SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Blog Pribadi Atma Winata Nawawi

Minggu, 05 Januari 2014

MENGULAS KARYA SASTRA TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJK

Awal tahun 2014 ini (dimulai dari akhir tahun 2013), para penggemar film di Indonesia dimanjakan dengan karya-karya Film Nasional yang fenomenal. Ada yang mengundang decak kagum, ada pula yang mengundang kontroversi. Bagi beberapa orang, kemunculan film-film oleh sutradara terbaik dari dalam negeri tentu memunculkan rasa optimisme, di tengah derasnya banjir film asing yang masuk ke Indonesia.

Beberapa diantara nya adalah 99 Cahaya Langit Eropa, Soekarno, Slank-Gak Ada Matinya, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Tiga dari empat judul diatas diangkat dari kisah dalam Novel atau Otobografi tertentu, hanya film Slank-Gak Ada Matinya yang tidak melalui Novel.

Tren mengangkat kisah Novel menjadi film sebenarnya sudah lama dilakukan oleh para pelaku industri film, rata-rata kesuksesan sebuah Novel akan menginspirasi untuk diangkat ke layar lebar. Hal ini terjadi tidak hanya di Indonesia, namun hampir diseluruh dunia. Sebut saja film Harry Potter, Detective Holmes, dan banyak yang lainnya. Pemikiran sederhananya, bahwa Novel sudah memiliki alur cerita, sudah memiliki karakter tokoh dan tentu saja sudah memiliki pangsa pasar tertentu, sehingga tidak terlalu menguras energi untuk promosi. Toh, namanya sudah dikenal dulu oleh masyarakat sebelum diangkat ke layar lebar.

Karya Abdul Karim Amarullah atau yang biasa dikenal Buya Hamka yang terkenal, salah satunya telah diangkat ke layar lebar. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, merupakan Novel yang terkenal di era awal kesusasteraan Indonesia, bahkan sebelum Indonesia merdeka hikayat ini telah diangkat dari cerita bersambung di majalah Pedoman Masjarakat yang dipimpin langsung oleh Buya Hamka.

Kisah dalam hikayat ini kemudian diangkat dalam Novel setelah Indonesia merdeka, dan hingga kini terus dicetak ulang. Banyak pengamat menilai bahwa novel ini merupakan karya sastra terbaik buya Hamka. Bahkan di saat penulis blog ini menginjakkan kaki di SMP, novel ini menjadi salah satu materi pelajaran sekolah yang diulas bahkan sampai muncul di Ujian Sekolah. 


Pengangkatan kisah dalam Novel ini dalam karya Sastra tentu sangat di apresiasi, mengingatkan kembali akan karya kesusasteraan klasik Indonesia yang perlahan mulai terlupakan. Apalagi, ditambah dengan setting suasana Indonesia zaman penjajahan Belanda, yang membuat penonton semakin dimanjakan dengan kekayaan budaya bangsa dari berbagai daerah. Namun yang ditonjolkan disini adalah kebuadayaan Minangkabau, tempat asal Buya Hamka.

Dalam Film ini, digambarkan tentang pertentangan seorang Zainuddin yang berasal dari Makassar namun memiliki darah Minangkabau dari ayahnya. Meskipun berdarah minang, namun dikampung asal ayahnya, Zainuddin tidak terlalu diterima dengan alasan ibunya bukan orang Minang. Dengan dalih tersebut ia harus ikhlas diusir dari kampung ayahnya karena berusaha mendekati Hayati seorang gadis yatim yang tinggal bersama kepala adat Nagari Batipuh yang merupakan pamannya sang gadis. Karena kekuasaan sang Kepala Adat atau datuk, Zainuddin harus pergi meninggalkan Batipuh ke Padang Panjang.

Polemik kepergian Zainuddin tidak berhenti disitu, sang gadis yang sudah terlanjur jatuh cinta akhirnya mengucapkan sumpah bahwa ia akan menunggu Zainuddin kembali menjemputnya, sumpah yang berat ini membuat Zainuddin merasa memiliki semangat hidup kembali dan pergi meninggalkan Batipuh dengan tekad kuat untuk kembali menjemput Hayati.

Klimaks dalam film ini terjadi saat sang gadis lebih memilih menurut dengan desakan ninik-mamak nya untuk menerima lamaran pria lain yang dianggap lebih jelas asal-usulnya, lebih berada, dan berdarah minangkabau tulen. Dibandingkan lamaran Zainuddin yang lahir di Makassar, dan bukan berdarah minangkabau tulen.

Setelah nyaris gila, Zainuddin bangkit dan hijrah ke Batavia untuk merubah nasib, disini dia mulai menjadi penulis hikayat yang dimasukkan di Surat Kabar, saat itu cerita bersambung dalam surat kabar yang dia buat laris dibaca oleh banyak orang, yang kemudian diangkat menjadi Novel dengan judul "Teroesir". Kisah dalam hikayat ini mengadopsi kisah nyata yang dialami oleh penulisnya sendiri yang kini menggunakan nama Zabir.

Menjadi sukses dan kemudian pindah ke Surabaya tidak membuat Zainuddin lupa pada Hayati, dia tetap mengingat Hayati walau dia tahu tidak mungkin lagi memilikinya. Kepedihan yang dialaminya justru menjadi inspirasi bagi Zainuddin untuk terus menulis hikayat dan mengembangkan surat kabar.

Akhirnya setelah perjalanan panjang, Hayati bertemu lagi dengan Zainuddin di Surabaya. Setelah kematian suaminya, Hayati berharap cinta Zainuddin kembali, namun ternyata tekad Zainuddin sudah bulat untuk memulangkan Hayati kembali ke Batipuh dengan Kapal Van Der Wijk yang berangkat dari Surabaya hingga Pelabuhan Teluk Bayur Padang. Tangis dan penyesalan Hayati tidak lagi dapat menggoyahkan hati Zainuddin. Hayati akhirnya tenggelam bersama kapal Van Der Wijk dalam penyesalannya memikirkan Zainuddin yang menolak cintanya.

Kisah diatas sangatlah mengundang keharuan bagi orang yang menyaksikannya, drama kesedihan yang dibalut dengan aksi heroik pemainnya membuat suasana emosi penonton dibuat naik turun, terkadang penonton dibuat geram, terkadang dibuat kagum, terkadang dibuat sedih, bahkan hingga meneteskan air mata.

Satu pesan yang dapat diambil dari kisah diatas, bahwa janganlah cepat mengucapkan sumpah seperti yang dilakukan oleh Hayati kepada Zainuddin, terkadang sumpah tersebut bisa menjerat kita hingga akhir hayat. 

Dibalik ini semua kita patut mengancungkan jempol pada Soraya Pictures yang telah berhasil mengangkat sebuah karya sastra Legenda ini menjadi sebuah film yang fenomenal dan saya yakin akan menjadi Legenda Film yang tidak akan pernah bosan ditonton sepanjang masa. Semoga dunia industri film Indonesia dapat terus bergelora menghasilkan karya-karya terbaiknya.



Tidak ada komentar: