Empat bulan menjelang Pemilu 2014, Poltracking Institute mengeluarkan
hasil survei yang menunjukkan rendahnya party ID. Angkanya hanya 19
persen (Oktober 2013). Survei Charta Politika Indonesia malah lebih
rendah lagi, hanya 13,5 persen (Desember 2013). Party ID atau identitas
kepartaian adalah cara untuk membaca kedekatan antara pemilih dan partai
politik.
Kedekatan ini bermacam, dari kedekatan secara emosional,
ideologi, program, preferensi, hingga kedekatan dalam arti partisipasi.
Dengan rendahnya party ID, berarti juga partai politik berada dalam
ranah yang sepi.
Sebaliknya, masyarakat kian independen dalam menentukan pilihan
politiknya. Individualitas menguat, kolektivitas melemah. Partai politik
yang diharapkan menjadi jangkar bagi pengambilan kebijakan dalam skala
nasional dan lokal hanyalah serpihan daging yang tak berbentuk. Fenomena
ini pada gilirannya melahirkan figur idol, yakni bertumpu di bahu
seseorang yang bahkan bisa mengalahkan infrastruktur partai politik.
Apakah ini pertanda buruk? Yang jelas, lonceng kematian partai
politik sudah ditabuh. Tanda-tandanya kian dekat. Masyarakat Indonesia
begitu cepat masuk ke tahapan yang ultra-liberal dan ultra-demokrasi.
Individu politikus juga begitu, dengan cepat bisa beralih partai
politik, tanpa perlu merasa sebagai pihak yang memiliki kesetiaan.
Padahal, kalender pemilu sudah berjalan. Biasanya, party ID malah
bertambah, menjelang detik-detik pelaksanaan pemilu. Di Indonesia malah
berkurang. Ini tamparan terpenting untuk semua partai politik. Habitat
politikus yang kelihatannya banyak ternyata makin diisi oleh kalangan
profesional yang lebih nyaman dengan pencapaian-pencapaian pribadi
ketimbang yang bersifat kepartaian. Jarang ada catatan betapa
keberhasilan seseorang dalam area publik adalah berkat dukungan dan
sokongan sistem kepartaian. Yang terjadi malah sebaliknya, kedekatan
personal yang bermuara pada sikap oportunis. Loyalitas personal
mengalahkan loyalitas kepartaian, apalagi loyalitas terhadap bangsa dan
negara.
Dalam kasus korupsi, misalnya, publik lebih memilih menghukum
partainya ketimbang orangnya. Korupsi menjadi mesin pembunuh partai
politik, tapi belum tentu membunuh karier politik seseorang. Seorang
terpidana kasus korupsi yang sudah menjalankan hukumannya masih
diperbolehkan menjadi calon anggota legislatif atau eksekutif. Sama
sekali tak ada ketentuan untuk mencabut hak politiknya, kecuali yang
diputuskan oleh hakim. Dalam angka yang dirilis oleh Poltracking
Institute, korupsi menempati angka hampir 50 persen bagi pemilih untuk
tidak memilih partai politikus korup. Partai langsung mendapatkan akibat
langsung dari politikus korup, sekalipun belum tentu sang politikus
memiliki kontribusi terhadap partai yang mengusungnya.
Bagaimana mengatasinya? Komisi Pemberantasan Korupsi sudah
menawarkan satu jalan keluar, yakni disusunnya kode etik kepartaian di
dalam tubuh partai politik. Kode etik itu berupa pakta integritas. Ada
kewajiban bagi setiap politikus yang melanggar kode etik itu untuk
mengundurkan diri dari kegiatan politik praktis, berikut juga statusnya
sebagai fungsionaris dan bahkan anggota partai. Dengan cara itu, partai
politik dihuni oleh anggota dan pengurus yang terjaga integritasnya,
paling tidak dari perkara yang paling mendapatkan perhatian publik,
yakni korupsi. Kode etik ini belum banyak disusun dalam tubuh partai
politik.
Cara lain adalah memberi jeda yang cukup bagi politikus yang mau
mengubah karier politiknya. Misalnya, adanya pembatasan waktu sebelum
seseorang diterima di partai politik lain, setelah menyatakan keluar
atau dipecat oleh partainya.
Bukan hanya pindah partai yang diberikan jeda, tapi juga pindah
daerah pemilihan dalam pemilu legislatif. Bahkan bisa saja diperluas
untuk jabatan-jabatan publik yang lain. Seseorang yang sedang berada di
kursi legislatif sebaiknya tidak serta-merta bisa mencalonkan diri ke
kursi eksekutif, sebelum ada masa yang tepat sesuai dengan janji
kampanye sebelumnya. Seorang kepala daerah yang sedang menjabat dan
ingin maju kedua kalinya perlu diperberat syarat-syaratnya, agar tak
mudah juga berpindah partai pengusung, hanya karena memiliki kekuasaan
yang berlebih.
Tidak mudah menaikkan party ID, sebagaimana juga tidak mudah
menjadi politikus yang memiliki idealisme. Aturan main di tubuh partai
politik membatasi gerak seorang politikus. Belum lagi posisi
strukturalnya di dalam organisasi kepartaian. Maka, kerja sama semua
pihak guna menaikkan jumlah party ID ini menjadi penting, terutama dalam
kaitannya dengan pencarian partai-partai yang ideologis. Dalam spektrum
yang sederhana, ideologi kepartaian terbagi tiga: kiri, tengah, dan
kanan. Ideologi seperti ini bermuara pada banyak pikiran di masa lalu.
Sayangnya, Indonesia belum sampai ke tingkat pembicaraan yang bersifat
ideologis itu, akibat tersingkirnya perdebatan yang lebih kualitatif...
*Merupakan tulisan Indra Jaya Piliang, diambil dari Koran Tempo 31 Desember 2013