Burung Garuda |
Hari ini media mengangkat wacana tentang sejumlah peristiwa di negeri kita yang tidak menggembirakan. Bahkan dalam sebuah diskusi di stasiun Televisi Nasional di istilahkan sebagai Hukum Rimba.
Ada lembaga pemasyarakatan yang diserbu kelompok bersenjata, Kapolsek tewas dikeroyok, dan yang terbaru rusuh Pilkada di Kota Paloppo. Kita juga membaca perkelahian antar warga di area persidangan, atau tawuran di jalanan yang menjadi berita rutin.
Berita semacam itu tentu membuat kita mengelus dada dan prihatin. Dari sisi fenomenanya, muncul kesan bahwa negara telah kehilangan wibawa, yang juga berarti pemegang kekuasaan yang seharusnya memancarkan kharisma dan aura menggetarkan seolah tidak ada lagi di Republik ini. Para pemimpin di negeri ini sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Bahkan standar yang pernah disampaikan secara gamblang, bahwa pejabat negara jangan sibuk dengan urusan masing-masing kini di modifikasi menjadi standar versi sendiri. Tapi tentu kita tidak perlu mengevaluasi itu, biar para pakar dan politisi yang berkomentar terhadap hal tersebut.
Kini dengan berbagai peristiwa yang terjadi, tidak mengherankan bila rasa galau merebak di hati. Lalu dalam kondisi semacam ini, adakah hal lain yang membesarkan harapan bahwa kita tidak sedang menuju negara gagal seperti yang tahun lalu diributkan banyak pengamat?
Republik Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang menganut paham demokrasi di muka bumi, banyak negara-negara lain yang sudah lebih dulu menerapkan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Namun, walaupun menganut demokrasi, kewibaan dan kehormatan negara menjadi hal penting bagi tegaknya pilar berbangsa dan bernegara. Coba lihat Amerika Serikat, meskipun sangat demokrasi liberal, namun apabila kewibaan negaranya terancam, maka tidak segan-segan untuk menindak tegas pelakunya. Bahkan demi menegakkan kewibaan dan kehormatan negara, mereka bisa lebih tegas dari negara Komunis.
Apa yang salah? Manusia atau Sistem?
Tentu jawaban dari pertanyaan diatas bisa bermacam-macam, tergantung dari sudut pandang mana kita memandangnya. Dulu ketika Republik ini baru berdiri, sistem berbangsa dan bernegara sedang ditata ulang dari bentuk Pemerintahan Hindia Belanda menjadi Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Kemudian justru dimasa itulah, kita menjadi negara yang disegani oleh dunia Internasional. Kita menjadi kekuatan poros baru dunia ketiga diantara perang besar dua kutub dunia. Sekarang sistem kita sudah jauh lebih stabil, namun kenapa malah anomali?
Kesimpulannya adalah kembali ke Pemimpin, dimana dan kemana arah Republik ini akan berjalan ditentukan oleh sikap dan kebijakan sang pemimpin. Apakah kita masih membutuhkan "The Smailing General" seperti Pak Harto, yang terkesan tenang, diam, namun menusuk. Atau kita cukup puas dengan "The Singer General" seperti Pak Yudhoyono, yang pidatonya tertata baik, terukur, dan terpola namun aplikasinya minim. Semoga suksesi Kepemimpinan Nasional pada 2014 bisa menemukan jawabannya.
1 komentar:
Kewibawaan bangsa luntur bukan karena kurangnya kewibawaan seorang pemimpin tapi karena sebuah sistem yang sudah mendarah daging dan sistem itu lah yang harus di hapus, sistem yang dimana dapat membalikan sebuah fakta menjadi kebohongan dan kebohongan menjadi fakta. Dan untuk merubah itu semua mesti adanya regenerasi total dan itu tidak mudah.
Posting Komentar