Senin pagi ini Dewan Perwakilan Rakyat akan
mengadakan Sidang Paripurna untuk menerima atau menolak Rancangan
Anggaran dan Pendapatan Negara Perubahan 2013 yang diajukan pemerintah.
Pembahasan di tingkat Badan Anggaran sudah selesai hari Sabtu di mana
sembilan fraksi menyetujui peningkatan APBN menjadi sebesar Rp 1.726
triliun.
Perubahan APBN terpaksa dilakukan terutama karena besar
subsidi bahan bakar minyak yang semula ditetapkan Rp 194 triliun tidak
mungkin lagi mencukupi dengan tingkat konsumsi seperti sekarang ini.
Perhitungan yang dilakukan menyebutkan bahwa subsidi BBM akan membengkak
sampai Rp 90 triliun apabila tidak dilakukan penaikan harga.
Pertanyaannya,
apakah kita akan menolelir kenaikan Rp 90 triliun untuk subsidi BBM.
Mayoritas partai politik berpendapat terlalu mubasir kalau kita harus
menambah subsidi BBM sampai Rp 90 triliun. Tetap dianggarkan subsidi
yang lebih besar dari Rp 194 triliun, tetapi tambahannya tidak Rp 90
triliun.
Oleh karena tidak ditambah penuh Rp 90 triliun, maka
beban itu sebagian harus ditanggung masyarakat. Itulah yang membuat
harga BBM bersubsidi akan naik dari Rp 4.500 per liter seperti yang
berlaku sekarang ini. Usulan pemerintah, harga bensin bersubsidi
dinaikkan menjadi Rp 6.500, sementara solar bersubsidi dinaikkan menjadi
Rp 5.500.
Perdebatan itulah yang kita bisa lihat hari Senin
pagi. Bagaimana para anggota DPR akan saling beradu argumentasi tentang
perlunya harga BBM bersubsidi itu dinaikkan atau tidak. Lima partai
politik mendukung kenaikan yakni Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai
Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat
Nasional. Empat partai berada dalam posisi menolak yaitu Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Hati
Nurani Rakyat, dan Partai Gerakan Indonesia Raya.
Kita berharap
perdebatan berlangsung cerdas. Kualitas argumentasi yang disampaikan dan
cara menyampaikannya penting untuk membuat masyarakat menjadi
tercerahkan. Jangan sampai yang terjadi di dalam Sidang Paripurna adalah
pokrol bambu, karena resonansinya akan sampai keluar di mana banyak
kelompok akan melakukan unjuk rasa.
Pada akhirnya semua itu akan
berpulang kepada kehidupan kita sebagai bangsa. Kalau perbedaan yang ada
mampu dikelola dengan baik, maka kita akan bisa menjadi bangsa yang
lebih baik. Namun jika kita hanya mengandalkan otot dan menang-menangan,
maka kita semua akan mengalami kemunduran.
Satu hal yang ingin
kita ingatkan bahwa selama 68 tahun kita merdeka, kita terlalu bertumpu
kepada minyak. Cerita-cerita yang menyebutkan bahwa kita adalah negeri
yang kaya minyak, tidaklah tepat. Kita memang negeri yang kaya energi,
namun energi itu bukanlah minyak.
Menurut Pendiri Kelompok Medco,
Arifin Panigoro, sejak tahun 2004 jumlah produksi minyak kita lebih
rendah dari konsumsinya. Sekarang ini perbedaan itu semakin tinggi, di
mana setiap hari kita harus mengimpor sekitar 750.000 barrel minyak
dalam bentuk mentah maupun jadi. Artinya, untuk menopang kebutuhan
energi masyarakat, kita harus mengimpor 1,2 juta liter setiap harinya.
Kita
akan mengalami kesulitan besar apabila cara pandang pemenuhan kebutuhan
energi itu tidak kita ubah. Kita harus mencari energi alternatif dan
bahkan energi itu haruslah energi yang terbarukan, bukan energi asal
fosil yang tidak bisa terbarukan seperti sekarang ini.
Kita tidak
akan bosan-bosannya untuk mengingatkan agar kita tidak boleh kalah dari
negara seperti Swedia yang berhasil mendiversikasi kebutuhan energi
masyarakatnya. Swedia berhasil mengurangi 50 persen kebutuhan energi
berasal dari minyak untuk digantikan dengan bioenergi.
Padahal
Swedia itu tidak sekaya Indonesia sumber daya alamnya. Ethanol yang
mereka pergunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor juga harus
mereka impor. Tetapi mereka memilih menggunakan ethanol karena selain
bisa terbarukan, ethanol lebih ramah terhadap lingkungan.
Bahkan
yang luar biasa, Swedia menggunakan kayu sebagai energi untuk
masyarakat. Semua ranting, dahan, dan bahkan batang pohon yang tidak
terpakai mereka buat menjadi pelet. Pada musim dingin, semua rumah
tangga menggunakan pelet untuk menghangatkan rumah mereka.
Semua
itu bisa mereka lakukan karena visi pemenuhan energi mereka sangat
jelas. Swedia memilik strategi yang dijalankan secara konsisten oleh
seluruh bangsanya. Mereka tidak terus berkutat pada persoalan harga BBM,
tetapi keluar dengan pikiran yang lebih bernas.
Indonesia
seharusnya bisa lebih hebat dari Swedia. Sebab, kita memiliki sumber
daya alam yang jauh lebih lengkap dari Swedia. Kita punya sinar Matahari
yang bersinar 12 bulan penuh, sementara Swedia hanya 3 bulan dalam
setahun. Kita masih punya air, angin, dan produk pertanian yang bisa
diubah menjadi energi.
Bagi kita sebenarnya tinggal kemauan untuk
melakukannya. Tidak mungkin kita akan mampu memanfaatkan semua kekayaan
alam itu, kalau tidak mau berpikir. Selama kita tidak pernah mau
berpikir alternatif, maka seumur-umur kita akan berkutat dengan minyak
dan lebih ironis berkelahi terus hanya soal harga BBM.