SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Blog Pribadi Atma Winata Nawawi

Kamis, 11 April 2013

BANGKITKAN GERAKAN MASSA DALAM PENYELAMATAN LINGKUNGAN

Oleh : Atma Winata Nawawi, ST

Indonesia merupakan bangsa yang berdiri diatas Negara, terdiri atas berbagai etnis dan beragam budaya. Melalui sebuah gerakan besar pada 1928, para pemuda mencoba membangun paradigma berpikir bahwa semua etnis dan budaya yang tersebar di penjuru nusantara harus bersatu menjadi sebuah bangsa, yang bertanah air satu, dan direkatkan dengan bahasa yang satu pula. Gerakan besar seperti ini pun terulang lagi dalam pernyataan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang diperkuat dengan berdirinya Negara melalui perangkatnya pada satu hari setelahnya. Tanpa birokrasi yang panjang dan wacana yang lebar, gerakan ini diamini oleh seluruh rakyat yang dulu menjadi jajahan Kolonial Belanda di Indonesia. Sehingga dalam empat tahun Kerajaan Belanda terpaksa mengakui bahwa benar telah terbentuk Negara Kesatuan yang sah yang bernama Republik Indonesia pada Konfrensi Meja Bundar di Den Haague.

Gerakan massa seperti ini selalu menjadi simbol kebangkitan suatu era peradaban bangsa Indonesia, dimana terjadi stagnasi maka disitu akan dibakar semangat gerakan besar untuk mendobrak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Masih segar diingatan kita gerakan 1998 yang mendobrak tirani orde baru, kemudian gerakan 1966 yang mendobrak tirani Orde Lama, dan gerakan massa lain yang mewarnai sejarah panjang bangsa Indonesia.

Dalam setiap momentum tersebut kaum muda yang selalu mengambil peran strategis dan signifikan dalam membangkitkan gerakan massa seperti ini. Kaum muda yang sering kita jumpai berjubah sebagai mahasiswa, dan pelajar bahkan menyebut dirinya sebagai agent of control dan agent of change dalam perjalanan bangsa ini.  Dalam banyak kesempatan, Elit Negara memandang ini serius dan tidak dapat dianggap remeh. Sehingga terkadang, suara gerakan massa kaum muda selalu dijadikan parameter dalam menentukan kebijakan. 

Kondisi ini sangat kontras bila kita melihat gerakan massa kaum muda di Negara tetangga kita, sebut saja Singapura dan Malaysia. Disana kaum muda lebih banyak pasif dan tidak menuntut terlalu banyak hal terhadap Negara. Mereka lebih Individualistis dan Apatis terhadap permasalahan yang ada disekitarnya. Perbedaan ini yang menjadikan Gerakan Massa di Indonesia menjadi ciri khas dibandingkan gerakan sejenis dinegara lain. 

Timbul pertanyaan, apakah gerakan massa ini hanya bersifat destruktif? Menghancurkan tatanan nilai yang sudah terbentuk sebelumnya? Memangkas alur gerak yang biasa terjadi? Tentu jawabannya akan sangat tergantung kemana gerakan massa ini akan dibawa. Dalam pemikiran penulis, gerakan massa adalah gerakan liar yang sulit dikendalikan, hasil baik atau malah menambah buruk adalah tergantung arah gerakan mau dibawa kemana. 

Dalam konteks permasalahan Lingkungan Hidup, gerakan massa terasa masih amat sepi, jauh dari dukungan seluruh stakeholder masyarakat Indonesia. Masyarakat akan sangat bersemangat berbicara masalah Politik, Hukum, dan kesejahteraan. Tapi terasa jauh bila sudah bicara tentang pentingnya merawat pohon, pentingnya tidak membuang sampah sembarangan, dan pentingnya tidak merokok ditempat umum. Bila dilihat konfigurasi permasalahannya, permasalahan Lingkungan selalu menjadi permasalahan yang terletak di hilir, sehingga ketika kerugian dirasakan akibat pencemaran, barulah kita bersuara, dan saat itu terjadi teriakan ini cenderung terlambat karena sudah berlalu. Inilah yang masih sering kita jumpai di Indonesia. 

Negara melalui Kementerian Lingkungan Hidup merasa perlu mendekatkan gerakan massa dengan kampanye lingkungan ini. Kesadaran akan pentingnya permasalahan Lingkungan perlu terus digalakkan melalui gerakan massa yang tidak hanya sekedar Seremonial belaka, perlu dibangkitkan semangat akan kecintaan Lingkungan melalui gerakan yang sederhana namun massif diseluruh lapisan masyarakat. Berkaca dari pola gerakan massa yang terjadi di Negara ini, maka kaum muda yang memegang peranan penting dalam mewujudkan hal ini. Kaum muda memiliki basis gerakan yang energik dan terpelajar menjadi titik awal kebangkitan masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan. Dengan mengangkat issu lingkungan menjadi permasalahan yang sederhana dan massif bagi kaum muda, maka akan memungkinkan kesadaran pentingnya merawat lingkungan bagi masyarakat Indonesia di masa depan. 

Contoh sederhana yang bisa diambil adalah, gerakan “Pesta Tanpa Sampah”. Sebuah gerakan yang sangat sederhana, dimana penyelenggara kegiatan tidak menyediakan botol/gelas minuman plastik, makanan kotak, dan benda-benda yang dapat berpotensi sebagai sampah, kemudian menghindari penggunaan kertas untuk promosi acara seperti poster, flyer, bahkan baliho. Bila gerakan seperti ini terus dibangkitkan disetiap event Seminar, Diskusi, Lokakarya, Sarasehan, dan kegiatan lainnya yang dilakukan oleh kelompok masyarakat maka sedikit demi sedikit permasalahan lingkungan akan teratasi.

Dalam konteks yang lebih besar, Pemerintah berusaha mewujudkan pembangunan kedepan Indonesia melalui sebuah rencana besar dan panjang yang dikenal sebagai Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang belum lama ini digagas oleh Menteri Koordinator Perekonomian, yang melibatkan seluruh Kementerian, Lembaga Negara Non Departemen, Pemerintah Daerah, hingga NGO dan LSM. Dengan pendekatan yang dikenal sebagai empat pilar pembangunan, yaitu Pro Jobs, Pro Poor, Pro Growth, dan Pro Environment maka kesempatan membangkitkan gerakan massa menjadi sebuah gerakan yang memiliki nilai produktivitas positif terhadap lingkungan menjadi semakin terbuka lebar.

Di tengah krisis ekonomi global yang melanda dunia pada saat ini, Indonesia diharapkan tetap mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya yang positif dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya sebagaimana yang tercantum didalam UUD 1945. Namun demikian bukan hanya pertumbuhan ekonomi semata yang menjadi tujuan pembangunan Indonesia, selain pertumbuhan yang berkualitas Indonesia juga memerlukan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan sejatinya dicapai dengan meminimalkan degradasi lingkungan dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas ekonomi. Dampak dari pembangunan ekonomi terhadap lingkungan selama ini sudah terlihat dari beberapa indikator degradasi lingkungan baik pada air, udara, lahan dan hutan, pesisir dan lautan serta keanekaragaman hayati. Dengan dicanangkannya empat pilar pembangunan Indonesia dari Pro Jobs, Pro Poor, Pro Growth,dan Pro Environment, adalah sangat penting dan relevan untuk mengetahui sejauh mana perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup dalam dimensi ruang dan waktu terkait dengan pembangunan di Indonesia.

Gerakan yang sederhana sampai skala besar diatas hanya dapat terwujud bila adanya kesinambungan pola pikir antara pengambil kebijakan, dunia usaha, dan masyarakat. Penulis mencoba mengidentifikasi terwujudnya gerakan ini apabila kita semua memenuhi 3K, yaitu :
KOMITMEN, diperlukan komitmen yang matang dan bertanggungjawab dari semua stakeholder terhadap permasalahan lingkungan. Dimana baik Pemerintah, Pelaku Usaha, maupun masyarakat luas secara sadar memihak dan mempertahankan semangat pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development). Kita menyadari bahwa hingga kini pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bertumpu pada aset Sumber Daya Alam baik yang dapat pulih maupun yang tidak dapat pulih, demikian juga jasa lingkungan masih memberikan manfaat baik langsung maupun tidak langsung pada aktivitas ekonomi. Pertanyaan mendasar selanjutnya sejauh mana Sumber Daya Alam tersebut dimanfaatkan secara lestari dan berkelanjutan sehingga tidak menimbulkan umpan balik yang negatif terhadap lingkungan. Maka dibutuhkan komitmen yang kuat dari pelaku ekonomi untuk memanfaatkan Sumber Daya Alam secara lestari dan tetap menjaga keanekaragaman hayati Indonesia.
KONSISTEN, kecenderungan pertumbuhan penduduk secara umum menambah tekanan terhadap Sumber Daya Alam dan lingkungan. Khususnya menyangkut kebutuhan akan lahan dan air yang secara langsung diturunkan dari kebutuhan pangan dan papan. Pergantian Pemerintahan baik dari pusat ke daerah, tren usaha yang berbeda di tiap periode waktu, arus modernisasi dan globalisasi membuat konsistensi dari seluruh stakeholder menjadi vital. Banyak gerakan yang dicanangkan oleh Pemerintah maupun Pelaku Usaha lainnya tidak mencapai keberhasilan karena kurangnya konsistensi. Kebijakan yang kerap berubah-ubah baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah juga dituding menjadi penyebab permasalahan lingkungan. Namun, faktor yang paling penting adalah Konsistensi dari masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan.
KEBERANIAN, dua faktor diatas tidak akan berarti banyak bila tidak diiringi dengan keberanian oleh masyarakat untuk mendobrak kebiasaan lama yang banyak merugikan lingkungan. Kecenderungan untuk mengandalkan Sumber Daya Alam secara sporadis oleh sebagian oknum masyarakat tanpa bertanggungjawab, harus bisa diatasi dengan keberanian untuk beralih kepada hal lain yang berkelanjutan. Keberanian juga diperlukan oleh aparat birokrasi baik itu ditingkat pusat maupun daerah untuk dapat mengambil kebijakan yang Pro Environment.

Ketiga (K) diatas hanya dapat terwujud dengan gerakan massa yang dilakukan secara bersama-sama, dimulai dari hal sederhana, dan dilakukan secara massif. Memang kita menyadari semua ini memerlukan waktu, tapi hari esok tidak akan terulang lagi, lebih baik kita berkeringat sekarang daripada menyesal dikemudian hari.

Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, 4 Juli 2012, menyambut hari lingkungan hidup sedunia, dan Rio +20 di Brazil. 

Tidak ada komentar: