SEBUAH kantor
kecil ternyata bisa bikin para politisi penghuni Kompleks Parlemen Senayan
gerah. Itulah kantor OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Ceritanya,
pada 29 April 2013, pemimpin OPM di Inggris Benny Wenda membuka secara resmi
kantor Free West Papua Campaign di Kota Oxford. Acaranya sederhana, dihadiri
tak lebih dari 50 orang. Tapi jadi berita besar karena reaksi keras pemerintah
dan politisi di Jakarta. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa meminta
klarifikasi sekaligus memprotes langsung Dubes Inggris Mark Canning di Jakarta.
Dari Senayan, nada protes terdengar lebih beragam: panggil Dubes Inggris ke
Komisi I, tutup kantor OPM, dan tarik Dubes Indonesia di London.
Reaksi
keras muncul gara-gara Walikota Oxford menghadiri acara serta ikut menggunting
pita pada peresmian kantor itu. Kehadiran sang pejabat dipersepsikan sebagai
dukungan Pemerintah Inggris terhadap gerakan Papua Merdeka. Padahal sikap Dewan
Kota Oxford sama sekali tidak mewakili pandangan politik luar negeri Inggris.
Persis dukungan seorang anggota parlemen di sana terhadap Papua Merdeka yang
tak bisa dipersepsikan sebagai dukungan Parlemen Inggris secara resmi.
Kita juga
tidak bisa meminta pemerintah Inggris untuk menutup kantor OPM di negara itu.
Sebab, undang-undang di Inggris memang mengizinkan pembukaan kantor itu.
Tidaklah elok jika kita mendesak pemerintah suatu negara untuk melanggar
aturannya sendiri.
Apa yang
terjadi di Inggris sebenarnya juga terjadi di Indonesia. Hizbut Tahrir (HT),
organisasi internasional Islam yang berpusat di London, terlarang di Inggris.
Tapi, tidak demikian di Indonesia. Karena itu, HT mendirikan HTI (Hizbut Tahrir
Indonesia) yang aktif memperjuangkan ide pendirian pemerintah Islam sedunia
yang disebut Khilafah Islamiyah. Beberapa acara HTI pun dihadiri pejabat
pemerintah.
Pemerintah
Indonesia jelas bersalah jika melarang berdirinya cabang Hizbut Tahrir di
Indonesia karena mereka tidak melanggar undang-undang. Juga keliru bila
pemberian izin sekaligus kehadiran pejabat dalam acara HTI dipersepsikan sebagai
dukungan Pemerintah Indonesia atas gagasan Khilafah Islamiyah.
Internasionalisasi
Kasus Papua
Mulanya,
pembukaan kantor OPM di Oxford hanyalah sebuah peristiwa kecil. Hampir tak ada
liputan media. Namun, setelah muncul reaksi keras pemerintah dan DPR, peristiwa
itu bukan hanya digunjingkan media di Indonesia tapi juga oleh media
internasional.
Liputan
media adalah berkah bagi Benny Wenda dan kawan-kawan. Sebab, salah satu agenda
kelompok OPM di luar negeri adalah internasionalisasi kasus Papua. Tujuannya,
membangun kesadaran masyarakat internasional bahwa ada masalah di Papua. Dari
situ mereka berharap ada dukungan dari penjuru dunia terhadap gerakan Papua
Merdeka.
Soal
internasionalisasi kasus Papua ini perlu dipahami Jakarta. Internasionalisasi
bakal selalu mencuat bila di Papua terjadi hal-hal yang buruk semisal kasus
pelanggaran hak asasi manusia, kegagalan pemerintah menyejahterakan rakyat,
kasus korupsi, dan sebagainya. Setiap kebobrokan yang terjadi di Papua akan
digiling sebagai pesan kampanye kelompok Papua Merdeka di luar negeri.
Jika para
pejabat pemerintah dan kalangan DPR di Jakarta tidak ingin terjadi
internasionalisasi kasus Papua, maka rumusnya sederhana: jangan berlaku buruk
di Papua. Lenyapkan kebobrokan, lakukanlah hal baik seperti penegakan hukum dan
penegakan hak asasi manusia. Operasi militer harus dihindari dan diganti dengan
dialog dalam menyelesaikan konflik politik. Berantas korupsi dan sejahterakan
rakyat! Itulah tuntutan masyarakat Papua.
Rumus ini
terbukti efektif dalam kasus penembakan anggota TNI di Puncak Jaya oleh pasukan
TPN OPM (Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka) yang dipimpin
Goliat Tabuni, Februari 2013. Meski berduka karena kehilangan personil militer,
pemerintah menanggapi dengan tenang. Tidak bertindak keras dengan senjata,
pemerintah berupaya mendahulukan proses hukum atas kasus penembakan tersebut.
Hasilnya, aksi
kekerasan TPN OPM dikecam dunia internasional. Bahkan kecaman juga datan dari
negara-negara yang jadi basis kampanye gerakan Papua Merdeka seperti Australia,
Amerika, dan Inggris. Rumus serupa hendaknya dapat diterapkan untuk mengatasi
masalah kantor OPM di Oxford atau di mana pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar