Gunung Kawi |
Banyak diantara kita yang langsung terpikir mengindentikan kota Malang dengan Gunung Semeru ataupun Gunung Bromo, memang pasca keluarnya film 5cm di layar lebar, kedua Gunung yang terletak di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BTS) ini menjadi primadona wisata domestik, hal yang agak terlambat karena mengingat kedua gunung ini sejak lama telah menjadi primadona wisata Mancanegara.
Namun sesungguhnya Gunung Kawi lah yang secara posisi paling dekat dengan Kota Malang, gunung ini dapat dinikmati dari tengah kota, seolah menjadi penjaga dan pelindung masyarakat di kota Malang.
Banyak orang yang mengenal Gunung Kawi karena mistisnya, dianggap sebagai tempat persembahan dan mencari kekayaan
Konon, barang siapa melakukan ritual dengan rasa kepasrahan dan
pengharapan yang tinggi maka akan terkabul permintaannya, terutama
menyangkut masalah kekayaan. Mitos seputar pesugihan Gunung kawi ini
diyakini banyak orang, terutama oleh mereka yang sudah merasakan
“berkah” berziarah ke Gunung Kawi. Namun bagi kalangan
rasionalis-positivis, hal ini merupakan isapan jempol belaka.
Biasanya lonjakan pengunjung yang melakukan ritual terjadi pada hari
Jumat Legi (hari pemakaman Eyang Jugo) dan tanggal 12 bulan Suro
(memperingati wafatnya Eyang Sujo). Ritual dilakukan dengan meletakkan
sesaji, membakar dupa, dan bersemedi selama berjam-jam, berhari-hari,
bahkan hingga berbulan-bulan.
Di dalam bangunan makam, pengunjung tidak boleh memikirkan sesuatu
yang tidak baik serta disarankan untuk mandi keramas sebelum berdoa di
depan makam. Hal ini menunjukkan simbol bahwa pengunjung harus suci
lahir dan batin sebelum berdoa.
Selain pesarean sebagai fokus utama tujuan para pengunjung, terdapat
tempat-tempat lain yang dikunjungi karena ‘dikeramatkan’ dan dipercaya
mempunyai kekuatan magis untuk mendatangakan keberuntungan, antara lain:
Guci Kuno. Dua buah guci kuno merupakan peninggalan Eyang Jugo. Pada jaman dulu guci kuno ini dipakai untuk menyimpan air suci untuk pengobatan. Masyarakat sering menyebutnya dengan nama ‘janjam’. Guci kuno ini sekarang diletakkan di samping kiri pesarean. Masyarakat meyakini bahwa dengan meminum air dari guci ini akan membuat seseorang menjadi awet muda.
Pohon Dewandaru. Di area pesarean, terdapat pohon yang dianggap akan mendatangkan keberuntungan. Pohon ini disebut pohon dewandaru, pohon kesabaran. Pohon yang termasuk jenis cereme Belanda ini oleh orang Tionghoa disebut sebagai shian-to atau pohon dewa. Eyang Jugo dan Eyang Sujo menanam pohon ini sebagai perlambang daerah ini aman.
Untuk mendapat ‘simbol perantara kekayaan’, para peziarah menunggu
dahan, buah dan daun jatuh dari pohon. Begitu ada yang jatuh, mereka
langsung berebut. Untuk memanfaatkannya sebagai azimat, biasanya daun
itu dibungkus dengan selembar uang kemudian disimpan ke dalam dompet.
Namun, untuk mendapatkan daun dan buah dewandaru diperlukan
kesabaran. Hitungannya bukan hanya, jam, bisa berhari-hari, bahkan
berbulan-bulan. Bila harapan mereka terkabul, para peziarah akan datang
lagi ke tempat ini untuk melakukan syukuran.
Siapakah sesungguhnya Eyang Jugo dan Eyang Sujo?
Yang dimakamkan dalam satu liang lahat di pesarean Gunung Kawi ini?
Menurut Soeryowidagdo (1989), Eyang Jugo atau Kyai Zakaria II dan Eyang
Sujo atau Raden Mas Iman Sudjono adalah bhayangkara terdekat Pangeran Diponegoro. Pada tahun 1830 saat perjuangan terpecah belah oleh siasat kompeni, dan Pangeran Diponegoro tertangkap kemudian diasingkan ke Makasar, Eyang Jugo dan Eyang Sujo mengasingkan diri ke wilayah Gunung Kawi ini.
Semenjak itu mereka berdua tidak lagi berjuang dengan mengangkat
senjata, tetapi mengubah perjuangan melalui pendidikan. Kedua mantan
bhayangkara balatentara Pangeran Diponegoro ini, selain berdakwah agama
islam dan mengajarkan ajaran moral kejawen, juga mengajarkancara
bercocok tanam, pengobatan, olah kanuragan serta ketrampilan lain yang
berguna bagi penduduk setempat. Perbuatan dan karya mereka sangat
dihargai oleh penduduk di daerah tersebut, sehingga banyak masyarakat
dari daerah kabupaten Malang dan Blitar datang ke padepokan mereka untuk menjadi murid atau pengikutnya.
Setelah Eyang Jugo meninggal tahun 1871, dan menyusul Eyang Iman Sujo
tahun 1876, para murid dan pengikutnya tetap menghormatinya. Setiap
tahun, para keturunan, pengikut dan juga para peziarah lain datang ke
makam mereka melakukan peringatan. Setiap malam Jumat Legi, malam
eninggalnya Eyang Jugo, dan juga peringatan wafatnya Eyang Sujo etiap
tanggal 1 bulanSuro (muharram), di tempat ini selalu diadakan erayaan
tahlil akbar dan upacara ritual lainnya. Upacara ini iasanya dipimpin
oleh juru kunci makam yang masih merupakan para keturunan Eyang Sujo.
Tidak ada persyaratan khusus untuk berziarah ke tempat ini, hanya
membawa bunga sesaji, dan menyisipkan uang secara sukarela. Namun para
peziarah yakin, semakin banyak mengeluarkan uang atau sesaji, semakin
banyak berkah yang akan didapat. Untuk masuk ke makam keramat, para
peziarah bersikap seperti hendak menghadap raja, mereka berjalan dengan
lutut.
Hingga dewasa ini pesarean tersebut telah banyak dikunjungi oleh
berbagai kalangan dari berbagai lapisan masyarakat. Mereka bukan saja
berasal dari daerah Malang, Surabaya, atau daerah lain yang berdekatan
dengan lokasi pesarean, tetapi juga dari berbagai penjuru tanah air.
Heterogenitas pengunjung seperti ini mengindikasikan bahwa sosok kedua
tokoh ini adalah tokoh yang kharismatik dan populis.
Namun di sisi lain, motif para pengunjung yang datang ke pesarean ini
pun sangat beragam pula. Ada yang hanya sekedar berwisata, mendoakan
leluhur, melakukan penelitian ilmiah, dan yang paling umum adalah
kunjungan ziarah untuk memanjatkan doa agar keinginan lekas terkabul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar