SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Blog Pribadi Atma Winata Nawawi

Rabu, 25 Februari 2009

Pemimpin Muda

Dalam pidatonya tahun 1951, Bung Karno mengatakan bahwa tugas pemimpin adalah menjadi peneladan, penggugah semangat, penggerak dan menghebatkan keinginan kolektif rakyat. Dalam konteks kekinian, misi besar pemimpin yakni mengeluarkan Indonesia dari kemelut-krisis [mission driven]. Dewasa ini, sulit rasanya menemukan pemimpin yang mampu mengemban tugas seperti yang dikatakan Bung Karno di atas. Meminjam Renald Kasali (2008), yang muncul justru pemimpin-pemimpin yang “sakit.” Perilaku mereka sama sekali tidak mencerminkan dirinya sebagai sosok pemimpin. Keteladanannya telah tumpul. Dalam beberapa kasus sengketa Pilkada, alih-alih mereka berusaha mengelola konflik dengan baik (resolusi konflik), justru ikut tenggelam dalam amuk konflik. Saat ini, pemimpin kita juga belum mampu membangunkan, menggugah dan menggerakkan rakyat untuk bangkit dari kemiskinan dan pengangguran. Karena alasan itu, Pemilu 2009 harus benar-benar dijadikan momentum untuk menyeleksi para calon pemimpin. Kita tidak membutuhkan — meminjam Sukardi Rinakit (2008) — “pemimpin yang berselimut,” melainkan pemimpin sejati yang memahami hakikat kepemimpinan. --- Menurut Aristoteles (384-322 SM), ada tiga keterampilan khusus bagi seorang pemimpin untuk bisa memengaruhi, bahkan mengubah sikap orang banyak. Pertama, ethos, yakni penggunaan karakteristik-karakteristik personal untuk mengemukakan klaim yang berkaitan dengan kredibilitas dan otoritas. Ethos merupakan spiritualitas atau hati nurani (nur ilahi) serta integritas yang tinggi yang berguna untuk memandu seorang pemimpin agar ia dapat memengaruhi orang-orang yang dipimpin. Kedua, pathos, yaitu emosi yang terkendali untuk menggerakkan emosi pengikutnya demi mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan. Dan ketiga, logos, yakni penggabungan antara ethos dan pathos atau berarti penggunaan bukti-bukti dalam argumen yang rasional. Melengkapi kriteria tersebut, seorang pemimpin menurut George Orwell (1974) harus mengidentifikasikan dirinya sebagai “orang yang menyimpang dari arus utama.” Ia tidak boleh terjebak pada “racun dunia” yaitu harta, tahta dan wanita. Ia tetap lurus dan setia pada arus idealisme yang ditinggalkan banyak orang. Pemimpin ini dengan demikian lahir menjadi “karnal” karena mencintai yang tak lazim; intelektual, spiritual, dan kaum miskin. Kemudian, pemimpin sejati tidak menggunakan kekuasaan sebagai tujuan. Sebaliknya, ia menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk mencapai tujuan itu sendiri. Pengabdiannya ditujukan untuk mewujudkan cita-cita nasional yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Dalam rangka mewujudkannya, seorang pemimpin harus melakukan langkah-langkah strategis. Pertama, ia harus bekerja dengan fokus (ambeg paramarta) dan memilih para pembantunya dengan selektif. Sebab, untuk menuntaskan permasalahan bangsa, harus dibuat skala prioritas untuk menyelesaikannya. Sehingga, hasil kinerjanya dapat terarah sesuai dengan alat ukur konstitusi. Kedua, ia harus pandai menyiasati globalisasi, agar “pasar bebas” tidak selalu membuahkan kutukan, melainkan berkah. Di era globalisasi, kita tidak harus berbenturan secara radikal dengan perusahan-perusahaan multinasional (MNC’s). Namun demikian, memanfaatkan globalisasi demi kemakmuran hanya dapat dilakukan jika pemerintah (negara) melakukan perubahan paradigma tata kelola ekonomi. Ketiga, seorang pemimpin harus pandai mengelola konflik (resolusi konflik). Hal ini penting, karena sejarah Indonesia adalah sejarah konflik yang mengakar. Konflik suku (etnis), konflik agama, serta separatisme akan setiap saat menjadi ancaman bagi kelangsungan NKRI. Oleh karena itu, diperlukan tindakan antisipatif seperti jaminan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat, serta menyiapkan badan khusus yang menangani konflik dan mediasi. Di atas segalanya, tentu saja pemimpin tersebut harus bahu-membahu bersama orang-orang miskin menyelesaikan problemnya. Sebab, menyelesaikan problem mereka adalah menyelesaikan tugas besar dan menyelesaikan 50% problem bangsa. Itu artinya, gagasan menghadirkan ilmu eko-politik dan menjelaskan fungsi pemimpin yang berideologi nasionalis-kerakyatan menjadi salah satu cara jitu untuk mengatasi problem stagnasi ekonomi dewasa ini. --- Dalam hal kepemimpinan transisi, model kepemimpinan yang dibutuhkan bangsa ini adalah kepemimpinan yang kuat, berkarakter, mendengar, dan kerja keras sambil menggalang kerja sama dengan lingkup internasional. Dialah pemimpin yang tebar kerja. Bukan hanya tebar pesona. Dialah pemimpin yang bekerja cepat, tepat, terkordinasi hingga sampai pada targetnya. Dialah sumber inspirasi rakyat untuk bekerja dan berprestasi. Untuk menjalankan dan mempraktekkan visi-misi nasional, diperlukan pemain-pemain baru, aktor-aktor baru, bahkan pemimpin-pemimpin baru. Tentu saja, akan lebih baik jika aktor-aktor tersebut berasal dari golongan muda yang energik sehingga terbebas dari "dosa masa lalu." Dalam hal ini, pemimpin muda yang dimaksud bukan hanya muda dalam usia, tetapi juga muda dalam visi, misi, gagasan dan tindakan. Visi utama kaum muda memimpin adalah membebaskan Indonesia dari belenggu kemiskinan, pengangguran serta kekerasan. Sebab, semenjak Republik ini berdiri, ketiga problem tersebut selalu menjadi hantu sejarah yang sulit dimusnahkan. Untuk itu, Indonesia memerlukan cara pandang baru dalam mengelola kekayaan alam dan mengurus rakyatnya. Mengutip Yudhie Haryono (2008), pemimpin muda harus melakukan perubahan mendasar meliputi empat hal. Pertama, perubahan paradigma pembangunan yang mengutamakan pemerataan, bukan pertumbuhan [politik undang-undang]. Kedua, nasionalisasi asset strategis dan SDA untuk kemakmuran rakyat [politik kesejahteraan]. Ketiga, hapus hutang lama dan tolak hutang baru [politik kemandirian]. Keempat, proteksi dan penggunaan produksi dalam negeri [politik kemodernan]. Singkatnya, siapapun capres yang memiliki political will untuk mengusung keempat gagasan di atas, dialah pemimpin muda. Dialah pemimpin sejati yang sedang dinanti. Di atas segalanya, momentum Pemilu 2009 harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk menampilkan, memilih, dan menghadirkan figur yang mampu menjadi pemimpin bangsa di atas kepemimpinan diri dan golongannya. Jika tidak, hilanglah kesempatan untuk menuntaskan kemiskinan, pengangguran, dan kekerasan.

Tidak ada komentar: