Dinamika kehidupan kepartaian di Indonesia mulai
berkembang sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah 3 November 1945, isi dari
maklumat itu adalah pemerintah menyukai berdirinya partai-partai politik karena
dengan cara itu segala aliran yang ada di dalam masyarakat dapat diarahkan ke
jalan yang baik. Sebelum maklumat itu ada, gerakan politik di Indonesia umumnya
berbasis pada organisasi-organisasi sosial yang dibentuk pada masa penjajahan
Belanda dan Jepang.
Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1955 Pemilu pertama
kali diadakan. Sebuah pemilu yang tercatat demokratis dan damai di tengah
kuatnya ikatan primordial (etnis, suku, agama, dan asal daerah) yang
membelenggu partai politik saat itu. Tidak heran jika pemilu pertama tersebut
mendapat pujian Internasional. Kualitas dan suasana pemilu saat itu mungkin
sama dengan Pemilu Era Reformasi terutama Pemilu 2004. Suasana demokratis,
damai, dan tidak ketinggalan pujian Internasional mengguyur Indonesia. Fakta
ini secara otomatis mengubur pemilu semu dan praktik politik otoriter Orde Baru
yang cenderung melihat banyaknya partai sebagai sumber instabilitas politik.
Karena itu jika partai politik dan pemilu dijadikan
indicator peradaban politik dalam dinamika sejarah yang bergerak linier maka
praktik politik dan kehidupan demokrasi di Indonesia saat ini seharusnya sudah
sangat mantap, karena tiga pemilu 1999, 2004, dan 2009 berjalan lancar,
demokratis, serta partai bebas berkembang. Akan tetapi kenyataannya peradaban
politik kita masih lemah. Hal ini bisa dilihat dari perilaku politik partai dan
kebijakan-kebijakan pemerintah yang seringkali kurang menyentuh subtansi
persoalan yang dihadapi masyarakat.
Fenomena demikian mengartikan dua pilar peradaban
politik (partai dan pemilu) tersebut masih mengandung banyak kelemahan. Secara
sederhana, kelemahan demikian akhirnya melahirkan politikus yang secara umum
kurang berkualitas. Di luar itu, dalam Pemilu 2009 dinilai sebagai pemilu
paling buruk sepanjang sejarah, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai oleh
Mahkamah Konstitusi sebagai “tidak professional”. Akibat dari keteledoran KPU
tersebut, puluhan juta warga masyarakat tidak bisa menggunakan hak pilihnya
karena tidak dimasukkan dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2009.
KELEMAHAN PILAR
PERTAMA
Pilar pertama dari peradaban politik adalah partai
politik. Jika partai politik lemah, maka peradaban politik juga goyah. Sejauh
ini, kehidupan partai politik sebenarnya sudah relatif bebas. Kalaupun ada
aturan yang membatasi itu masih dalam batas toleransi, seperti infrastruktur partai
dan electoral threshold. Sedangkan
aturan lain seperti deposit dan badan usaha milik partai tidak dipaksakan untuk
“diadopsi”.
Dalam situasi demikian yang masih belum sempurna,
telah memberikan ruang yang luas bagi partai politik untuk melakukan ekspresi
peran sehingga tugasnya sebagai salah satu pilar utama peradaban politik
terpenuhi. Sayangnya peran tersebut sampai saat ini belum dijalankan secara
maksimal.
Sejauh ini, secara umum partai politik belum sepenuh
hati menjalankan peran dan fungsi utamanya baik ketika mereka menjadi partai
berkuasa maupun ketika mengibarkan bendera sebagai partai oposisi. Kewajiban
partai untuk menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, HAM, menyukseskan
pemilu, dan kewajiban membuat laporan keuangan sebagai bentuk pertanggungjawaban
publik, belum menjadi kesadaran internal para pelaku politik. Semua itu
bersumber dari belum totalitasnya partai dalam menjalankan fungsinya terutama
dalam hal kaderisasi dan rekrutmen politik, pendidikan politik bagi anggota
masyarakat, perekat persatuan-kesatuan bangsa, dan mesin aspirasi rakyat.
Partai oleh para aktivisnya sering dilihat sebatas mesin untuk mencapai
kekuasaan politik bagi pemenuhan hak-hak istimewa (priveleges) pribadi dan kelompok.
Sekurangnya ada tiga faktor yang menjadi penyebab
partai belum bisa menjadi pilar utama terbentuknya peradaban politik di
Indonesia. Pertama adalah kuatnya
budaya paternalistik di tubuh partai. Dalam konteks ini, ketua umum partai
menjadi inti dari medan magnet kekuasaan. Tingginya sentralisme kekuasaan bukan
saja menghambat kedewasaan partai dan kelenturan dalam merespons dinamika
persoalan bangsa, tetapi juga menyebarnya virus oligarki politik. Situasi ini
menghambat mobilitas vertikal para kader terutama kader yang berkualitas dan
berkarakter, tetapi bodoh dalam mengambil hati ketua umum dan elit lingkaran
dalamnya.
Antusiasme masyarakat mendirikan partai politik di
satu sisi, dan keengganan untuk berkoalisi di sisi lain, menjadi cermin bening
bahwa ego para elit Indonesia sejatinya sangat besar. Meskipun pendirian
partai-partai baru juga mereflesikan kompleksitas kepentingan dan aspirasi yang
belum tertampung oleh partai-partai yang sudah eksis, tetapi fenomena ini
menegaskan kentalnya ego para elit pendiri partai. Kebanyakan dari mereka
terkungkung oleh persepsi diri sebagai sosok yang paling mampu mengatasi
persoalan bangsa. Persepsi diri yang demikian inilah yang kalau mendapatkan
posisi politik, akan berubah menjadi pusat medan magnet yang mengukuhkan budaya
paternalistik dan oligarki. Situasi demikian akan menjadi semakin buruk apabila
sentiment primordial dan politik aliran mewarnai relasi dan promosi di
lingkaran dalam ketua umum.
Faktor kedua
yang menyebabkan partai belum mampu menjadi pilar utama terbentuknya peradaban
politik adalah kelemahan peraturan perundang-undangan yang ada. Sejauh ini
undang-undang yang ada belum mengatur sanksi bagi partai politik yang tidak
lolos Electoral Thresold. Berapapun
besarnya perubahan presentase yang disepakati di masa depan, hendaknya diikuti
sanksi bagi partai politik yang tidak lolos untuk tidak boleh mengikuti pemilu
berikutnya.
Peran ini menjadi semakin sulit dilakukan jika
factor terakhir, yaitu masyarakat ikut diperhitungkan dalam kalkulasi
pelembagaan peradaban politik. Partai sulit menjadi peyangga utama terbentuknya
peradaban itu jika masyarakat masih berkarakter melodramatik. Dalam politik
praktis, mereka lebih berorientasi pada pilihan antitesa. Misal, jika presiden
yang memerintah pendiam, mereka menginginkan presiden yang menarik dalam
berbicara. Sehingga ketika pemilu tiba, mereka akan memilih tukang bicara itu.
Jika presiden mereka nilai tidak tegas, pada saatnya mereka akan memilih
presiden yang dicitrakan tegas.
Platform politik kandidat presiden, seberapa bagus
dan realistisnya, menjadi tidak penting. Karakter masyarakat yang demikian juga
mudah terperosok dalam pesimisme dan pragmatism. Jika pemerintah gagal
meningkatkan kesejahteraan maka lautan luas masyarakat akan pesimis. Akhirnya
mereka akan menjadi pragmatis ketika pemilu tiba, pilihan akan diberikan pada
siapapun yang memberikan insentif lebih besar, utamanya insentif itu dalam
bentuk uang.
KELEMAHAN PILAR
KEDUA
Pilar kedua yang menentukan kematangan peradaban
politik adalah pemilu. Hal ini disebabkan pemilu dalam dirinya mengandung lima
perangkat teknis, yaitu pencalonan kontestan, cara pemberian suara, pembagian
daerah pemilihan cara penghitungan suara, dan waktu penyelenggaraan pemilu.
Sehingga implementasi dari kelima pilar teknis tersebut berpengaruh pada
kualitas hasil pemilu. Artinya apabila salah satu dari perangkat teknis
tersebut dikebiri penerapannya maka pemilu tidak akan memberikan sumbangan
berarti bagi pelembagaan peradaban politik karena pelaksanaan pemilu menjadi
tidak terbuka, tidak benar, tidak efektif, dan mempunyai governability yang
lemah.
Sejauh ini simpul-simpul pemilu di Indonesia, dari
zaman Soekarno, Soeharto, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono sarat
dengan hasrat menjaga keseimbangan representasi. Ini merupakan jawaban
sementara atas kompleksitas Indonesia
dilihat dari sisi geografi dan sebaran demografi. Bagi para pendukung sistem
proporsional, mekanisme “satu kursi untuk satu daerah pemilihan” dinilai
membunuh kompleksitas pembelahan masyarakat tersebut. Sebaliknya bagi pendukung
sistem distrik penuh mengajukan argumen bahwa system yang hanya menekankan pada
keseimbangan representasi membuat kualitas anggota legislatif yang terpilih
menjadi kurang mumpuni karena miskin pemahaman mengenai lokalitas masalah riil
di tingkat lokal.
Untuk menghadapi kritikan tersebut, para pendukung
system proporsional mencoba memperbaiki diri dengan cara menyempurnakan aspek
mekanis dari system pemilu. Sistem daftar tertutup yang dipakai pada pemilu
1999 diubah menjadi terbuka untuk pemilu 2004 dan 2009. Bahkan dalam pemilu
2009 terjadi lompatan besar setelah MK memutuskan memakai system suara
terbanyak. System ini menjamin para pemilih tidak lagi terpaku pada urutan
kandidiat yang disusun oleh partai peserta pemilu.
Upaya-upaya tesebut sejauh ini memang belum berhasil
memperbaiki kelemahan pemilu sebagai pilar kedua peradaban politik. Meskipun
jumlah dan kualitas pendidikan caleg meningkat tajam daripada pemilu di zaman
Orde Baru, namun kualitas lembaga politik yang dihasilkan oleh pemilu belum
juga dirasakan memuaskan masyarakat. Masih banyak kebijakan yang dirasakan
belum berpihak pada kepentingan rakyat, semua masih terasa seperti basa-basi
politik yang kencang dikumandangkan menjelang pemilu.
Kini bangsa Indonesia tengah menyongsong Pemilu
2014, tahun ini didengungkan oleh semua partai sebagai tahun politik, tahun
meraih simpati, tahun membangun opini dan pencitraan, dan tahun penyiapan kader
untuk ditempatkan dalam lembaga politik (Presiden & Wapres, DPR RI, DPRD I,
dan DPRD II). Semangat optimistis perlu terus digelorakan bagi kemajuan bangsa,
terutama kebangkitan peradaban nasional, dimana kebangkitan peradaban politik
menjadi salah satu bagiannya.
Semoga kita dapat menemukan hasil yang berkualitas
dalam Pemilu 2014 demi menuju tercapainya kebangkitan peradaban Indonesia.
Daftar Pustaka :
Abidin Amir, Zainal. Pengantar
Greg Barton. 2003. Peta Politik Islam Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES.
Puspoyo, Widjanarko. 2012. Pemilu
Indonesia Dari Soekarno Hingga Yudhoyono. Jakarta : Era Intermedia
Rinakit, Sukardi dan Swantoro,
FS. 2005. “Perpecahan dan Masa Depan Partai Politik Indonesia”, Jurnal Dinamika
Masyarakat, Vol. IV. No.I April
Tim Kompas. 2004. Partai-partai
Politik Indonesia : Ideologi dan Program 2004-2009. Jakarta : Buku Kompas.