Apakah Indonesia memiliki target penggunaan energi dari berbagai sumber (energy mix)? Punya. Bahkan, target itu sudah terwujud dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Keputusan ini menyebutkan, pada 2025 penggunaan minyak bumi hanya 20 persen dari total konsumsi energi yang digunakan. Sedangkan gas alam 30 persen, batu bara 33 persen, biofuel (biodiesel dan bioetanol) 5 persen, panas bumi 5 persen, air 5 persen, dan sisanya sumber energi lainnya.
Untuk mencapai energy mix itu bukanlah hal mudah. Hingga saat ini, belum ada rencana induk detail di setiap tahunnya. Saat ini, minyak masih mendominasi 50 persen konsumsi energi, gas bumi hampir 30 persen, batu bara sekitar 15 persen.
Ketergantungan terhadap minyak bumi yang tinggi itu membuat subsidi energi terus membengkak. Pasalnya, kendati lebih mudah didapat, harga minyak dunia terus melambung tinggi. Sedangkan Indonesia masih mengimpor minyak bumi dan bahan bakar minyak. Tidak heran jika sekitar 15-20% anggaran negara habis untuk subsidi energi, terutama listrik dan BBM.
Terakhir, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memperkirakan, subsidi listrik pada 2012 akan mencapai Rp 58,72 triliun — naik Rp 10 triliun dari tahun ini.
Untuk menurunkan penggunaan bahan bakar minyak, tentu saja kita harus secepatnya berganti ke sumber energi lainnya. Salah satu yang paling memungkinkan adalah memperbanyak pemanfaatan gas bumi, yang secara ekonomi lebih murah ketimbang minyak bumi.
Hanya saja hal itu lagi-lagi juga bukan pekerjaan enteng. Hingga saat ini, sekitar 1.500 MMSCFD (million standard cubic feet per day) kebutuhan gas domestik tidak dapat dipenuhi. Rencana induk energi yang tak jelas membuat kerangka pengembangan gas juga gelap.
Pemerintah sepeti tak memiliki manajemen pasokan gas nasional. Saat ini, lebih dari 50 persen produksi gas nasional justru diekspor. Padahal, permintaan konsumen domestik terus meningkat.
Namun, masalah gas nasional sebenarnya tidak semata-mata masalah penyediaan pasokan tapi juga manajemen transportasi (yang mencakup infrastruktur penyaluran gas). Ini penting untuk menjaga pasokan gas nasional terjaga dengan baik.
Hal yang sama berlaku pula pada pengembangan energi baru dan terbarukan. Target peningkatan penggunaan biodiesel hingga 10 persen tidak tercapai. Hingga saat ini, Pertamina masih menjual biosolar dengan campuran minyak nabati di bawah 10 persen. Adapun untuk panas bumi, baru 4,1% dari 29.038 MW potensi yang dimanfaatkan.
Rencana induk energi yang jelas memang mendesak dibuat. Tentu saja bukan sekadar peta di atas kertas, melainkan peta yang bisa menuntun implementasi manajemen energi di lapangan.
Keputusan ini menyebutkan, pada 2025 penggunaan minyak bumi hanya 20 persen dari total konsumsi energi yang digunakan. Sedangkan gas alam 30 persen, batu bara 33 persen, biofuel (biodiesel dan bioetanol) 5 persen, panas bumi 5 persen, air 5 persen, dan sisanya sumber energi lainnya.
Untuk mencapai energy mix itu bukanlah hal mudah. Hingga saat ini, belum ada rencana induk detail di setiap tahunnya. Saat ini, minyak masih mendominasi 50 persen konsumsi energi, gas bumi hampir 30 persen, batu bara sekitar 15 persen.
Ketergantungan terhadap minyak bumi yang tinggi itu membuat subsidi energi terus membengkak. Pasalnya, kendati lebih mudah didapat, harga minyak dunia terus melambung tinggi. Sedangkan Indonesia masih mengimpor minyak bumi dan bahan bakar minyak. Tidak heran jika sekitar 15-20% anggaran negara habis untuk subsidi energi, terutama listrik dan BBM.
Terakhir, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memperkirakan, subsidi listrik pada 2012 akan mencapai Rp 58,72 triliun — naik Rp 10 triliun dari tahun ini.
Untuk menurunkan penggunaan bahan bakar minyak, tentu saja kita harus secepatnya berganti ke sumber energi lainnya. Salah satu yang paling memungkinkan adalah memperbanyak pemanfaatan gas bumi, yang secara ekonomi lebih murah ketimbang minyak bumi.
Hanya saja hal itu lagi-lagi juga bukan pekerjaan enteng. Hingga saat ini, sekitar 1.500 MMSCFD (million standard cubic feet per day) kebutuhan gas domestik tidak dapat dipenuhi. Rencana induk energi yang tak jelas membuat kerangka pengembangan gas juga gelap.
Pemerintah sepeti tak memiliki manajemen pasokan gas nasional. Saat ini, lebih dari 50 persen produksi gas nasional justru diekspor. Padahal, permintaan konsumen domestik terus meningkat.
Namun, masalah gas nasional sebenarnya tidak semata-mata masalah penyediaan pasokan tapi juga manajemen transportasi (yang mencakup infrastruktur penyaluran gas). Ini penting untuk menjaga pasokan gas nasional terjaga dengan baik.
Hal yang sama berlaku pula pada pengembangan energi baru dan terbarukan. Target peningkatan penggunaan biodiesel hingga 10 persen tidak tercapai. Hingga saat ini, Pertamina masih menjual biosolar dengan campuran minyak nabati di bawah 10 persen. Adapun untuk panas bumi, baru 4,1% dari 29.038 MW potensi yang dimanfaatkan.
Rencana induk energi yang jelas memang mendesak dibuat. Tentu saja bukan sekadar peta di atas kertas, melainkan peta yang bisa menuntun implementasi manajemen energi di lapangan.
Thonthowi Djauhari memulai pengalaman jurnalistiknya sejak 1996. Ia pernah bertugas di Republika, Tempo, dan kini menjabat deputi redaktur pelaksana harian Jurnal Nasional. Ia mengikuti isu-isu energi dan sumber daya mineral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar