"Dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (QS. 5: 118)
Dalam al-Qur’an, kata Al-Hakim diulang sebanyak 97 kali. Pada umumnya kata tersebut dipakai untuk menyifati Allah swt, sebagian lagi menyifati Al-Qur’an, dan ketetapan Allah.
Dalam al-Qur’an, kata Al-Hakim diulang sebanyak 97 kali. Pada umumnya kata tersebut dipakai untuk menyifati Allah swt, sebagian lagi menyifati Al-Qur’an, dan ketetapan Allah.
Sebagian besar Al-Hakim digandengkan dengan Asma Allah yang lain,
sekitar 45 kali digandengkan dengan “Al-Aziz, sebanyak 35 kali dengan
“Al-Alim”, 4 kali dengan “Al-Khabir”, dan masing-masing sekali dengan
“At-Tawwab”, “Al-Hamid”, “Al-‘Aliy”, dan “Al-Wasyi’”.
Al-Hakim merupakan bentuk superlative, yaitu suatu bentuk pengagungan
atas Dzat yang memiliki semua kearifan, karenanya Dia Mahabesar dalam
segala kebijaksanaan-Nya. Dia Mahabijaksana dalam menciptakan segala
sesuatu, dan segala sesuatu dilakukan-Nya secara bijaksana dan sangat
sempurna. Tidak ada yang cacat, semua berjalan “by design”.
Dia sendiri
berfirman: “Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu dengan sia-sia dan kamu tidak dikembalikan (kepada Kami)?” (QS. 23: 115)
Bagi Allah, Wujud Sucinya tidak memungkinkan-Nya untuk melakukan
sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya yang Mulia lagi
Mahabijaksana. Musthil bagi-Nya menciptakan sesuatu yang sia-sia, bahkan
ketika menciptakan seekor nyamuk, sekalipun. “Rabbanaa maa khalaqta
haadza baatila”, Ya Tuhan Kami, tidak ada satupun yang Engkau citakan
itu sia-sia.
Kearifan, kebijaksanaan, atau wisdom adalah cara terbaik untuk
mengetahui sesuatu dengan menggunakan sarana yang terbaik pula. Dia-lah
Allah yang Kebijaksanaan-Nya melampai segala sesuatu, Dia mengetahui
sumber segala sesuatu melalui pengetahuan-Nya yang abadi dan lestari
yang tak seorangpun bisa membayangkan-Nya sebagai wujud yang fana.
Al-Hakim, menurut sebagian Ulama berarti adil dalam penilaian-Nya,
pemurah dalam pengaturan urusan-urusan-Nya, Dzat yang menetapkan ukuran
segala sesuatu sesuai dengan ilmu-Nya, Dzat yang kearifan-Nya memiliki
tujuan yang ultimate, Dzat yang menempatkan segala sesuatu pada
tempatnya. Dialah Allah, yang tak seorangpun bisa mengapresiasi Kemahabijaksanaan-Nya kecuali diri-Nya.
Sebagian Ulama juga mengartikan Al-Hakiim dengan pengertian bahwa Allah mengetahui kebenaran secara mutlak dan bertindak berdasarkan pengetahuan itu secara mutlak pula. Tindakan atau amalan tanpa ilmu berarti kesesatan, sedangkan ilmu tanpa amalan adalah kesia-siaan.
Bagaimanapun sedikitnya kadar hikmah yang dikaruniakan kepada
seseorang, itu sangat berarti bagi mereka. Hikmah adalah karunia yang
amat besar setelah ilmu. Allah berfirman:
“Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah itu, maka benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.” (QS. 2: 269)
“Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah itu, maka benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.” (QS. 2: 269)
Begitu bernilainya hikmah bagi kehidupan manusia di dunia ini, maka
Nabi Ibrahim as senantiasa berdo’a: Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku
hikmah. (QS. 26: 83). Jika Nabi Ibrahim yang dikenal bijaksana itu masih
berdo’a agar dikaruniai hikmah, bagaimana dengan kita?
Hikmah adalah mutiara kepemimpinan. Nabi Daud ditunjuk sebagai
pemimpin kaumnya karena memiliki hikmah. Allah berfirman: “Kami
karuniakan kepadanya kebijaksanaan dan (kekuatan) dalam menghakimi
persoalan.” (QS. 38: 20). Sebagai gambaran konkrit orang yang menyandang
himah adalah Nabi Muhammad saw sebagaimana terangkum dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Allah melimpahkan karunia-Nya kepada orang-orang yang
beriman ketika Dia mengutus di antara mereka seorang Rasul (Muhammad)
dari kalangan mereka sendiri, untuk mebacakan kepada mereka
ayat-ayat-Nya, dan untuk menyucikan mereka, dan untuk mengajarkan kepada
mereka al-Kitab(Al-Qur’an) dan al-Hikmah. Sebelumnya mereka berada
dalam kesesatan yang nyata.” (QS. 3: 164)
Saat ini banyak pemimpin yang pandai, yang memiliki ilmu dan
pengetahuannya sangat banyak dan luas, tapi orang yang bijaksana, yang
memiliki wisdom dan kearifan sangatlah langka. Padahal untuk memimpin,
apalagi pada masyarakat yang majemuk diperlukan kearifan, kebijaksanaan,
dan wisdom.
“Dia (Allah) menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang
al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki. Dan barangsiapa
yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar dianugerahi karunia yang
banyak. Dan orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran
(dari firman Allah).” (QS. 2: 269)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar