SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Blog Pribadi Atma Winata Nawawi

Rabu, 24 Desember 2008

KONTROVERSI UU BHP

Salah satu perkembangan mutakhir pendidikan Indonesia adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) menjadi Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) (17/12/2008) oleh DPR RI. UU BHP menempatkan satuan pendidikan sebagai subjek hukum yang memiliki otonomi luas, akademik maupun non akademik, tanpa khawatir lagi dengan kooptasi birokrasi. Otonomi yang diberikan dikunci oleh Undang-Undang BHP harus dilandasi oleh prinsip-prinsip seperti nirlaba, akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak boleh ada komersialisasi dalam BHP. BHP memastikan bahwa komitmen pemerintah untuk membantu lembaga pendidikan tidak pernah berkurang bahkan bertambah besar. Namun dibalik idealisme dan tujuan Undang-Undang BHP itu dibuat, muncul kritik-kritik dari beberapa kalangan yang mengatakan bahwa BHP adalah sebuah produk undang-undang yang digerakkan oleh mitos otonomi. BHP tidak lebih dari sebuah bentuk lepas tangan Negara atas pembiayaan pendidikan nasional. Lembaga Pendidikan akan mengarah pada tujuan pragmatis komersil ketimbang pada tujuan kritis dan blok histories yang mencerdaskan bangsa dan melahirkan putra-putra terbaik yang bisa membaca tanda-tanda zaman. Pada akhirnya BHP melegasisasi suatu kesempatan kepada satuan pendidikan untuk memberi peluang bagi calon mahasiswa berkapasitas intelegensia rendah untuk mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi jika mampu memberi imbalan tertentu. Itu adalah wacana pemikiran yang lazim dalam sebuah Negara demokratis. Pembentukan Undang-Undang BHP ini adalah merupakan amanah dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 53 ayat (1) bahwa “penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum”. Pembentukan BHP ini adalah merupakan bentuk koreksi atas pelaksanaan BHMN yang telah berjalan selama ini dan bukan replika dari BHMN. Undang-Undang BHP menempatkan satuan pendidikan bukan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Departemen Pendidikan Nasional, tapi sebagai suatu unit yang otonom. Rantai birokrasi diputus habis diserahkan ke dalam organ badan hukum pendidikan yang menjalankan fungsi badan hukum: penentuan kebijakan umum dan pengelolaan pendidikan. Misalnya di dalam satuan pendidikan perguruan tinggi, praktek selama ini bahwa untuk memilih seorang rektor harus melewati tujuh lapis birokrasi (tingkat senat, Dirjen Dikti, Inspektora Jenderal, Sekjen Depdiknas, Menteri Pendidikan Nasional, Tim penilai akhir Sekretariat Negara dan akhirnya sampai ke Presiden). Saat ini, dengan BHP hal itu tidak lagi terjadi, rektor dipilih dan ditetapkan oleh organ representasi pemangku kepentingan. UU BHP menjamin bahwa peserta didik hanya membayar biaya pendidikan paling banyak 1/3 dari biaya operasional satu satuan pendidikan, bukan biaya investasi. Selama ini satuan pendidikan sangat tergantung dari pendanaan dari peserta didik bahkan sampai sembilan puluh persen. Saat ini, BHP membatasi menjadi 1/3 maksimal dari biaya operasional. Ini adalah jaminan Undang-Undang BHP bahwa kenaikan SPP seperti yang banyak dikhawatirkan rasanya tidak mungkin terjadi. UU BHP menjamin secara khusus warga negara Indonesia yang tidak mampu secara ekonomi tapi berpotensi secara akademik, terutama yang ada di quintil lima termiskin, dimana sampai saat ini hanya 3 Persen dari kategori ini yang menikmati pendidikan tinggi. Satuan Pendidikan BHP wajib menjaring dan menerima warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20 persen dari keseluruhan peserta didik yang baru. Satuan Pendidikan BHP harus menunjukkan kepada publik bahwa mereka menerima dan menyediakan paling sedikti 20 persen beasiswa atau bantuan biaya pendidikan untuk mereka yang kurang mampu dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademiki tinggi. Undang-Undang BHP mengikat tanggungjawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan. Misalnya Pemerintah menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, investasi, beasiswa dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik. Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi. menurut Dirjen Dikti, dr. Fasli Jalal, Ph.D dalam konferensi Pers (18/12) justru pemerintah yang akan pontang-panting mencarikan dana untuk tanggung jawab yang sangat besar ini. Sebagai badan hukum, satuan pendidikan memiliki wewenang hokum untuk melakuka tindakan hukum dan konsekwensi hukum atas penggunaan hak itu. Pasal 63 menyebutkan “ setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1), pasal 38 ayat (3), dan pasal 39 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun da dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 4 ayat (1), pasal 38 ayat (3) da pasal 39 adalah pasal yang mengatakan bahwa pendidikan itu adalah nirlaba, seluruh sisa dari hasil usaha dari kegiatan BHP harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan. Dikutip dari http://www.dikti.go.id/ Bagaimanakah sikap anda? Apakah kita harus mem beo dg teman2 kampus lain yg telah lebih dulu berdemonstrasi..? Ato kita akan menyatakan sendiri sikap kita..? Saya tunggu komentar teman2 smua, mengingat dalam waktu libur ini kita sulit untuk berjumpa muka Namun setidaknya kita bisa berjumpa pemikiran disini. Wss

MENGAPA PARA JENDERAL PERGI?

Mon, 16 Nov 1998 03:45:51 GMT MENGAPA PARA JENDERAL PERGI? HANIBAL W. Y. WIJAYANTA - ABRI DINILAI TIDAK CEPAT BERTINDAK UNTUK MENCEGAH KERUSUHAN MEI. PADAHAL, APARAT INTELIJEN TELAH MEMPREDIKSINYA. PARA JENDERAL MALAH PERGI KE MALANG. Jelaga misteri tampaknya begitu lengket menggumpal di sekitar fakta Kerusuhan 13-15 Mei lalu. Saking lengketnya, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pun gagal mengidentifikasi secara jelas: siapa saja yang harus bertanggung jawab dalam tragedi ini. Mereka bahkan menciptakan kontroversi dengan memasukkan pertemuan di Makostrad pada 14 Mei 1998--dalam rekomendasi laporan akhirnya--sebagai urusan yang patut dicermati. Sebenarnya, TGPF sudah mulai memasuki wilayah sensitif yang selama ini sulit diungkap. Hal itu terlihat pada temuan data dan keterangan sejumlah pejabat ABRI yang diminta kesaksiannya. Sehingga, pada kesimpulan keempat disebutkan adanya keterlibatan banyak pihak, mulai dari preman lokal, organisasi politik, massa, hingga keterlibatan sejumlah anggota dan unsur dalam tubuh ABRI. Sebagai pihak yang bertanggung jawab atas keamanan, ABRI dinilai tidak cukup bertindak untuk mencegah terjadinya kerusuhan. Pada Mei itu, sebetulnya, Kodam Jaya masih menggelar Operasi Mantap tahap III, sebagai kelanjutan operasi pengamanan pemilu 1997. "Operasi ini dimulai dari Sidang Umum hingga 30 Juni 1998," kata Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, Panglima Kodam Jaya, dalam kesaksiannya. Dalam operasi ini, ia berstatus sebagai Panglima Komando Operasi (Pangkoops). Sementara, Mayjen Hamami Nata, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, menjadi wakilnya. "Dalam eskalasi rendah, polisi di depan. Tapi, dalam eskalasi tinggi, dia akan bermain dengan Koops Jaya," ujar Hamami kepada TGPF. Menurut temuan TGPF, sebenarnya, aparat intelijen telah mencium bau eskalasi berupa ancaman kerusuhan sejak 18 April 1998. Saat itu, Mayor Jenderal Zacky Anwar Makarim, Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA), menyelenggarakan rapat koordinasi intelijen bersama pimpinan Kostrad, Danjen Kopassus, dan Kapolda. Zacky pun telah memperingatkan Pangdam Jaya. Pada 11 Mei, BIA membaca eskalasi demonstrasi dan gerakan massa semakin meningkat cepat. Karena itu, Kepala BIA memberikan peringatan dini kepada para aparat. "Cegah timbulnya martir," ujarnya. Sebab, dengan adanya martir, situasi akan semakin memburuk dengan cepat. "Prediksi kami, kondisi itu akan memuncak pada 20 Mei," ujar Zacky. Di masyarakat memang telah beredar ajakan untuk turun ke jalan pada Hari Kebangkitan Nasional tersebut. Tapi, dugaan Zacky meleset. "Martir" muncul pada 12 Mei, dalam insiden penembakan di Universitas Trisakti yang menewaskan 4 orang mahasiswa. "Jatuhnya korban ini mempercepat situasi itu," ujar Zacky. Ketika itu, Pangkoops segera memerintahkan kondisi siaga satu. Kekuatan pasukan Koops Jaya saat itu, menurut Sjafrie, baru 61 Satuan Setingkat Kompi (SSK). Ketika insiden penembakan mahasiswa di Trisakti terjadi, Pangkostrad Letnan Jenderal Prabowo tengah berada di Bogor. Ia mengaku tahu berita itu setelah ditelepon Sjafrie antara pukul 19.00-20.00. "Dari situ kita sudah memperkirakan bahwa situasi di Jakarta akan meledak," ujar Prabowo kepada TGPF. Malam itu juga, ia ke Makostrad dan memberi perintah kepada stafnya untuk siap-siap menerima pasukan. Keesokan harinya, 13 Mei, situasi makin memburuk. Meskipun, situasi masih bisa dikendalikan saat pemakaman korban penembakan, upaya pengamanan akhirnya jebol juga. Percikan kerusuhan dan penjarahan mulai berkobar di berbagai tempat. Padahal, saat itu, jumlah pasukan telah bertambah menjadi 112 SSK. "Atas perintah Pangkoops, saya segera menghubungi seluruh Kotama Operasi untuk dapat membantu mengerahkan pasukan," demikian kesaksian Brigadir Jenderal Sudi Silalahi, Kasdam Jaya ketika itu. Menurut sebuah sumber FORUM, hari itu, beberapa kali Sjafrie mengontak Panglima ABRI Jenderal Wiranto untuk meminta brifing. "Namun, sama sekali tak ada perintah apa pun," ujar sang sumber. Aparat kepolisian yang berada di lapanganlah yang paling sengsara. Maklumlah, mereka menjadi sasaran kemarahan massa. Tragisnya, di saat mereka mati-matian mempertahankan diri, aparat dari satuan lain justru terkesan tak acuh. Bahkan, di Jalan Galur, Jakarta Pusat, satuan Brimob sempat hampir bentrok dengan Marinir. "Sangat ironis," kata Hamami. Hal itu diakui Sjafrie. "Koordinasi ini tidak bagus," ujarnya. Melihat situasi makin gawat, Pangkoops Jaya memutuskan untuk memindahkan posisi pos koordinasi ke Markas Komando Garnizun Ibu Kota di Jalan Medeka Timur, Jakarta Pusat. "Di situ, pasukan dari Kostrad, Kopassus, dan Marinir, semua memperkuat kita untuk mempercepat kita berbenah," kata Sjafrie. Tapi, hari itu juga, Hamami melapor kepada Kapolri Jenderal Dibyo Widodo, bahwa ia tidak sanggup menghadapi situasi amuk massa. "Situasi ini harus sudah diambil alih Pangab," ujarnya. Dari data yang dikumpulkan TGPF, ditemukan fakta bahwa di beberapa tempat, kerusuhan dipicu sekelompok provokator. Mereka datang dengan mobil dan tampak terlatih. Aksi mereka kemudian diikuti massa aktif, maupun massa pasif yang semula sekadar menonton kerusuhan. Meski dalam kondisi moral yang anjlok, polisi masih mampu menangkap 2.500 perusuh. Tapi, situasi tak juga reda. Bahkan, di Tangerang, Jakarta Barat, dan Cengkareng pembakaran dan penjarahan makin gawat. Tapi, di luar urusan kerusuhan, pada 14 Mei ternyata tetap berlangsung upacara serah terima Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) dari Divisi II Kostrad di Malang, Jawa Timur. Pangab sudah setuju berangkat untuk menjadi inspektur upacara. Namun, melihat situasi makin memburuk, Prabowo segera menghubungi Mabes ABRI, pada 13 Mei. "Saya menyarankan supaya upacara ditunda," ujar Prabowo. Konon, menurut sumber FORUM, ia meminta penundaan sampai beberapa kali. Tapi, Mabes ABRI tetap pada rencana semula. Pangab tetap akan hadir. "Saya juga tanya, apa Pangkostrad hadir juga di Malang, apa tidak sebaiknya di Jakarta," ujar Prabowo. Tapi, keputusan Mabes ABRI: Pangkostrad tetap ke Malang. KSAD Jenderal Subagyo H.S. juga turut ke sana. Padahal, dalam keterangannya kepada TGPF, Kepala BIA menegaskan bahwa karena peristiwa penembakan di Trisakti, semua pasukan harus siaga satu. "Pangab juga sama. Tidur di kantor begitu korban jatuh, itu automatically," kata Zacky. Apalagi, penyerahan pasukan di Malang itu pun sebenarnya cukup dilakukan Panglima Divisi. Dan, pagi hari 14 Mei, rombongan Pangab, KSAD, Pangkostrad dan sejumlah perwira staf berangkat ke Malang dari Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusumah. Namun, upacara penyerahan pasukan di Malang itu dipercepat. "Kami dengar ada telepon ke Pangab, di ruang VIP, saya dengar itu Menkopolkam atau apa, menelepon, pokoknya situasi memburuk di Jakarta," kata Prabowo. Kondisi Jakarta sudah gawat saat itu. Pangkoops kemudian memperkuat pasukan sehingga tergelar 142 SSK. Kendaraan tempur pun bertambah: pada 12 Mei hanya 7 unit, menjadi 25 unit pada 13 Mei, lalu menjadi 154 unit hari berikutnya. Namun terlambat karena massa sudah tumpah ruah. "Rasio pasukan tidak cukup," ujar Sutiyoso, Gubernur DKI. Sekitar pukul 12.30, masih 14 Mei, rombongan dari Malang kembali ke Jakarta. Prabowo langsung ke Makostrad. Ia bertemu Sjafrie di Mako Garnizun menanyakan situasi, lalu mengajaknya keliling Jakarta dengan helikopter. "Di situ, kita lihat banyak gedung dibakar massa," tutur Prabowo. Menurut sumber FORUM, saat itu pula Pangab Wiranto pun terbang dengan helikopter. Setelah mendarat, Prabowo segera berangkat ke gedung ICMI di Jalan Kebon Sirih. Beberapa hari sebelumnya ia sudah berjanji akan ketemu dengan Ahmad Tirtosudiro, Ketua Umum ICMI. "Saya berharap dia bisa kasih statement untuk menenangkan massa," ujar Prabowo. Tapi sayang, Ahmad Tirto tidak berada di sana. Menurut sumber FORUM, Prabowo juga mengontak beberapa ulama untuk janjian bertemu. Dari Kebon Sirih, Prabowo langsung ke Makoskogar untuk memberikan beberapa saran kepada Pangdam Sjafrie. "Frie, di Thamrin enggak ada pasukan," ujarnya. Ia menyarankan agar semua panser yang mangkal di depan Dephankam disuruh patroli sepanjang Jalan Sudirman- Thamrin. "Saya ikut satu panser sama Pak Sjafrie dan Dankopassus," ujarnya. Setelah berpatroli dengan panser, mereka kembali ke Makostrad. Soalnya, Prabowo berjanji bertemu dengan Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi dan kawan-kawan. Setelah pertemuan itu usai, Prabowo mengikuti brifing di Makostrad sampai dini hari. "Itulah brifing pertama yang digelar Pangab Wiranto sejak kerusuhan berlangsung," ujar sebuah sumber. Dan, saat itu, sebagian Jakarta sudah menghangus.

Rabu, 17 Desember 2008

Kembalikan Hijau Indonesiaku – Sebuah perjuangan menjadi Kampus Paru-paru Kota

Emisi karbon akibat aktivitas manusia yang menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca adalah salah satu penyebab dan penyumbang terbesar terjadinya global warming, dan hingga saat ini belum ditemukan alat yang bisa menyerap CO2 dan mengeluarkanya kembali menjadi O2 kecuali tumbuh-tumbuhan. Hinga saat ini jumlah hutan sebagai paru-paru dunia telah berkurang akibat penebangan dan pembalakan liar oleh manusia, dan Indonesia adalah salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Dalam rangka menyambut ulang tahun ke-43 Universitas Trisakti, dengan tema “Kembalikan Hijau Indonesiaku”, Kepresidenan Masyarakat Mahasiswa Universitas Trisakti akan mengadakan penanaman 100 bibit pohon di kampus A Univ.Trisakti, wilayah Grogol, dan sekitarnya demi menuju kawasan kampus yang menjadi paru-paru kota didaerah Jakarta Barat. Hari ini kami mulai dengan 100 pohon dan esok akan kami lanjutkan jadi 1000 pohon. Mahasiswa sebagai agen perubahan dan bagian dari masyarakat dunia, harus memberikan langkah-langkah konkrit yaitu ikut berpartisipasi dalam penanggulangan-penaggulangan yang dilakukan, karena masalah yang kita hadapi adalah masalah bersama dan dalam hal ini kami Masyarakat Mahasiswa Universitas Trisakti berikrar: Amukti Kesetiaan Lingkungan Mahasiswa Universitas Trisakti: 1.Bertekad untuk menjaga kebersihan dan hijaunya lingkungan kampus Universitas Trisakti. 2.Bertekad untuk menjaga lingkungan yang asri dan hijau di lingkuangan tempat tinggal. 3.Bertekad untuk mendukung gerakan kembalikan hijau Indonesiaku. 4.Bertekad untuk melawan segala bentuk tindakan perusakan lingkungan. 5.Bertekad untuk memberikan keadilan bagi anak cucu kami untuk bisa mendapatkan haknya terhadap alam semesta. Semoga dengan ikrar ini, kami, mahasiswa Universitas Trisakti, dapat menjadi bagian dari masyarakat dunia yang ikut serta peduli terhadap kelangsungan dan masa depan anak-anak cucu kami. Kami berharap langkah kami dilanjutkan oleh seluruh masyarakat di Jakarta Barat khususnya, dan di Indonesia umumnya.

Minggu, 14 Desember 2008

KEPEMIMPINAN KARISMATIK

kepemimpinan karismatik selama ini selalu identik dengan pengamatan pemimpin di politik dan keagamaan bukan kepemimpinan organisasi dan perusahaan. Karisma berasal dari bahasa yunani diartikan karunia diispirasi ilahi (divenely inspired gift) seperti kemampuan meramal dimasa yang akan datang. Para ahli sepakat mengartikan karisma sebagai "suatu hasil persepsi para pengikut dan atribut-atribut yang dipengaruhi oleh kemampuan-kemampuan aktual dan prilaku dari para pemimpin dalam konteks situasi kepemimpinan dan dalam kebutuhan-kebutuhn individual maupun kolektif para pengikut " (Yukl, 1994:269) Beberapa teori karismatik Ada teori atribusi yang menyatakan bahwa kepemimpinan karismatik didasarkan atas asumsi bahwa karisma adalahsebuah fenomena atribusi (Conger & Kanungo, 1987) dan ada juga teori konsep sendiri yang menyangku karismatik seorang pemimpin dapat dilihat pada sejauh mana apeksi seorang pengikut, keterlibatan emosi dan motivasi yang tinggi didasari pengorbanan jiwa yang luar biasa (Shamir, house, Arthur, 1993) selain konsep teori tinjauan psiko-analisa karisma seorang pemimpin diberlakukan sangat tidak realistis dan tingkat identifikasi ekstrim oleh para pengikut baik melalui pemindahan karisma masa lalu seperti karisma trah Ir. Sukarno yang melegendaris ada pada mantan presiden Megawati yang mengarah pada kultus dengan berbagai konsekuensi negatif. konsekuensi karismatik negatif (Conger, 1990) dapat dilihat dari pola hubungan antara lain : • Hubungan antar pribadi yang jelek tidak sesuai dengan pendahulunya • Konsekuensi negatif dari prilaku impulsif dan tidak konvensional • Konsekuensi negatif dari manajemen kesan bahwa dirnya sangat dibutuhkan pengikut atau karena sekedar mendompleng nama pendahulunya • Praktik administrasi lemah, karismatik dalam memimpin tapi sangat lemah dalam penataan aktiftas yang membutuhkan dukungan administratif • Konsekuensi negatif dari dari rasa percaya diri yang lemah karena berbeda kapasitas dan kredibilitas dan dirinya memuja dirinya berlebihan (Narcisis). • Gagal untuk merencanakan suksesi kepemimpinan karena belum tentu ada yang selevel dengan dirinya sehingga mematikan pengkaderan dlam organisasi. Referensi : Kepemimpinan dalam organisasi, Garry Yukl, terj. Jusuf udaya, Prehalindo, Jakarta, 1994.

Selasa, 02 Desember 2008

SAHABAT SEJATI

Dalam sebuah pepatah Arab disebutkan, “Shadîquka man shadaqaka lâ man shaddaqaka” [Temanmu adalah orang yang berkata jujur kepadamu dan bukan orang yang hanya membenarkanmu] . Hal ini berarti sahabat sejati adalah orang yang mengingatkan akan jalan yang benar, bukan yang “membenar-benarkan” kita. Sahabat sejati adalah yang menunjuki kita jalan yang benar, bukan yang menganggap apa pun yang kita lakukan itu betul. Selain jujur kriteria sahabat sejati adalah akan hadir di saat-saat yang paling sulit di dalam hidup kita. Hanya sahabat sejati yang biasanya jarang hadir dalam keadaan suka, tetapi justru hadir membela ketika dalam duka. Sebagimana sebuah kata hikmah, A friend in need is a friend indeed. Ya, sahabat dalam kesulitan adalah sahabat sejati. Seorang teman sejati mampu merawat Anda ketika sakit, turut berduka cita ketika Anda menghadapi musibah atau kemalangan. Atau turut merasakan pasang surutnya karir Anda. Dalam konteks pergaulan, sahabat sejati adalah orang yang selalu berfikir dan berkehendak baik terhadap sahabatnya. Sahabat sejati berusaha menasihatkan agar selalu bersiaga kepada teman yang akan pergi jauh, berusaha menelpon balik, membalas e-mail atau surat secepat mungkin. Sahabat sejati akan memberi dukungan jika ia merasa bahwa dukungannya itu akan membawa kebaikan sahabatnya. Sebaliknya jika sahabat nya keliru jalan, ia akan berkata tidak, meski pahit diucapkan dan didengar. Sedangkan sahabat palsu biasanya materialistis dan rajin berkunjung manakala dalam keadaan suka, tetapi ia segera menjauh jika sahabatnya dalam kesulitan. Ia sahabat hanya dalam suka, tidak dalam duka. Sahabat tipe ini biasanya angin-anginan, terkadang mesra, tetapi suatu ketika dapat menjadi musuh, bahkan musuh yang sukar didamaikan. Sahabat tipe ini seumpama lalat yang mengerumuni makanan dan memenuhi kepentingan sendiri. Segera setelah makanan itu habis, lalat itu pun pergi entah kemana. Sahabat seperti ini adalah sahabat sehidup, tetapi belum tentu semati. Sedangkan persahabatan sejati yang diikat oleh nilai-nilai kebajikan, ikhlas dan ibadah ketika kita sudah matipun sahabat itu tetap menjaga nama baik dan mendoakan kita. Dialah sahabat sehidup semati, sahabat di dunia dan juga sahabat di akhirat.