SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Blog Pribadi Atma Winata Nawawi

Senin, 03 Oktober 2011

BAGAIMANA MEMANDANG KRISIS EKONOMI INDONESIA DARI SISI LAIN (?)

Presiden Soeharto menandatangani perjanjian dengan IMF

Tiada satu kejadian pun di alam semesta ini yang tidak memiliki fungsi. Terlepas dari keprihatian kita yang begitu dalam menyaksikan realitas kondisi perekonomian kita yang porakporanda terhernpas badai krisis selama dua tabun silam, kita perlu dengan arif melihat dimensi lain krisis ekonomi yang kita alami ini sebagai suatu fungsi perubahan kualitatif berupa momentum historik dalam  mewujudkan Indonesia Baru.
Perubahan kualitatif serupa sudah pernah dialami oleh Indonesia, seiring dengan lahimya dua momentum historik terdahuIu, yaitu Orde Lama, dan Orde Baru. Orde Lama terlahir dari momentum historik perjuangan kemerdekaan Negara dari penjajah yang telah meluluh lantakkan peradaban dan integrasi bangsa, terutama pada dimensi sosial-politik. Sehingga, perioda tersebut banyak diwamai oleh dinamika dan ftagmentasi politik sebagai proses historik pembentukan suatu bangsa (nation building). Orde Baru terlahir dari momentum historik pembebasan bangsa dari ideologi komunis. 
Menurut kajian, pada muIanya Orde Baru memusatkan perhatian pada pembangunan ekonomi dan  mengabaikan pembangunan politik yang pada akhirnya terjerembab ke dalam krisis muItidimensi yang membawa bangsa Indonesia terpuruk dan kembali ke posisi tiga puIuh tabun silam.
Kita sebagai generasi sekarang, sempat mengenyam pengalaman berbangsa yang sangat ironik dan menyedihkan di masa pemerintahan Orde Bam yang lengser dengan meninggalkan hutang luar negeri sebesar US$ 130 miliar serta sebagian. besar kekayaan alam, seperti minyak bumi, gas, hutan, tembaga, dan emas yang nyaris habis terkuras. Sebagai suatu studi banding sederhana, di akhir Orde Lama, ditemukan realitas bahwa total hutang luar negeri Indonesia kurang dari US$ 3 miliar yang sebagian besar digunakan sebagai pendanaan integrasi nasional, terutama untuk merebut Irian Jaya dari Belanda. Di samping itu, sumberdaya alam Indonesia masih dalam kondisi belum banyak tereksploitasi.
Adalah tanggung jawab kita bersarna ootuk mewujudkan Indonesia Baru, melalui pembentukan karakter (character building) bangsa dalam membangun berbagai dimensi kehidupan negara, khususnya pada dimensi ekonomi, dengan mempelajari pengalaman Pahit masa lalu, agar kita tidak terjerumus ke lubang yang sarna ootuk yang kesekian kalinya.

Tearalaminya kenaikan inflasi sebesar 77,63 % pada tahun 1998 telah berdampak pada kebangkrutan sebagian besar konglomerat dan dunia usaha Indonesia serta anjloknya realisasi investasi di Indonesia sebesar 66% pada akhir 1998. Kondisi ini lah yang diduga merupakan penyumbang utama meningkatnya jumlah penggangguran hingga mencapai 17 juta orang pada akhir 1998, bahkan hingga awal tahun 2000 ini jumlah pengangguran telah melebihi 30 juta orang. Penurunan tajam pada daya beli masyarakat juga tidak dapat dihindari, seiring dengan terjadinya free fall (terjun bebas) pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut GDP sebesar 22%, dari rata-rata 7% per tahun sejak 1984 hingga 1997, menjadi -15% pada tahun 1998. Mengingat terlalu drastisnya penurunan pertumbuhan ekonomi yang terjadi hanya dalam waktu singkat, serta realitas sosial politik di Indonesia yang memanas selama dua tahun terakhir, beberapa ekonom dari dalam dan luar negeri menduga bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia ini mempakan kombinasi relasional antarfaktor, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, faktor politik, dan faktor budaya.
Sehingga krisis ini lebih mempakan krisis multidiminensi. Kiranya dugaan tersebut memiliki logika yang bisa diterima. Bagaimana tidak? Sistem kenegaraan dan budaya neo-feodalisme yang dikembangkan oleh penguasa Orde Baru telah mengarah pada pemusatan kekuasaan yang luar biasa bahkan hingga mengarah ke personalisasi kekuasaan di satu tangan. Kondisi ini lah yang memiliki andil besar terhadap tumbuh subumya budaya patemalistik dan terjadinya banyak kasus penyalahgunaan kekuasaan yang sekaligus mematikan daya kreativitas, inovasi, semangat, dan prestasi warga bangsa dalam membangun berbagai dimensi kehidupan bemegara, dari dimensi ekonomi, dimensi sosial politik, dimensi budaya, bahkan hingga ke dimensi pendidikan.
Padahal di dalam UUD 1945 para pendiri bangsa telah mengarnatankan dengan jelas dan tegas bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan di tangan penguasa.
Dalam budaya neo-feodal yang demikian, sang penguasa bertindak bagaikan supir metromini yang tak mau peduli terhadap permintaan penumpang, bahkan tak menghiraukan teriakan kondektur, peluit petugas lalu-lintas, dan lampu merah di persimpangan jalan. Sebagai contoh, kendati setiap tahun terjadi detisit APBN yang ditutup dengan pinjaman luar negeri yang semakin lama semakin membesar, sang penguasa tetap saja mernasang platform  anggaran berimbang" pada APBN kita. Sehingga negative resource transfer (pembayaran cicilan pokok dan bunga lebih besar daripada jumlah pinjaman baru) yang teralami sejak akhir tahun 1980-an menjadi tak terhindarkan hingga saat ini (Ramli, 1991). Peringatan tanda bahaya dari para ekonom hanya dianggap seolah teriakan "Pak Ogah" di putaran jalan. Sebagai konsekuensinya Indonesia masuk ke dalam debt trap (perangkap hutang).
Di samping itu, ketimpangan struktur dan kebijakan industri yang dilakukan oleh pemerintah Orde Barn telah mendorong terbentuknya struktur pasar monopolistik yang di satu sisi sangat merngikan konsumen dan pengusaha ekonomi lemah, dan di sisi lain menyuburkan tumbuhnya pola konglomerasi dalam bentuk crony capitalism (Laksamana Sukardi, 1997) dengan pemberian akses dan berbagai kemudahan dari negara. Hal ini telah menjadikan bangunan ekonomi nasional rentan terhadap shock economy. tidak berdaya menahan gejolak ekonomi regional dan serangan spekulan asing, serta kalah melawan kompetisi ekstemal.
Dalam hal liberalisasi ekonomi, menurut kajian Econit, liberalisasi sektor keuangan dan perbankan yang dilakukan oleh Indonesia sejak Pakto 1988 pada mulanya dipuji sebagai suatu eksperimen yang unik di dunia. Namun  demikian, pada akhirnya eksperimen tersebut harus dibayar mahal dengan hancurya sistem perbankan nasional pada saat ini. Hasil analisis dan studi banding antarnegara memmjukkan bahwa  Liberalisasi ekonomi hams dimulai dari sektor riil dan kemudian berlanjut ke sektor keuangan dan perbankan, atau setidaknya, liberalisasi sektor keuangan dan perbankan dilakukan secara simultan dengan liberalisasi di sektor riil. Ketimpangan struktural ini lah yang ikut andil terhadap kehancuran fundamental ekonomi Indonesia, sehingga terhempas tak berdaya ke dalam krisis yang berkepanjangan.
Ketakberdayaan ekonomi nasional terhadap terpaan krisis, antara lain terefleksi pada ketergesaan kita meminta bantuan IMF dalam merespon awal krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 lalu, sebelum berpikir panjang. Pengalaman menujukkan bahwa 48 dari 89 negara yang meminta bantuan IMF sejak 1965-1995, kondisi ekonominya jutru menjadi lebih buruk dibanding dengan kondisi sebelumnya. Rendahnya success ratio IMF antara lain karena IMF selalu selalu menggunakan obat generik tanpa mempertimbangkan kondisi sosial politikdi negara yang bersangkutan.
Kondisi tersebut akhirnya terjadi pula di Indonesia, secara materi bantuan IMF telah menambah hutang luar negeri Indonesia meningkat sebesar US$ 43 miliar yang tidak. disertai dengan debt relief (pengurangan pokok dan bunga pinjaman. Ditambah lagi kebijakan nilai tukar Rupiah (free float) oleh Bank Indonesia (14 Agustus 1997) yang didukung IMF justru semakin membuka Indonesia terltadap serangan spekulator asing yang dengan lahapnya menggeregoti nilai rupiah hingga anjlok ke dasar jurang Yang curam, dari Rp 2.245,- per Dollar AS pada 1 Juli 1997 menjadi Rp 14.000,- per Dollar AS pada 1 Juli 1998.
Bantuan IMF itu kemudian juga telah menginspirasikan berbagai kebijakan pemerintah (dalam hal ini BI) yang kurang terkendali, seperti pemberian BLBI kepada bank-bank nasional yang mengalami masalah likuiditas.
Kebijakan ini sesungguhnya baik dan sesuai dengan fungsi utama Bank Indonesia (BI) sebagai the lender of the last resort. Letak kesalahannya hanyalah pada proses penyaluran nya yang terkesan manipulatif dan tak urung menimbulkankasus serius yang berekor panjang, bahkan belum tertuntaskan bingga sekarang.
Dari berbagai investigasi dan kajian yang dilakukan oleh banyak  pihak, akhimya terkuak lah tabir persekongkolan di balik proses penyaluran BLBI tersebut. Kasus ini semakin mengemuka sehingga menyulut keresahan social yang memposisikanBank Indonesia (BI) sebagai The Lender of the Lost Resort, kasir yang bangkrut dan sebagai tumpahan kesalahan terakhir.
Kasus ini menjadi semakin semrawut, sehingga BPK, BPKP,dan DPRpun ikut turun ke lapangan untuk mengusutnya. Bahkan tidak tanggung-tanggung,untuk ini DPR-RI membentuk Panitia Kerja (panja) BLBI yang sempat menuding 56 nama personil yang diduga terlibat dalam kasus BLBI, termasuk nama-nama orang yang tergolong "keramat" di masa Orde baru.
Dalam menyikapi kasus tersebut, Center for Banking Crisis (CBC) ikut repot mendiagnosis sejumlah modus persekongkolan BLBI. Pertama BI menyerahkan fasilitas terlebih dahulu kepada bank-bank penerima, dengan akta perjanjian menyusul beberapa hari kemudian.
Kedua, BI mengucurkan BLBI dengan nilai yang lebih tinggi dari nilai riil jaminan yang dimiliki oleh bank penerima (kasus mark-up oleh Bank penerima), sehingga BPKP menemukan bahwa hanya 29,4% jaminan perbankan terdapat total nilai BLBI yang telah diberikan. Ketiga, kendati pada saat jatuh tempo, fasilitas BLBI telah habis digunakan oleh bank penerima, BI masih memberi fasilitas overdraft kepada bank-bank yang bermasalah tersebut.
Keempat, intervensi BI di pasar valuta asing memberi peluang kepada penerima BLBI untuk berburu dollar AS yang disediakan sehingga cadangan devisa merosot namun rupiah tetap tak menguat. Terakhir, ketidakberhasilan intervensi BI di pasar valuta asing ditindaklanjuti dengan  meningkatkan suku bunga SBI hingga 70 persen sehingga semakin memperburuk kondisi sektor riil dan menambah kerugian perbankan, yang akhirnya memperberat beban pemerintah dalam merekapitalisasi perbankan. Berkaitan dengan hal ini, Menko Ekuin Kwik Kian Gie pada tanggal 22 Februari 2000 menyatakan bahwa ada indikasi sebagian dana BLBI masuk kantong pribadi pejabat BI.
Meski kebenaran dari kasus ini masih dalam proses penyidikan, setidaknya realitas menunjukkan kepada kita bahwa muara kasus ini adalah moral hazard.

Penulis : Agus S.Irfani

RENCANA INDUK ENERGI INDONESIA

Apakah Indonesia memiliki target penggunaan energi dari berbagai sumber (energy mix)? Punya. Bahkan, target itu sudah terwujud dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Keputusan ini menyebutkan, pada 2025 penggunaan minyak bumi hanya 20 persen dari total konsumsi energi yang digunakan. Sedangkan gas alam 30 persen, batu bara 33 persen, biofuel (biodiesel dan bioetanol) 5 persen, panas bumi 5 persen, air 5 persen, dan sisanya sumber energi lainnya.

Untuk mencapai energy mix itu bukanlah hal mudah. Hingga saat ini, belum ada rencana induk detail di setiap tahunnya. Saat ini, minyak masih mendominasi 50 persen konsumsi energi, gas bumi hampir 30 persen, batu bara sekitar 15 persen.

Ketergantungan terhadap minyak bumi yang tinggi itu membuat subsidi energi terus membengkak. Pasalnya, kendati lebih mudah didapat, harga minyak dunia terus melambung tinggi. Sedangkan Indonesia masih mengimpor minyak bumi dan bahan bakar minyak. Tidak heran jika sekitar 15-20% anggaran negara habis untuk subsidi energi, terutama listrik dan BBM.

Terakhir, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memperkirakan, subsidi listrik pada 2012 akan mencapai Rp 58,72 triliun — naik Rp 10 triliun dari tahun ini.

Untuk menurunkan penggunaan bahan bakar minyak, tentu saja kita harus secepatnya berganti ke sumber energi lainnya. Salah satu yang paling memungkinkan adalah memperbanyak pemanfaatan gas bumi, yang secara ekonomi lebih murah ketimbang minyak bumi.

Hanya saja hal itu lagi-lagi juga bukan pekerjaan enteng. Hingga saat ini, sekitar 1.500 MMSCFD (million standard cubic feet per day) kebutuhan gas domestik tidak dapat dipenuhi. Rencana induk energi yang tak jelas membuat kerangka pengembangan gas juga gelap.

Pemerintah sepeti tak memiliki manajemen pasokan gas nasional. Saat ini, lebih dari 50 persen produksi gas nasional justru diekspor. Padahal, permintaan konsumen domestik terus meningkat.

Namun, masalah gas nasional sebenarnya tidak semata-mata masalah penyediaan pasokan tapi juga manajemen transportasi (yang mencakup infrastruktur penyaluran gas). Ini penting untuk menjaga pasokan gas nasional terjaga dengan baik.

Hal yang sama berlaku pula pada pengembangan energi baru dan terbarukan. Target peningkatan penggunaan biodiesel hingga 10 persen tidak tercapai. Hingga saat ini, Pertamina masih menjual biosolar dengan campuran minyak nabati di bawah 10 persen. Adapun untuk panas bumi, baru 4,1% dari 29.038 MW potensi yang dimanfaatkan.

Rencana induk energi yang jelas memang mendesak dibuat. Tentu saja bukan sekadar peta di atas kertas, melainkan peta yang bisa menuntun implementasi manajemen energi di lapangan.

Thonthowi Djauhari memulai pengalaman jurnalistiknya sejak 1996. Ia pernah bertugas di Republika, Tempo, dan kini menjabat deputi redaktur pelaksana harian Jurnal Nasional. Ia mengikuti isu-isu energi dan sumber daya mineral.