SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Blog Pribadi Atma Winata Nawawi

Jumat, 03 Mei 2013

SEKILAS TENTANG KANTOR FREE WEST PAPUA CAMPAIGN DI OXFORD



SEBUAH kantor kecil ternyata bisa bikin para politisi penghuni Kompleks Parlemen Senayan gerah. Itulah kantor OPM (Organisasi Papua Merdeka). 

Ceritanya, pada 29 April 2013, pemimpin OPM di Inggris Benny Wenda membuka secara resmi kantor Free West Papua Campaign di Kota Oxford. Acaranya sederhana, dihadiri tak lebih dari 50 orang. Tapi jadi berita besar karena reaksi keras pemerintah dan politisi di Jakarta. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa meminta klarifikasi sekaligus memprotes langsung Dubes Inggris Mark Canning di Jakarta. Dari Senayan, nada protes terdengar lebih beragam: panggil Dubes Inggris ke Komisi I, tutup kantor OPM, dan tarik Dubes Indonesia di London.

Reaksi keras muncul gara-gara Walikota Oxford menghadiri acara serta ikut menggunting pita pada peresmian kantor itu. Kehadiran sang pejabat dipersepsikan sebagai dukungan Pemerintah Inggris terhadap gerakan Papua Merdeka. Padahal sikap Dewan Kota Oxford sama sekali tidak mewakili pandangan politik luar negeri Inggris. Persis dukungan seorang anggota parlemen di sana terhadap Papua Merdeka yang tak bisa dipersepsikan sebagai dukungan Parlemen Inggris secara resmi.

Kita juga tidak bisa meminta pemerintah Inggris untuk menutup kantor OPM di negara itu. Sebab, undang-undang di Inggris memang mengizinkan pembukaan kantor itu. Tidaklah elok jika kita mendesak pemerintah suatu negara untuk melanggar aturannya sendiri.

Apa yang terjadi di Inggris sebenarnya juga terjadi di Indonesia. Hizbut Tahrir (HT), organisasi internasional Islam yang berpusat di London, terlarang di Inggris. Tapi, tidak demikian di Indonesia. Karena itu, HT mendirikan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang aktif memperjuangkan ide pendirian pemerintah Islam sedunia yang disebut Khilafah Islamiyah. Beberapa acara HTI pun dihadiri pejabat pemerintah.

Pemerintah Indonesia jelas bersalah jika melarang berdirinya cabang Hizbut Tahrir di Indonesia karena mereka tidak melanggar undang-undang. Juga keliru bila pemberian izin sekaligus kehadiran pejabat dalam acara HTI dipersepsikan sebagai dukungan Pemerintah Indonesia atas gagasan Khilafah Islamiyah.
  
Internasionalisasi Kasus Papua

Mulanya, pembukaan kantor OPM di Oxford hanyalah sebuah peristiwa kecil. Hampir tak ada liputan media. Namun, setelah muncul reaksi keras pemerintah dan DPR, peristiwa itu bukan hanya digunjingkan media di Indonesia tapi juga oleh media internasional.

Liputan media adalah berkah bagi Benny Wenda dan kawan-kawan. Sebab, salah satu agenda kelompok OPM di luar negeri adalah internasionalisasi kasus Papua. Tujuannya, membangun kesadaran masyarakat internasional bahwa ada masalah di Papua. Dari situ mereka berharap ada dukungan dari penjuru dunia terhadap gerakan Papua Merdeka.

Soal internasionalisasi kasus Papua ini perlu dipahami Jakarta. Internasionalisasi bakal selalu mencuat bila di Papua terjadi hal-hal yang buruk semisal kasus pelanggaran hak asasi manusia, kegagalan pemerintah menyejahterakan rakyat, kasus korupsi, dan sebagainya. Setiap kebobrokan yang terjadi di Papua akan digiling sebagai pesan kampanye kelompok Papua Merdeka di luar negeri.
Jika para pejabat pemerintah dan kalangan DPR di Jakarta tidak ingin terjadi internasionalisasi kasus Papua, maka rumusnya sederhana: jangan berlaku buruk di Papua. Lenyapkan kebobrokan, lakukanlah hal baik seperti penegakan hukum dan penegakan hak asasi manusia. Operasi militer harus dihindari dan diganti dengan dialog dalam menyelesaikan konflik politik. Berantas korupsi dan sejahterakan rakyat! Itulah tuntutan masyarakat Papua.

Rumus ini terbukti efektif dalam kasus penembakan anggota TNI di Puncak Jaya oleh pasukan TPN OPM (Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka) yang dipimpin Goliat Tabuni, Februari 2013. Meski berduka karena kehilangan personil militer, pemerintah menanggapi dengan tenang. Tidak bertindak keras dengan senjata, pemerintah berupaya mendahulukan proses hukum atas kasus penembakan tersebut. 

Hasilnya, aksi kekerasan TPN OPM dikecam dunia internasional. Bahkan kecaman juga datan dari negara-negara yang jadi basis kampanye gerakan Papua Merdeka seperti Australia, Amerika, dan Inggris. Rumus serupa hendaknya dapat diterapkan untuk mengatasi masalah kantor OPM di Oxford atau di mana pun. 

Solahudin, peneliti Papua

Tidak ada komentar: