebagai modal politik yang nyata dan terukur masih dapat diharapkan. Ibarat mobil jip tua, partai masih bisa turun mesin setengah, seluruhnya, atau ganti mesin baru. Mungkin saya salah. Namun, apakah Anda berani bertaruh?
Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Politik Posmodern Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar