"Mereka menenteng senjata, mereka menembak rakyat, tapi kemudian bersembunyi di balik keteng kekuasaan....
Apakah akan kita biarkan orang-orang itu tetap gagah..??
Mereka harus bertanggung jawab, sampai detik manapun..!!”
Itu adalah sekelumit dari orasi Munir Said Thalib, sebelum beberapa minggu dia meninggal. Hingga tahun ke tahun sampai saat ini kematiannya masih menyisakan misteri. Kenapa, mengapa, alasan apa, seorang Munir kemudian mati secara mendadak, dan kemudian diketahui bahwa kematianya disebabkan oleh racun Arsenic dalam kadar tinggi. Juga diketehaui belakangan, bahwa kematian Munir sengaja atau direncanakan oleh berbagai pihak yang tidak menyenanginya.
Lantas siapa yang tidak menyenangi Munir, dan kenapa dia tidak disenangi?
Munir Said Thalib, SH lahir di Malang , Jawa Timur, 8 Desember 1965. Kepergiannya meninggalkan seorang istri bernama Suciwati dan dua orang anak bernama Sultan Alief Allende dan Diva. Sebelum menceburkan diri secara penuh dalam dunia ”aktivis”, dia sempat bekerja di sebuah perusahaan persewaan sound system dan menjual alat-alat elektronik. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang tahun 1985 ini, memulai karirnya di LBH Pos Malang. Ia masuk sebagai sukarelawan di LBH Pos Malang tahun 1989. Munir memulai seluruh kerjanya dari "basis" buruh dan petani.
Kemudian Munir pindah ke Surabaya dan menjadi Koordinator Divisi Perburuhan dan Divisi Hak Sipil Politik LBH. Tahun 1993 Munir diangkat menjadi Ketua Bidang Operasional LBH Surabaya sampai 1995. Karir Munir di LBH terus berlanjut. Usai menjabat Ketua Bidang Operasional LBH Surabaya, ia dipromosikan menjadi direktur LBH Semarang. Ia hanya tiga bulan di Semarang, kemudian ditarik ke Jakarta menjadi Sekretaris Bidang Operasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Juga, dimana usahanya untuk menguak kasus-kasus, pelanggaran HAM berat masa lalu.
Seperti Tanjung Priok, Talangsari, DOM Aceh, penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I & II, dll.
Itu sekelumit tentang cerita sejarah hidup Munir, dan itu sebabnya mengapa banyak orang menganggap dia sebagai pejuang Hak Asasi Manusia. Ada hal yang menarik ketika beberapa minggu lalu saya melihat gambar wajah munir terpampang dalam sablonan kaos di sebuah FO yang cukup besar di Bandung, lengkap dengan alat patung peraga yang didandani ala model.
Saya jadi teringat dengan icon Ernesto Che Guevara tokoh Revolusioner legendaris abad XX. Dia jadi ikon revolusi yang potretnya melekat di kaos oblong, poster, pin, dan aksesori lainnya. Kalimat "Hasta la victoria siempre!" yang ditulisnya kepada Castro saat meninggalkan Kuba telah menjadi salam heroik anak-anak muda.
Ada pengalaman lucu, ketika suatu saat saya menghadiri pagelaran musik Underground di Bandung, ketika salah satu kelompok musik tampil dan beberapa personelnya memakai kaos bergambar Che Guevara, teman saya bertanya ”Che Guevara itu, vokalis band apa ya..?” Begitupun dengan gambar Munir, ada yang pernah bertanya ”itu fotonya Ucok ya..??” (Ucok adalah Vokalis Band HipHop Underground ”Homicide” yang melegenda dan Cukup kontroversial di Bandung) Karena Band ini pernah membuat aksesoris yang bergambar Munir, juga beberapa karyanya yang memang diperuntukkan untuk almarhum Munir.
Ada kecenderungan sepertinya ketika Ikon-ikon dipakai dan si pemakai merasa dirinya menyatu dengan Ikon yang dipakainya. Misalkan seorang memakai kaos bergambar Che Guevara, serta merta dirinya merasa sudah Revolusioner. Tanpa Sadar si pemakai telah masuk ”perangkap” tak-tik marketing dari si produsen, yang mungkin berlawanan dengan esensi dari Ikon yang dipakainya.
Bukan berarti di sini saya mau mengatakan, jangan memakai ikon-ikon semisal Che Guevara ataupun Munir. Hanya sungguh sayang ketika memakai Ikon tadi kita lupa esensi dari orientasi perjuangannya itu sendiri. Kalau kita berbicara tentang seorang Munir, juga tidak bisa dilepaskan berbicara tentang apa yang pernah ia perjuangkan semasa hidupnya, perjungan tentang penegakan Hak Asasi Manusia. Sampai saat dia meninggal, ada beberapa kasus yang masih menjadi PR bagi penegakan Hak Asasi Manusia di Negeri ini.
Kaitannya dengan bagaimana Munir mencoba membongkar pelanggaran HAM masa lalu, seperti kasus 65, Tanjung Priok, Talangsari, Penembakan Misterius, dll. Atas keberanian dia bersikap membongkar kasus-kasus itu ditengah masih kuatnya Militeisme di negeri ini tidak ayal banyak teror-teror yang dia terima. Dari pengklaiman seorang Yahudi, atau seorang Komunis sekalipun. Menarik ketika kita bicara tentang masalah gerakan Kiri di negeri ini, serta merta gerakan “Kiri” menjadi menakutkan dan dibumbui mitos bahwa gerakan kiri itu komunis, dan komunis pasti atheis, tentu kalau atheis sudah pasti sadis...
Alamak, sebegitu konservatifnya dan sesederhana itukah masalahnya..???
Lantas apakah selain gerakan kiri pasti tidak sadis, belum tentu juga kan..???
Istilah kiri dan kanan dalam percaturan politik biasa terjadi, begitupun di Indonesia. Tentunya tidak serta merta istilah itu ada, tentu kalau kita merunut sejarah akan sebuah istilah kiri dan kanan begitu panjang dan evolutif. Kembali tadi tentang masalah Hak Asasi Manusia, Tentu sisi lain kalau kita juga berbicara masalah Hak Asasi Manusia, adalah bukan semata kepemilikan gerakan kiri ataupun kanan. Hak Asasi Manusia adalah masalah Universal, yaitu hak-hak kodrati setiap manusia. Seperti Hak untuk hidup layak, hak untuk tidak mendapatkan penyiksaan, hak untuk tidak terdiskriminasi, dll.
Ada hal yang menarik, belum lama ini ada ulasan ketika Koordinator Kontras, Usman Hamid menunjukkan dokumen briefing Intelijen di lingkungan komando teritorial TNI yang ditemukan Kontras. Dokumen itu meminta militer mewaspadai gerakan kiri atau komunisme yang berlindung di balik isu pro demokrasi dan penegakan Hak Asasi Manusia. Tentu ini tidak lepas dari peristiwa kontroversial, september 1965.
Terlepas se-kontroversial apapun masalah itu, fakta yang ada pada waktu itu terhitung manusia mati sampai hitungan puluhan ribu bahkan lebih, belum lagi mereka yang dipenjara tanpa proses peradilan, stigmatisasi, pembatasan akses, diskriminasi kewarga negaraan, dll.
Siapa yang bisa membantah itu?
Diperparah lagi ketika gerakan pro demokrasi dan penegakan Hak Asasi Manusia Indonesia saat ini diidentikkan dengan gerakan kiri, sudah barang tentu kemudian dikaitkan mitos turun temurun kiri itu komunis, komunis itu atheis, dan pasti sadis.
Terlalu panjang mungkin ketika harus memaparkan tentang sejarah Hak Asasi Manusia itu sendiri, tapi setidaknya deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makna ganda, baik ke luar (antar negara-negara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing.
Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM sedunia itu harus senantiasa menjadi ”pengayom” untuk rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Mungkin itu pandangan yang terlalu umum ”Eropa/Amerika” sentris. Bagaiamana kita juga bisa melihat bahwa pada dasarnya Hak Asasi Manusia juga menjadi pedoman dari setiap agama yang ada. Kita mengenal konsep Islam dengan Rahmatanlilalamin(rahmat untuk semua alam), atau konsep Kristen dengan kasih sayangnya, ada lagi Budha dengan Welas asihnya, dll Apa yang dilakukan Munir saat itu juga tidak jauh dari apa yang diuraikan diatas, dia mencoba membongkar kejahatan militeristk di negeri ini yang selalu berlindung di balik tameng kekuasaan.
Pertanyaanya kemudian adalah, apakah menjadi semacam pembenaran ketika membunuh, menyiksa, menculik sah dilakukan kalau atas nama Bangsa?
Bukankah pemaksaan Ideologi Tunggal juga bagian dari pelanggaran Hak Asasi Manusia?
Bukankah munculnya kiri dan kanan pasti akan selalu terjadi dalam ranah politik di negeri ini?
Bukankah Hak Asasi Manusia bukan milik dominasi gerakan kiri ataupun kanan?
Bukankah pelanggaran Hak Asasi manusia juga dilakukan oleh gerakan kiri dan kanan di negeri ini?
Bukankah sejarah negeri ini sampai sekarang, adalah sejarah pelanggaran Hak Asasi Manusia, siapapun rezimnya.
Dan, siapa yang bisa membantah itu...????
Bukankah, perjuangan Hak Asasi Manusia tidak akan berhenti, hanya karena Munir mati..???
Alih-alih perjuangan HAM seperti sudah dilakukan, ketika memakai icon Munir di kaos oblong ataupun mengutip pernyataan Munir, takut-takut hanya akan berhenti pada simbolisasi, lebih parah menjadi mitos.
Kalau itu yang terjadi, kita kalah untuk kesekian kali.
Salam....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar